Antara Rasisme di Amerika dan Kasus Rasisme di Indonesia
Jum'at, 19 Juni 2020 - 06:41 WIB
Itulah sebabnya saya melihat bahwa Islamophobia dan antisemitisme di Amerika adalah dua sisi mata uang yang sama. Melawan Islamophobia memiliki dasar yang sama untuk melawan prilaku anti semitisme. Karena apa yang terjadi pada orang lain boleh jadi juga akan terjadi pada diri kita sendiri.
Antara Rasisme Amerika dan Kasus Rasisme di Indonesia
Lalu apa dasar utama saya mengkritisi pidato sang pendeta itu? Kenapa saya perlu menyuarakan ini?
Ada banyak alasan tentunya. Tapi saya hanya ingin menyebutkan tiga alasan penting dari semua itu.
Pertama, karena saya memang cukup muak dan lelah (tired) mendengarkan banyak statement di luar negeri yang memburuk-burukkan Indonesia, yang terkadang tidak berdasar bahkan diada-ada.
Saya masih ingat bagaimana sebuah surat pernah dilayangkan ke sebuah organisasi besar di kota New York, Appeal of Conscience Foundation, di bawah Pimpinan Rabbi Arthur Schneier. Saat itu Yayasan ini akan memberikan penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhyono.
Di surat tersebut Indonesia, dan khususnya umat Indonesia begitu digambarkan begitu jahat dan intoleran kepada umat lain di negeri ini. Sedemikian buruknya maka Presiden negara ini tidak berhak untuk menerima penghargaan tersebut.
Saya mengetahui surat tersebut karena memang saya bersahabat dengan Rabbi Schneier. Beliau adalah rabbi pertama yang saya kenal pasca 9/11. Beliau kebetulan juga bersahabat dengan mantan Presiden RI, Gus Dur. Anaknyalah, Rabbi Marc Schneier yang menjadi partner saya dalam membangun Dialog antara masyarakat Muslim dan Yahudi di Amerika.
Contoh di atas hanya satu dari sekian kasus yang ada. Bahwa memang ada pihak-pihak tertentu dengan sengaja mencari cara untuk memburuk-burukkan Indonesia di mata dunia. Terkadang karena kasus tertentu. Bahkan kadang pula dengan mengada-ngada, memplintir sebuah isu jauh dari konteksnya Yang benar.
Kedua, karena sebagai putra bangsa yang lahir dan tumbuh besar di Indonesia, minimal hingga tamat sekolah menengah atas, saya tahu Indonesia tidak seperti yang digambarkan. Saya tahu Indonesia tidak memiliki mentalitas rasisme.
Antara Rasisme Amerika dan Kasus Rasisme di Indonesia
Lalu apa dasar utama saya mengkritisi pidato sang pendeta itu? Kenapa saya perlu menyuarakan ini?
Ada banyak alasan tentunya. Tapi saya hanya ingin menyebutkan tiga alasan penting dari semua itu.
Pertama, karena saya memang cukup muak dan lelah (tired) mendengarkan banyak statement di luar negeri yang memburuk-burukkan Indonesia, yang terkadang tidak berdasar bahkan diada-ada.
Saya masih ingat bagaimana sebuah surat pernah dilayangkan ke sebuah organisasi besar di kota New York, Appeal of Conscience Foundation, di bawah Pimpinan Rabbi Arthur Schneier. Saat itu Yayasan ini akan memberikan penghargaan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhyono.
Di surat tersebut Indonesia, dan khususnya umat Indonesia begitu digambarkan begitu jahat dan intoleran kepada umat lain di negeri ini. Sedemikian buruknya maka Presiden negara ini tidak berhak untuk menerima penghargaan tersebut.
Saya mengetahui surat tersebut karena memang saya bersahabat dengan Rabbi Schneier. Beliau adalah rabbi pertama yang saya kenal pasca 9/11. Beliau kebetulan juga bersahabat dengan mantan Presiden RI, Gus Dur. Anaknyalah, Rabbi Marc Schneier yang menjadi partner saya dalam membangun Dialog antara masyarakat Muslim dan Yahudi di Amerika.
Contoh di atas hanya satu dari sekian kasus yang ada. Bahwa memang ada pihak-pihak tertentu dengan sengaja mencari cara untuk memburuk-burukkan Indonesia di mata dunia. Terkadang karena kasus tertentu. Bahkan kadang pula dengan mengada-ngada, memplintir sebuah isu jauh dari konteksnya Yang benar.
Kedua, karena sebagai putra bangsa yang lahir dan tumbuh besar di Indonesia, minimal hingga tamat sekolah menengah atas, saya tahu Indonesia tidak seperti yang digambarkan. Saya tahu Indonesia tidak memiliki mentalitas rasisme.
tulis komentar anda