Antara Rasisme di Amerika dan Kasus Rasisme di Indonesia

Jum'at, 19 Juni 2020 - 06:41 WIB
Saya mengetahui surat tersebut karena memang saya bersahabat dengan Rabbi Schneier. Beliau adalah rabbi pertama yang saya kenal pasca 9/11. Beliau kebetulan juga bersahabat dengan mantan Presiden RI, Gus Dur. Anaknyalah, Rabbi Marc Schneier yang menjadi partner saya dalam membangun Dialog antara masyarakat Muslim dan Yahudi di Amerika.

Contoh di atas hanya satu dari sekian kasus yang ada. Bahwa memang ada pihak-pihak tertentu dengan sengaja mencari cara untuk memburuk-burukkan Indonesia di mata dunia. Terkadang karena kasus tertentu. Bahkan kadang pula dengan mengada-ngada, memplintir sebuah isu jauh dari konteksnya Yang benar.

Kedua, karena sebagai putra bangsa yang lahir dan tumbuh besar di Indonesia, minimal hingga tamat sekolah menengah atas, saya tahu Indonesia tidak seperti yang digambarkan. Saya tahu Indonesia tidak memiliki mentalitas rasisme.

Tuduhan bahwa tidak ada kebebasan beragama di Indonesia juga sangat salah dan fatal. Ungkapan bahwa “I have come to US so I can breath freedom” sesungguhnya adalah pelecehan kepada Indonesia. Karena tanpa mengingkari adanya kasus-kasus, Indonesia secara mendasar sangat memberika kebebasan kepada setiap pemeluk agama untuk meyakini dan menjalankan agamanya.

Selalu saya mengatakan bahwa sesungguhnya Indonesia masih surga bagi teman-teman minoritas di negeri ini. Selama bertanggung jawab sebagai bagian dari bangsa, menegakkan konstitusi dan menghargai eksistensi umat lain, Anda bebas menjalankan agamanya.

Pancasila dan UUD 45 menjadi acuan kuat, yang didukung oleh karakter kebangsaan yang memang memilki karakter toleransi yang historis.

Gesekan-gesekan yang terjadi di kemudian hari harusnya dilihat dari akar permasalahan yang sesungguhnya. Bukan karena karakter bangsa. Bukan pula karena agama yang dianut oleh mayoritas bangsa ini. Tapi karena faktor lain yang akan disebutkan pada poin selanjutnya.

Ketiga, secara mendasar rasisme Amerika dan kasus rasisme yang terjadi di Indonesia sangat berbeda. Dan untuk dihubung-hubungkan rasanya sangat tidak adil dan tidak akan ketemu.

Rasisme Amerika seperti yang pernah saya sampaikan bersifat historis, bahkan mungkin tidak salah kalau saya istilahkan sebagai dosa asal bangsa ini. Sementara Indonesia tidak memiliki sejarah rasisme itu. Yang ada justru sejarah toleransi dan kerukunan yang diakui oleh semua pihak.

Selain itu rasisme Amerika jelas terjadi bukan karena ada penyebab lain, seperti “sosial jealousy” atau kecemburuan sosial akibat kesenjagan ekonomi misalnya. Justru palaku rasis di Amerika adalah mereka yang fortunate (beruntung) dari kalangan masyarakat kelas atas.

Hal ini berbeda dengan kasus di Indonesia. Justru adanya kasus-kasus, sebutlah rasisme kepada kelompok tertentu, disebabkan adanya sense of unfairness (rasa ketidak adilan) dalam masyarakat.

Bahwa adanya ketidakadilan perekonomian, di mana kelompok kecil justru menguasai perekonomian negara dengan proporsi yang tidak sesuai menjadikan kelompok masyarakat mayoritas merasa terzholimi.

Karenanya kalaupun ada tendensi rasisme atau minimal ketidaksenangan mayoritas di Indonesia terjadi bukan karena itulah tabiat bangsa. Apalagi dianggap karena agama. Tapi karena faktor lain yang menjadi pendorong. Faktor hilangnya sense of justice (rasa keadilan di tengah masyarakat).

Tapi di Amerika sekali lagi memang didorong oleh mentalitas penjajah (colonial mentality) orang putih yang merasa lebih hebat dari warga lain yang berkulit non-putih. Di sinilah kesalahan fatal ketika seorang ingin menyamakan antara rasisme Amerika dan kasus rasisme di Indonesia. Tentu tidak sama dan menyamakannya adalah kebodohan dan sekaligus pelecehan kepada bangsa dan negara Indonesia.

Saya hanya ingin sekali lagi mengatakan kepada semua anak bangsa, mari kira jaga nama baik bangsa ini. Tentu dengan tetap mengkritisi secara proporsional semua kekurangan yang ada. Kritis kepada bangsa dan negara seharusnya menjadi bagian dari sikap nasionalisme kita. Bukan justru karena dorongan keinginan untuk melihat bangsa ini buruk dan terjatuh di mata dunia.

Belajarlah berterima kasih. Atau belajar tahu diri!

New York, 18 Juni 2020
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More