PKS: RUU HIP Khianati Kesepakatan Para Pendiri Bangsa
Rabu, 17 Juni 2020 - 09:43 WIB
JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani menilai Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menghianati kesepakatan para pendiri bangsa. Pengkhianatan bisa dilihat dari diperasnya lima sila Pancasila menjadi trisila dan ekasila.
Menurut Netty, Pasal 7 RUU HIP mengindikasikan bahwa yang menjadi rujukan dalam pembahasan RUU itu adalah Pancasila 1 Juni 1945, bukan Pancasila yang dimaksud dan tercantum dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 sebagai hasil konsensus sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
"Jadi RUU ini menghianati kesepakatan para pendiri bangsa dengan memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila. Artinya kita kembali mengulang perdebatan yang seharusnya sudah final yakni Pancasila dengan lima sila. Kita mundur lagi ke belakang dan mendistorsi Pancasila itu sendiri," ujar Netty dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (17/6/2020).
(Baca: Ramai-ramai Ditolak, Ini Isi RUU HIP yang Picu Kontroversi)
Adapun Pasal 7 RUU HIP memiliki tiga ayat. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan arau demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
Lalu, Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Kemudian, Pasal 7 ayat (3) menyebutkan bahwa Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Selain pasal 7 yang dianggapnya bermasalah, Netty juga menyoroti tidak dimasukkannya TAP MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran paham Komunisme di Indonesia dalam RUU HIP. "Jadi wajar jika banyak pihak yang menduga adanya penyusupan kepentingan politik tertentu untuk melegalkan paham Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia yang sudah dilarang melalui TAP MPRS XXV/1966," kata Netty.
(Baca: Bahas Penundaan RUU HIP, Pemerintah Undang NU, Muhammadiyah dan MUI)
Anggota Komisi IX DPR RI ini mengatakan, Fraksi PKS sudah dua kali memberikan catatan ini baik pada draf tanggal 9 April dan draf 22 April kepada pimpinan Badan Legislasi untuk memasukkan ketentuan terkait TAP MPRS ini ke dalam ketentuan mengingat dari RUU Haluan Ideologi Negara. "Akan tetapi sampai saat ini ketentuan tersebut tidak dimasukkan," tambah Netty.
Menurut Netty, Pasal 7 RUU HIP mengindikasikan bahwa yang menjadi rujukan dalam pembahasan RUU itu adalah Pancasila 1 Juni 1945, bukan Pancasila yang dimaksud dan tercantum dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 sebagai hasil konsensus sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
"Jadi RUU ini menghianati kesepakatan para pendiri bangsa dengan memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila. Artinya kita kembali mengulang perdebatan yang seharusnya sudah final yakni Pancasila dengan lima sila. Kita mundur lagi ke belakang dan mendistorsi Pancasila itu sendiri," ujar Netty dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (17/6/2020).
(Baca: Ramai-ramai Ditolak, Ini Isi RUU HIP yang Picu Kontroversi)
Adapun Pasal 7 RUU HIP memiliki tiga ayat. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan arau demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
Lalu, Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Kemudian, Pasal 7 ayat (3) menyebutkan bahwa Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Selain pasal 7 yang dianggapnya bermasalah, Netty juga menyoroti tidak dimasukkannya TAP MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran paham Komunisme di Indonesia dalam RUU HIP. "Jadi wajar jika banyak pihak yang menduga adanya penyusupan kepentingan politik tertentu untuk melegalkan paham Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia yang sudah dilarang melalui TAP MPRS XXV/1966," kata Netty.
(Baca: Bahas Penundaan RUU HIP, Pemerintah Undang NU, Muhammadiyah dan MUI)
Anggota Komisi IX DPR RI ini mengatakan, Fraksi PKS sudah dua kali memberikan catatan ini baik pada draf tanggal 9 April dan draf 22 April kepada pimpinan Badan Legislasi untuk memasukkan ketentuan terkait TAP MPRS ini ke dalam ketentuan mengingat dari RUU Haluan Ideologi Negara. "Akan tetapi sampai saat ini ketentuan tersebut tidak dimasukkan," tambah Netty.
Lihat Juga :
tulis komentar anda