PKS: RUU HIP Khianati Kesepakatan Para Pendiri Bangsa
loading...
A
A
A
JAKARTA - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Netty Prasetiyani menilai Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) menghianati kesepakatan para pendiri bangsa. Pengkhianatan bisa dilihat dari diperasnya lima sila Pancasila menjadi trisila dan ekasila.
Menurut Netty, Pasal 7 RUU HIP mengindikasikan bahwa yang menjadi rujukan dalam pembahasan RUU itu adalah Pancasila 1 Juni 1945, bukan Pancasila yang dimaksud dan tercantum dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 sebagai hasil konsensus sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
"Jadi RUU ini menghianati kesepakatan para pendiri bangsa dengan memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila. Artinya kita kembali mengulang perdebatan yang seharusnya sudah final yakni Pancasila dengan lima sila. Kita mundur lagi ke belakang dan mendistorsi Pancasila itu sendiri," ujar Netty dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (17/6/2020).
(Baca: Ramai-ramai Ditolak, Ini Isi RUU HIP yang Picu Kontroversi)
Adapun Pasal 7 RUU HIP memiliki tiga ayat. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan arau demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
Lalu, Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Kemudian, Pasal 7 ayat (3) menyebutkan bahwa Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Selain pasal 7 yang dianggapnya bermasalah, Netty juga menyoroti tidak dimasukkannya TAP MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran paham Komunisme di Indonesia dalam RUU HIP. "Jadi wajar jika banyak pihak yang menduga adanya penyusupan kepentingan politik tertentu untuk melegalkan paham Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia yang sudah dilarang melalui TAP MPRS XXV/1966," kata Netty.
(Baca: Bahas Penundaan RUU HIP, Pemerintah Undang NU, Muhammadiyah dan MUI)
Anggota Komisi IX DPR RI ini mengatakan, Fraksi PKS sudah dua kali memberikan catatan ini baik pada draf tanggal 9 April dan draf 22 April kepada pimpinan Badan Legislasi untuk memasukkan ketentuan terkait TAP MPRS ini ke dalam ketentuan mengingat dari RUU Haluan Ideologi Negara. "Akan tetapi sampai saat ini ketentuan tersebut tidak dimasukkan," tambah Netty.
Dia berpendapat, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara digali oleh para pendiri negara dari nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang subur di masyarakat Indonesia sejak dulu kala. "Pancasila itu terpatri dalam pola pikir, olah jiwa dan pola tindak masyarakat Indonesia sejak zaman nenek moyang. Pancasila wujud dalam setiap denyut nadi dan tarikan nafas bangsa Indonesia," ujarnya.
Dia melanjutkan, Pancasila bukan sekeladar kata-kata dalam teks buku. Jadi, lanjut dia, menafsirkan Pancasila melalui UU hanya akan merendahkan nilai-nilai luhurnya dan membuatnya menjadi sempit dan terkungkung.
(Baca: Gelombang Protes Mengalir, Pemerintah Tepat Tunda RUU HIP)
"Akhirnya kita menempatkan Pancasila sebagai norma biasa yang penafsirannya dimonopoli dan berpotensi jadi alat menyudutkan pihak yang berlawanan sebagaimana dulu saat menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal" ujar Netty.
Netty juga mempertanyakan urgensi dibentuknya kementerian atau badan kependudukan dan keluarga nasional untuk menjamin terlaksananya Haluan Ideologi Pancasila sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 38 ayat (2) RUU HIP.
"Pembentukan lembaga tersebut tidak tepat, karena negara sudah memiliki Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang berada dibawah Presiden. Harusnya ini sudah cukup dan tidak perlu membentuk kementerian atau badan baru ditengah semangat efesiensi yang disuarakan oleh Presiden Jokowi," pungkasnya.
Menurut Netty, Pasal 7 RUU HIP mengindikasikan bahwa yang menjadi rujukan dalam pembahasan RUU itu adalah Pancasila 1 Juni 1945, bukan Pancasila yang dimaksud dan tercantum dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 sebagai hasil konsensus sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
"Jadi RUU ini menghianati kesepakatan para pendiri bangsa dengan memeras Pancasila menjadi trisila dan ekasila. Artinya kita kembali mengulang perdebatan yang seharusnya sudah final yakni Pancasila dengan lima sila. Kita mundur lagi ke belakang dan mendistorsi Pancasila itu sendiri," ujar Netty dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Rabu (17/6/2020).
(Baca: Ramai-ramai Ditolak, Ini Isi RUU HIP yang Picu Kontroversi)
Adapun Pasal 7 RUU HIP memiliki tiga ayat. Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan arau demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan.
Lalu, Pasal 7 ayat (2) menyebutkan bahwa Ciri Pokok Pancasila berupa trisila, yaitu sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan. Kemudian, Pasal 7 ayat (3) menyebutkan bahwa Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.
Selain pasal 7 yang dianggapnya bermasalah, Netty juga menyoroti tidak dimasukkannya TAP MPRS RI Nomor XXV/MPRS/1966 tentang larangan penyebaran paham Komunisme di Indonesia dalam RUU HIP. "Jadi wajar jika banyak pihak yang menduga adanya penyusupan kepentingan politik tertentu untuk melegalkan paham Komunisme/Marxisme-Leninisme di Indonesia yang sudah dilarang melalui TAP MPRS XXV/1966," kata Netty.
(Baca: Bahas Penundaan RUU HIP, Pemerintah Undang NU, Muhammadiyah dan MUI)
Anggota Komisi IX DPR RI ini mengatakan, Fraksi PKS sudah dua kali memberikan catatan ini baik pada draf tanggal 9 April dan draf 22 April kepada pimpinan Badan Legislasi untuk memasukkan ketentuan terkait TAP MPRS ini ke dalam ketentuan mengingat dari RUU Haluan Ideologi Negara. "Akan tetapi sampai saat ini ketentuan tersebut tidak dimasukkan," tambah Netty.
Dia berpendapat, Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara digali oleh para pendiri negara dari nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang subur di masyarakat Indonesia sejak dulu kala. "Pancasila itu terpatri dalam pola pikir, olah jiwa dan pola tindak masyarakat Indonesia sejak zaman nenek moyang. Pancasila wujud dalam setiap denyut nadi dan tarikan nafas bangsa Indonesia," ujarnya.
Dia melanjutkan, Pancasila bukan sekeladar kata-kata dalam teks buku. Jadi, lanjut dia, menafsirkan Pancasila melalui UU hanya akan merendahkan nilai-nilai luhurnya dan membuatnya menjadi sempit dan terkungkung.
(Baca: Gelombang Protes Mengalir, Pemerintah Tepat Tunda RUU HIP)
"Akhirnya kita menempatkan Pancasila sebagai norma biasa yang penafsirannya dimonopoli dan berpotensi jadi alat menyudutkan pihak yang berlawanan sebagaimana dulu saat menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal" ujar Netty.
Netty juga mempertanyakan urgensi dibentuknya kementerian atau badan kependudukan dan keluarga nasional untuk menjamin terlaksananya Haluan Ideologi Pancasila sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 38 ayat (2) RUU HIP.
"Pembentukan lembaga tersebut tidak tepat, karena negara sudah memiliki Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang berada dibawah Presiden. Harusnya ini sudah cukup dan tidak perlu membentuk kementerian atau badan baru ditengah semangat efesiensi yang disuarakan oleh Presiden Jokowi," pungkasnya.
(muh)