Soal Pemekaran Papua, Yorrys Ungkap Pentingnya Komunikasi dan Dialog
Jum'at, 11 Maret 2022 - 17:15 WIB
Dalam rangkaian serap aspirasi, Yorrys Raweyai juga menyempatkan bertemu dengan perwakilan mahasiswa Papua dari GMKI, GMNI dan HMI. Senada dengan Wonda dan Ramandey, perwakilan mahasiswa memandang kebijakan pemekaran hanya akan melahirkan persoalan baru di Tanah Papua.
Pemekaran cenderung hendak mengkanalisasi kompleksitas persoalan sebatas anggaran dan keuangan semata. Padahal, akar persoalan selama ini tidak lepas dari penghargaan atas harkat, derajat, dan eksistensi orang asli Papua.
“UU Otsus Jilid II tidak melahirkan solusi persoalan di Papua. Sebaliknya, isu-isu yang tercantum dalam UU ini hanya memenuhi hasrat pemerintah pusat yang hendak menarik kewenangan daerah ke pusat," ujar Nawal Syarif, perwakilan organisasi HMI Papua.
Perwakilan GMKI, Viktor Tibul menyatakan bahwa pemekaran adalah kebutuhan pemerintah pusat, bukan keinginan masyarakat Papua. “Mayoritas masyarakat Papua menolak pemekaran,” ucapnya.
Penolakan terhadap kebijakan pemekaran merupakan konsekuensi logis daripada UU Otonomi Khusus Jilid II yang tidak mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat Papua yang menghendaki apa pun kebijakan tentang Papua harus lahir dari daerah, bukan dari pemerintah dan DPR. Sebagai UU yang mengandung kekhususan (lex specialis) seharusnya kebijakan pemekaran muncul dari masyarakat Papua melalui MRP, bukan dari pemerintah pusat dan DPR.
Mendengar berbagai aspirasi tersebut, Yorrys Raweyai menyampaikan pandangan tentang pentingnya pemerintah pusat menyosialisasikan isu-isu dan kebijakan di Papua dengan baik dan intensif. Berbagai perbedaan pandangan tentang UU Otonomi Khusus Jilid II maupun PP turunan dari UU tersebut harus dikomunikasikan dengan baik dan bijak.
Sebab, menurut Yorrys, baik pemerintah pusat maupun masyarakat Papua sesungguhnya berkeinginan sama, yakni menghadirkan tatanan kehidupan yang lebih baik dari masa lalu yang terabaikan.
“Diperlukan kesamaan visi dan paradigma tentang bagaimana melihat persoalan secara komprehensif. Kecurigaan-kecurigaan yang selama ini bermunculan telah menjelma menjadi situasi yang kontraprodiktif yang justru menyebabkan masyarakat menjadi pihak yang dikorbankan,” ungkap Yorrys.
Yorrys justru memandang pentingnya saat ini untuk berfokus pada penyusunan Perdasi dan Perdasus yang merupakan turunan dari PP yang telah dihasilkan oleh pemerintah pusat. Perdasi dan Perdasus itulah yang nantinya menjadi instrumen sejauh mana penerapan Otonomi Khusus Jilid II berjalan konsisten. Keduanya pun merupakan rentang kendali bagi masyarakat dan pemerintah untuk secara bersama melihat perkembangan lanjutan dari berbagai hasil kebijakan.
“Seperti halnya kebijakan pendidikan gratis dari tingkat terendah hingga tertinggi bagi orang asli Papua sebagaimana tercantum dalam PP, mekanismenya harus dijelaskan secara rinci dalam Perdasi dan Perdasus. Khususnya terkait dengan sumber pendanaan, kebijakan lembaga pendidikan tingginya, dan lain sebagainya. Jika tidak dijelaskan, maka implementasinya akan menuai kesemrawutan akibat ketidaksamaan visi dan misi," jelas Yorrys dalam paparannya.
Pemekaran cenderung hendak mengkanalisasi kompleksitas persoalan sebatas anggaran dan keuangan semata. Padahal, akar persoalan selama ini tidak lepas dari penghargaan atas harkat, derajat, dan eksistensi orang asli Papua.
“UU Otsus Jilid II tidak melahirkan solusi persoalan di Papua. Sebaliknya, isu-isu yang tercantum dalam UU ini hanya memenuhi hasrat pemerintah pusat yang hendak menarik kewenangan daerah ke pusat," ujar Nawal Syarif, perwakilan organisasi HMI Papua.
Perwakilan GMKI, Viktor Tibul menyatakan bahwa pemekaran adalah kebutuhan pemerintah pusat, bukan keinginan masyarakat Papua. “Mayoritas masyarakat Papua menolak pemekaran,” ucapnya.
Penolakan terhadap kebijakan pemekaran merupakan konsekuensi logis daripada UU Otonomi Khusus Jilid II yang tidak mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat Papua yang menghendaki apa pun kebijakan tentang Papua harus lahir dari daerah, bukan dari pemerintah dan DPR. Sebagai UU yang mengandung kekhususan (lex specialis) seharusnya kebijakan pemekaran muncul dari masyarakat Papua melalui MRP, bukan dari pemerintah pusat dan DPR.
Mendengar berbagai aspirasi tersebut, Yorrys Raweyai menyampaikan pandangan tentang pentingnya pemerintah pusat menyosialisasikan isu-isu dan kebijakan di Papua dengan baik dan intensif. Berbagai perbedaan pandangan tentang UU Otonomi Khusus Jilid II maupun PP turunan dari UU tersebut harus dikomunikasikan dengan baik dan bijak.
Sebab, menurut Yorrys, baik pemerintah pusat maupun masyarakat Papua sesungguhnya berkeinginan sama, yakni menghadirkan tatanan kehidupan yang lebih baik dari masa lalu yang terabaikan.
“Diperlukan kesamaan visi dan paradigma tentang bagaimana melihat persoalan secara komprehensif. Kecurigaan-kecurigaan yang selama ini bermunculan telah menjelma menjadi situasi yang kontraprodiktif yang justru menyebabkan masyarakat menjadi pihak yang dikorbankan,” ungkap Yorrys.
Yorrys justru memandang pentingnya saat ini untuk berfokus pada penyusunan Perdasi dan Perdasus yang merupakan turunan dari PP yang telah dihasilkan oleh pemerintah pusat. Perdasi dan Perdasus itulah yang nantinya menjadi instrumen sejauh mana penerapan Otonomi Khusus Jilid II berjalan konsisten. Keduanya pun merupakan rentang kendali bagi masyarakat dan pemerintah untuk secara bersama melihat perkembangan lanjutan dari berbagai hasil kebijakan.
“Seperti halnya kebijakan pendidikan gratis dari tingkat terendah hingga tertinggi bagi orang asli Papua sebagaimana tercantum dalam PP, mekanismenya harus dijelaskan secara rinci dalam Perdasi dan Perdasus. Khususnya terkait dengan sumber pendanaan, kebijakan lembaga pendidikan tingginya, dan lain sebagainya. Jika tidak dijelaskan, maka implementasinya akan menuai kesemrawutan akibat ketidaksamaan visi dan misi," jelas Yorrys dalam paparannya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda