Soal Pemekaran Papua, Yorrys Ungkap Pentingnya Komunikasi dan Dialog
Jum'at, 11 Maret 2022 - 17:15 WIB
PAPUA - Setelah pengesahan UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2002 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, kondisi sosial dan politik di Tanah Papua cenderung mengalami peningkatan eskalasi yang cukup signifikan. Meski dua Peraturan Pemerintah (PP) yang merupakan turunan implementasi dari UU tersebut sudah diterbitkan.
Selain isu tentang Otonomi Khusus Jilid II yang secara umum masih menuai polemik, salah satu poin di dalamnya yang mengamanahkan tentang pemekaran daerah pun sedang menuai perdebatan di tengah masyarakat. Beberapa hari sebelumnya, ratusan mahasiswa di Jayapura menggelar demonstrasi penolakan atas rencana pemekaran.
Demonstrasi yang digelar di tiga titik, yaitu di Kampus Uncen Perumnas III Waena, depan Jalan SPG Teruna Bakti, dan Kampus Uncen Abepura sempat melumpuhkan aktivitas masyarakat di Jayapura. Isu pemekaran yang berimplikasi pada lahirnya daerah otonomi baru (DOB) dipandang akan memberi ekses negatif pada orang asli Papua (OAP).
Dalam kunjungan serap aspirasi yang dilakukan oleh Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai, bersama DPRP, perwaklan Komnas HAM, dan perwakilan organisasi-organisasi mahasiswa di Papua, diperoleh berbagai pemikiran yang secara umum memandang pemekaran di Tanah Papua akan melahirkan “bom waktu” yang menggerus eksistensi OAP di masa yang akan datang. Kunjungan Yorrys Raweyai, yang juga merupakan Ketua MPR for Papua tersebut berlangsung pada tanggal 9-12 Maret 2022 di Gedung DPR Papua, Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua dan Hotel Suni Garden, Sentani, Papua.
Berdasarkan serangkaian pertemuan tersebut juga disimpulkan bahwa tujuan pemerataan pembangunan dan maksimalisasi kesejahteraan melalui pemekaran wilayah dipandang tidak akan tercapai. Sumber daya manusia dan infrastruktur daerah belum sepenuhnya siap untuk menerima kebijakan pemekaran. Akibatnya, masyarakat asli Papua hanya akan menjadi penonton dan objek pembangunan.
“Lahirnya DOB di Tanah Papua hanya akan semakin memarjinalisasi orang asli Papua yang sejak puluhan tahun cenderung terabaikan dalam proses pembangunan. Hal ini ditambah dengan lahirnya UU Otsus Jilid II yang menarik kewenangan daerah ke Pusat,” ujar Wakil Ketua DPRP, Yunus Wonda dalam keterangannya, Rabu (9/3/2022).
Isu pemekaran lahir dari kebijakan baru yang tertuang dalam Perubahan Kedua atas UU Otonomi Khusus yang isinya sebagian besar hanya merupakan gagasan pemerintah pusat, bukan aspirasi daerah. Wakil rakyat di DPR yang sejatinya mampu menyuarakan aspirasi rakyat, terkesan menutup mata atas aspirasi daerah.
Sementara itu, perwakilan Komnas HAM Papua menyebut kebijakan pemekaran harus dipertimbangkan dengan matang. Aspek-aspek kemanusiaan sebagai subjek pembangunan harus dipikirkan dan menjadi piranti penting di dalam isu tersebut. Diperlukan korelasi efektif antara kebijakan pemekaran dan upaya maksimal untuk merespons berbagai isu pelanggaran HAM di Papua.
“Eskalasi pelanggaran HAM yang semakin meningkat paska kebijakan Otonomi Khusus Jilid II diterbitkan, harus menjadi perhatian penting. Jangan sampai pemekaran ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masalah yang berlangsung selama ini. Karena itu, sebaiknya pemekaran wilayah harus menjadi bagian daripada solusi persoalan HAM, bukan memantik persoalan-persoalan baru di masa yang akan datang,” ujar Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Firtz Ramandey.
Selain isu tentang Otonomi Khusus Jilid II yang secara umum masih menuai polemik, salah satu poin di dalamnya yang mengamanahkan tentang pemekaran daerah pun sedang menuai perdebatan di tengah masyarakat. Beberapa hari sebelumnya, ratusan mahasiswa di Jayapura menggelar demonstrasi penolakan atas rencana pemekaran.
Baca Juga
Demonstrasi yang digelar di tiga titik, yaitu di Kampus Uncen Perumnas III Waena, depan Jalan SPG Teruna Bakti, dan Kampus Uncen Abepura sempat melumpuhkan aktivitas masyarakat di Jayapura. Isu pemekaran yang berimplikasi pada lahirnya daerah otonomi baru (DOB) dipandang akan memberi ekses negatif pada orang asli Papua (OAP).
Dalam kunjungan serap aspirasi yang dilakukan oleh Ketua Komite II DPD RI Yorrys Raweyai, bersama DPRP, perwaklan Komnas HAM, dan perwakilan organisasi-organisasi mahasiswa di Papua, diperoleh berbagai pemikiran yang secara umum memandang pemekaran di Tanah Papua akan melahirkan “bom waktu” yang menggerus eksistensi OAP di masa yang akan datang. Kunjungan Yorrys Raweyai, yang juga merupakan Ketua MPR for Papua tersebut berlangsung pada tanggal 9-12 Maret 2022 di Gedung DPR Papua, Kantor Komnas HAM Perwakilan Papua dan Hotel Suni Garden, Sentani, Papua.
Berdasarkan serangkaian pertemuan tersebut juga disimpulkan bahwa tujuan pemerataan pembangunan dan maksimalisasi kesejahteraan melalui pemekaran wilayah dipandang tidak akan tercapai. Sumber daya manusia dan infrastruktur daerah belum sepenuhnya siap untuk menerima kebijakan pemekaran. Akibatnya, masyarakat asli Papua hanya akan menjadi penonton dan objek pembangunan.
“Lahirnya DOB di Tanah Papua hanya akan semakin memarjinalisasi orang asli Papua yang sejak puluhan tahun cenderung terabaikan dalam proses pembangunan. Hal ini ditambah dengan lahirnya UU Otsus Jilid II yang menarik kewenangan daerah ke Pusat,” ujar Wakil Ketua DPRP, Yunus Wonda dalam keterangannya, Rabu (9/3/2022).
Isu pemekaran lahir dari kebijakan baru yang tertuang dalam Perubahan Kedua atas UU Otonomi Khusus yang isinya sebagian besar hanya merupakan gagasan pemerintah pusat, bukan aspirasi daerah. Wakil rakyat di DPR yang sejatinya mampu menyuarakan aspirasi rakyat, terkesan menutup mata atas aspirasi daerah.
Sementara itu, perwakilan Komnas HAM Papua menyebut kebijakan pemekaran harus dipertimbangkan dengan matang. Aspek-aspek kemanusiaan sebagai subjek pembangunan harus dipikirkan dan menjadi piranti penting di dalam isu tersebut. Diperlukan korelasi efektif antara kebijakan pemekaran dan upaya maksimal untuk merespons berbagai isu pelanggaran HAM di Papua.
“Eskalasi pelanggaran HAM yang semakin meningkat paska kebijakan Otonomi Khusus Jilid II diterbitkan, harus menjadi perhatian penting. Jangan sampai pemekaran ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masalah yang berlangsung selama ini. Karena itu, sebaiknya pemekaran wilayah harus menjadi bagian daripada solusi persoalan HAM, bukan memantik persoalan-persoalan baru di masa yang akan datang,” ujar Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Firtz Ramandey.
tulis komentar anda