Resiliensi Industri di Tengah Pandemi
Senin, 15 Juni 2020 - 06:55 WIB
Prof Candra Fajri Ananda, PhD
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
Pandemi Covid-19 telah berdampak besar bagi perekonomian nasional hampir di seluruh sektor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2020 tumbuh melambat hanya sebesar 2,97% (yoy). Covid-19 telah berhasil memukul perekonomian Indonesia tepat mengenai dua sisi sekaligus, sisi permintaan dan penawaran.
Dampaknya, indeks manufaktur Indonesia (PMI) pada April 2020 merosot tajam bila dibandingkan dengan indeks PMI negara ASEAN. Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa indeks PMI Indonesia berada pada level 27,5. Angka tersebut lebih rendah daripada indeks Korea Selatan yang berada di angka 41,6, Malaysia (31,3), Vietnam (32,7), dan Filipina (31,6). (Baca: Pandemi Covid-19, Kuota Siswa Jalur Afirmasi PPDB Harus Ditambah)
Ironisnya, angka tersebut merupakan level terendah sejak 2011 dan terendah di antara negara-negara ASEAN. Posisi angka tersebut didapat berdasarkan survei IHS Market yang di dalamnya penurunan PMI ke posisi terendah sepanjang survei pada bulan April ini dipengaruhi persebaran Covid-19 yang berimbas pada penutupan pabrik dan anjloknya permintaan, output, dan permintaan baru. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan perekonomian nasional agar tidak jatuh dalam resesi berkepanjangan, pemerintah perlu menemukan formula dan strategi yang tepat untuk membantu industri bangkit dari keterpurukan ini.
Resiliensi pada Industri
Resiliensi (ketahanan) dipahami sebagai kapasitas untuk meminimalkan kerugian ketika terjadi hantaman ekonomi. Adapun menurut OECD (2017), ketahanan ekonomi didefinisikan sebagai kapasitas ekonomi dalam mengurangi kerentanan untuk melawan guncangan dan dapat pulih dengan cepat. Hal itu dapat diperkuat dengan mengeksplorasi peran kebijakan yang dapat mengurangi risiko dan konsekuensi dari krisis berat.
Dalam hal ini tingkat ketahanan akan ditentukan dari seberapa baik tindakan dan interaksi saling pengaruh antara politik, ekonomi, dan lingkungan sosial dapat melindungi kinerja ekonomi yang diukur terhadap fungsi tujuan sosial dan pascakrisis. Dalam hal ini industri yang memiliki resiliensi ialah industri yang masih mampu berproduksi dan menjual produknya dan mampu sekaligus mempertahankan tenaga kerjanya di tengah pandemi.
Selama pandemi berlangsung, dukungan pemerintah terus diupayakan melalui pemberian berbagai insentif yang bertujuan membantu industri yang terdampak agar dapat bertahan dan bangkit. Insentif berupa keringanan pajak atas pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25, pajak pertambahan nilai (PPN) hingga fasilitas pajak penghasilan final tarif 0,5% (PP 23/2018) UMKM yang ditanggung pemerintah merupakan berbagai fasilitas insentif yang ditujukan untuk membantu para pengusaha di Indonesia dalam menghadapi dan melewati masa sulit akibat dampak buruk Covid-19. (Baca juga: Cegah Kluster Baru Covid-19, PPDB Harus Dijaga Aparat)
Staf Khusus Menteri Keuangan Republik Indonesia
Pandemi Covid-19 telah berdampak besar bagi perekonomian nasional hampir di seluruh sektor. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2020 tumbuh melambat hanya sebesar 2,97% (yoy). Covid-19 telah berhasil memukul perekonomian Indonesia tepat mengenai dua sisi sekaligus, sisi permintaan dan penawaran.
Dampaknya, indeks manufaktur Indonesia (PMI) pada April 2020 merosot tajam bila dibandingkan dengan indeks PMI negara ASEAN. Presiden Joko Widodo menyebutkan bahwa indeks PMI Indonesia berada pada level 27,5. Angka tersebut lebih rendah daripada indeks Korea Selatan yang berada di angka 41,6, Malaysia (31,3), Vietnam (32,7), dan Filipina (31,6). (Baca: Pandemi Covid-19, Kuota Siswa Jalur Afirmasi PPDB Harus Ditambah)
Ironisnya, angka tersebut merupakan level terendah sejak 2011 dan terendah di antara negara-negara ASEAN. Posisi angka tersebut didapat berdasarkan survei IHS Market yang di dalamnya penurunan PMI ke posisi terendah sepanjang survei pada bulan April ini dipengaruhi persebaran Covid-19 yang berimbas pada penutupan pabrik dan anjloknya permintaan, output, dan permintaan baru. Oleh sebab itu, untuk mempertahankan perekonomian nasional agar tidak jatuh dalam resesi berkepanjangan, pemerintah perlu menemukan formula dan strategi yang tepat untuk membantu industri bangkit dari keterpurukan ini.
Resiliensi pada Industri
Resiliensi (ketahanan) dipahami sebagai kapasitas untuk meminimalkan kerugian ketika terjadi hantaman ekonomi. Adapun menurut OECD (2017), ketahanan ekonomi didefinisikan sebagai kapasitas ekonomi dalam mengurangi kerentanan untuk melawan guncangan dan dapat pulih dengan cepat. Hal itu dapat diperkuat dengan mengeksplorasi peran kebijakan yang dapat mengurangi risiko dan konsekuensi dari krisis berat.
Dalam hal ini tingkat ketahanan akan ditentukan dari seberapa baik tindakan dan interaksi saling pengaruh antara politik, ekonomi, dan lingkungan sosial dapat melindungi kinerja ekonomi yang diukur terhadap fungsi tujuan sosial dan pascakrisis. Dalam hal ini industri yang memiliki resiliensi ialah industri yang masih mampu berproduksi dan menjual produknya dan mampu sekaligus mempertahankan tenaga kerjanya di tengah pandemi.
Selama pandemi berlangsung, dukungan pemerintah terus diupayakan melalui pemberian berbagai insentif yang bertujuan membantu industri yang terdampak agar dapat bertahan dan bangkit. Insentif berupa keringanan pajak atas pajak penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, PPh Pasal 25, pajak pertambahan nilai (PPN) hingga fasilitas pajak penghasilan final tarif 0,5% (PP 23/2018) UMKM yang ditanggung pemerintah merupakan berbagai fasilitas insentif yang ditujukan untuk membantu para pengusaha di Indonesia dalam menghadapi dan melewati masa sulit akibat dampak buruk Covid-19. (Baca juga: Cegah Kluster Baru Covid-19, PPDB Harus Dijaga Aparat)
tulis komentar anda