Perangi Stunting, Pangkas Obesitas

Jum'at, 25 Februari 2022 - 11:22 WIB
Tantangan lain adalah penanganan obesitas pada anak-anak. Berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi obesitas pada balita sebanyak 3,8%dan usia 18 tahun ke atas 21,8%. Pemerintah terus berupaya menahan laju obesitas agar tidak naik. Targetnya pada tahun 2024, prevalensi obesitas tetap 21,8%. “Kalau anak gemuk, rawan kalau kita suruh diet karena masa pertumbuhan (anak) sejak balita sampai remaja dan prasekolah. Yang kita tekankan komposisi makanan dan mengurangi lemak,” kata Erna.

Kemenkes, menurut Erna, menekankan pada upaya promotif dan preventif. Dia mencontohkan ibu hamil yang mengalami kurang energi kronis akan diberi makanan tambahan selama tiga bulan. Langkah ini beriringan dengan upaya mencari penyebab kurang energi kronis ibu hamil tersebut.



Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 72/2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting disebutkan dua jenis intervensi yang dilakukan, yakni spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab langsung terjadinyastunting. Adapun intervensi sensitif adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk mengatasi penyebab tidak langsung terjadinya stunting. Pada Pasal 1 ayat 4 dinyatakan kedua intervensi itu dilaksanakan secara konvergen, holistik, integratif, dan berkualitas melalui kerja sama multisektor di pusat, daerah, dan desa.

Pakar gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Hardinsyah mengakui berbagai upaya dan langkah menurunkan prevalensi stunting di Indonesia tampak semakin kencang dan membaik. Terlebih sejak terbitnya Perpres Nomor 72/2021. Dia menegaskan pentingnya sinergi lintas sektor hingga kecamatan, desa, dan keluarga sasaran.

“Di masa pandemi ini mudah-mudahan itu bisa berjalan karena pada hakikatnya program-program setiap departemen harus menjadi satu kesatuan di desa dan ‘menggempur’ keluarga sasaran yang berisiko. (Penanganan) stunting itu sendiri yang penting bagaimana mencegah. Keluarga berisiko itu apa? Keluarga miskin ada yang hamil. Ada enggak calon pengantin dari keluarga miskin. Ini harus diidentifikasi,” ujarnya.

Dinas kesehatan dan perangkat pemerintahan di tingkat desa juga didorong untuk bisa mendata warga yang tidak mampu. Sebab kemampuan ekonomi masyarakat kelas bawah ini yang dikhawatirkan tidak bisa memenuhi kebutuhan gizi ibu hamil dan anaknya. Hardinsyah menegaskan data dan informasi kesehatan masyarakat ini penting dalam menjalankan program dan langkah untuk menurunkan stunting.

Dia mengungkapkan BKKBN tengah menyiapkan tiga pendamping keluarga di setiap desa yang terdiri atas bidan, penggerak pemberdayaan kesejahteraan keluarga (PKK), dan kader keluarga berencana (KB). Menurutnya, pendamping keluarga harus dilatih dan segera difungsikan. Tentu saja keaktifan dan kerja sama lintas sektor harus terjalin dengan baik.

“Karena masalah (stunting) berbeda-beda antara Papua, Aceh, NTB, dan NTT. Apalagi budayanya berbeda-beda. (Penanganannya) harus dalam konteks kearifan lokal. (Kemudian) permasalahan dan kelembagaan lokal penting dipertimbangkan. Ada hal yang sifatnya nasional, ada yang dibumikan dengan kearifan lokal,” tuturnya.

Hardinsyah yang juga Ketua Umum Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Gizi Indonesia (AIPGI) ini mengingatkan akan bahaya stunting bagi bangsa ini. Indonesia bakal kekurangan generasi penerus yang berkualitas untuk memimpin dan membangun bangsa di masa yang akan datang. Indonesia perlu melihat laju penurunan stunting yang berhasil dilakukan negara-negara tetangga.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More