Meredam Provokasi SARA
Senin, 21 Februari 2022 - 13:44 WIB
Walhasil, masyarakat Indonesia yang terdiri dari ragam suku-etnis beserta agama-kepercayaan, sesungguhnya merupakan modal kekayaan khazanah membangun bangsa ini dalam aras kedamaian, kerukunan, dan toleransi. Namun, idealita semacam ini meski terus diupayakan-dijaga, tetap tidak bisa menampik realita, bahwa konflik dan provokasi berbalut SARA tampaknya tidak pernah sirna. Karena itu, buku ini menawarkan solusi praktis berlandas tamsil Sukabumi yang kiranya relevan diadopsi oleh semua daerah/kabupaten yang berkategori aman.
Peran FKUB
Ujang menyorot pentingnya penguatan dan optimalisasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai jembatan menjaga kerukunan umat beragama. Ada tiga cara dengan berkaca dari FKUB Sukabumi. Pertama, mengintensifkan dialog antarumat beragama minimal tiga bulan sekali. Dialog bukan lagi implementasi klise lantaran mestinya dialog benar-benar melibatkan seluruh stakeholder/pemerintah dan pimpinan semua agama.
Kedua, menampung dan menyalurkan aspirasi umat beragama dan ormas keagamaan apabila terjadi potensi gesekan. Artinya, akar rumput tidak diperkenankan “main hakim sendiri”, tetapi terlebih dahulu menyampaikannya kepada pimpinan agama/ormas. Hirarki bentuk laporan semacam ini efektif mencegah provokasi menjadi konflik.
Ketiga, sosialisasi peraturan perundang-undangan berkait umat beragama seperti Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Sosialisasi dilakukan untuk merajut kesepahaman bersama bahwa semua umat beragama terikat oleh aturan yang sama dan telah disepakati. Artinya, tidak ada diktum mayoritas-minoritas. Konsepsi pada pemahaman kesetaraan ini perlu dipatrikan oleh semua pihak.
Buku tebal ini tidak hanya memotret studi kasus SARA di Sukabumi, tetapi juga diperkaya dengan wawasan keberagamaan dan keberbudayaan. Kesadaran dan kemafhuman atas pluralitas agama-etnisitas dan kesetaraan dan kesederajatan suku perlu diutarakan terlebih dahulu sebagai kerangka pengetahuan di kultur masyarakat yang heterogen. Pembaca boleh jadi menyimpulkan bahwa provokasi dan konflik SARA tidak pernah lenyap bersebab minimnya kesadaran dan pengetahuan terhadap konsepsi keberbedaan diri terhadap liyan.
Keberlainan agama dan suku kerap melahirkan gap/kerenggangan. Diperlukan sebuah jembatan agar masing-masing pihak bisa saling berinteraksi dan bekerja sama sebagai manifestasi fitrah makhluk sosial. Karena itu, buku ini membabar cara membangun jembatan untuk saling sapa-saling kenal. Sebuah jembatan panjang dan kokoh bersebut Komunikasi. Ujang merinci bentuk-bentuk komunikasi yang efektif sebagai bagian resolusi konflik atas SARA.
Pengarusutamaan komunikasi/dialog tidak saja terhadap lintas iman/agama, melainkan penting juga di internal umat itu sendiri terlebih dahulu. Buku karya akademisi UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, ini menyodorkan komponen kokoh guna membangun jembatan antara umat dan pimpinan agama pada sisi internal.
Seakan-akan menjawab fenomena hari ini, mengapa petuah tokoh agama kurang ditaati lagi dan perlahan ditinggalkan umat/jemaatnya sendiri. Sehingga umat/masyarakat secara vulgar cenderung berani main hakim sendiri dan gampang terprovokasi. Temuan menarik lagi, provokasi-konflik SARA acap kali disebabkan kecemburuan sosial, ketimpangan ekonomi, dan banalitas politik praktis. Sementara agama dan kesukuan hanya dijadikan kedok atau sampiran.
Judul : Komunikasi Lintas Budaya dan Agama
Peran FKUB
Ujang menyorot pentingnya penguatan dan optimalisasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai jembatan menjaga kerukunan umat beragama. Ada tiga cara dengan berkaca dari FKUB Sukabumi. Pertama, mengintensifkan dialog antarumat beragama minimal tiga bulan sekali. Dialog bukan lagi implementasi klise lantaran mestinya dialog benar-benar melibatkan seluruh stakeholder/pemerintah dan pimpinan semua agama.
Kedua, menampung dan menyalurkan aspirasi umat beragama dan ormas keagamaan apabila terjadi potensi gesekan. Artinya, akar rumput tidak diperkenankan “main hakim sendiri”, tetapi terlebih dahulu menyampaikannya kepada pimpinan agama/ormas. Hirarki bentuk laporan semacam ini efektif mencegah provokasi menjadi konflik.
Ketiga, sosialisasi peraturan perundang-undangan berkait umat beragama seperti Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Sosialisasi dilakukan untuk merajut kesepahaman bersama bahwa semua umat beragama terikat oleh aturan yang sama dan telah disepakati. Artinya, tidak ada diktum mayoritas-minoritas. Konsepsi pada pemahaman kesetaraan ini perlu dipatrikan oleh semua pihak.
Buku tebal ini tidak hanya memotret studi kasus SARA di Sukabumi, tetapi juga diperkaya dengan wawasan keberagamaan dan keberbudayaan. Kesadaran dan kemafhuman atas pluralitas agama-etnisitas dan kesetaraan dan kesederajatan suku perlu diutarakan terlebih dahulu sebagai kerangka pengetahuan di kultur masyarakat yang heterogen. Pembaca boleh jadi menyimpulkan bahwa provokasi dan konflik SARA tidak pernah lenyap bersebab minimnya kesadaran dan pengetahuan terhadap konsepsi keberbedaan diri terhadap liyan.
Keberlainan agama dan suku kerap melahirkan gap/kerenggangan. Diperlukan sebuah jembatan agar masing-masing pihak bisa saling berinteraksi dan bekerja sama sebagai manifestasi fitrah makhluk sosial. Karena itu, buku ini membabar cara membangun jembatan untuk saling sapa-saling kenal. Sebuah jembatan panjang dan kokoh bersebut Komunikasi. Ujang merinci bentuk-bentuk komunikasi yang efektif sebagai bagian resolusi konflik atas SARA.
Pengarusutamaan komunikasi/dialog tidak saja terhadap lintas iman/agama, melainkan penting juga di internal umat itu sendiri terlebih dahulu. Buku karya akademisi UIN Sunan Gunung Djati, Bandung, ini menyodorkan komponen kokoh guna membangun jembatan antara umat dan pimpinan agama pada sisi internal.
Seakan-akan menjawab fenomena hari ini, mengapa petuah tokoh agama kurang ditaati lagi dan perlahan ditinggalkan umat/jemaatnya sendiri. Sehingga umat/masyarakat secara vulgar cenderung berani main hakim sendiri dan gampang terprovokasi. Temuan menarik lagi, provokasi-konflik SARA acap kali disebabkan kecemburuan sosial, ketimpangan ekonomi, dan banalitas politik praktis. Sementara agama dan kesukuan hanya dijadikan kedok atau sampiran.
Judul : Komunikasi Lintas Budaya dan Agama
tulis komentar anda