Bursa Capres 2024
Jum'at, 18 Februari 2022 - 11:05 WIB
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
KOMUNIKASI politik elite menuju Pemilu Presiden 2024 semakin intensif dilakukan. Hampir setiap saat, elite utama partai politik saling berbagi pesan dan kesan di panggung publisitas politik. Komunikasi verbal maupun nonverbal dihadirkan dalam konteks yang beragam dan sengaja dikonstruksi multimakna. Fenomena ini, harus diposisikan sebagai bagian dari karakteristik komunikasi politik, yang oleh Robert E Denton dan Gary C Woodward, dalam bukunya Political Communication in America (1990), sebagai intensi atau tujuan pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik. Uji reaksi pada calon kawan dan lawan, perang urat syaraf, persuasi ke khalayak melalui manajemen isu di ragam kanal yang diakses warga, serta penguasaan opini publik, membuat suasana politik nasional mulai gegap gempita. Di saat bersamaan, semua kekuatan membaca peta politik guna mengintip peluang serta mengatur posisi yang tepat, di tengah konstelasi pola komunikasi politik yang masih acak.
Membaca Konstelasi
Fenomena menarik untuk dicermati saat ini adalah masing-masing partai melakukan pemosisian diri untuk membaca konstelasi lebih dini. Hal ini, terkait dinamika yang masih terus berubah seiring dengan kepentingan politik akomodasi yang masih bersifat cair. Ada kebutuhan strategis dari masing-masing partai untuk mendapatkan insentif elektoral dari sosok-sosok kuat dan punya prospek pasar pemilih jelas di Pemilu 2024. Inilah yang kerap disebuat coattail effect, yang menghadirkan pesona figur capres atau cawapres bagi peningkatan suara di basis pemilih yang sudah terpersuasi oleh daya tarik figur utama yang dimunculkan.
Strategi utama yang dilakukan partai-partai yakni membangun kesadaran kelompok atau kolektif di internal, melalui konvergensi simbolik lewat tokoh utama mereka yang dijadikan tema fantasi. Strategi ini, diharapkan menjadi perekat internal sekaligus basis memasarkan diri ke pihak luar untuk membuka dialog di zona yang memungkinkan mereka turut serta dalam kesekapatan (zone of possible agreement).
Secara akademik, istilah konvergensi simbolik bisa dirunut dari pemikiran Ernest Bormann mengenai simbolic convergence theory (SCT) yang mulai dikembangkan di University of Minnesota pada 1970-an. Bormann sendiri berangkat dari pemikiran Robert Bales tentang proses interaksi kelompok kecil dalam konteks psikologi sosial. Kini, konvergensi simbolik tak hanya dikaji dalam komunikasi kelompok, melainkan juga berkembang hingga ke komunikasi politik di publik. Secara ringkas, terminologi konvergensi simbolik bisa kita rujuk dari tulisannya John F Cragan, Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998), yang menjelaskan konvergensi simbolik sebagai kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum atau realitas simbolik yang disebut sebagai visi retoris. Visi retoris ini, menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang, ideologi maupun paradigma berpikir.
Dalam konteks partai-partai jelang Pilpres 2024, mereka berupaya menciptakan kesadaran umum di internal basis konstituen, dan struktur partai masing-masing melalui visi retoris adanya agenda bersama memenangkan sosok baik capres maupun cawapres yang mengikat sentimen kesadaran kekitaan di antara mereka. Sosok capres yang potensial masuk bursa pencapresan 2024, personifikasinya ada pada tokoh elite parpol seperti Prabowo Subianto (Partai Gerindra), Puan Maharani, Ganjar Pranowo (PDI Perjuangan), Agus Harimurti Yudhoyono/AHY (Partai Demokrat), Airlangga Hartarto (Partai Golkar). Selain elite parpol sejumlah nama nonparpol pun menjadi magnet elektoral, seperti nama Anies Baswedan dan Ridwan Kamil. Selebihnya ada nama seperti Erick Thohir dan sederet nama lainnya yang sedang gencar melakukan publisitas politik agar dipertimbangkan publik dan kekuatan parpol untuk masuk bursa pencapresan.
Yang jelas ketiadaan sosok petahana, dianggap sebagian kalangan sebagai kesempatan bagi siapa pun untuk mencalonkan diri. Makanya tak heran, jika banyak orang sesungguhnya tak memiliki tingkat elektabilitas tinggi, tetapi tetap percaya diri membangun komunikasi politik dan pemasaran politik, guna membuka peluang dipertimbangkan oleh publik sekaligus oleh partai atau gabungan partai sebagai pengisi salah satu slot baik di capres maupun cawapres.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
KOMUNIKASI politik elite menuju Pemilu Presiden 2024 semakin intensif dilakukan. Hampir setiap saat, elite utama partai politik saling berbagi pesan dan kesan di panggung publisitas politik. Komunikasi verbal maupun nonverbal dihadirkan dalam konteks yang beragam dan sengaja dikonstruksi multimakna. Fenomena ini, harus diposisikan sebagai bagian dari karakteristik komunikasi politik, yang oleh Robert E Denton dan Gary C Woodward, dalam bukunya Political Communication in America (1990), sebagai intensi atau tujuan pengirimnya untuk memengaruhi lingkungan politik. Uji reaksi pada calon kawan dan lawan, perang urat syaraf, persuasi ke khalayak melalui manajemen isu di ragam kanal yang diakses warga, serta penguasaan opini publik, membuat suasana politik nasional mulai gegap gempita. Di saat bersamaan, semua kekuatan membaca peta politik guna mengintip peluang serta mengatur posisi yang tepat, di tengah konstelasi pola komunikasi politik yang masih acak.
Membaca Konstelasi
Fenomena menarik untuk dicermati saat ini adalah masing-masing partai melakukan pemosisian diri untuk membaca konstelasi lebih dini. Hal ini, terkait dinamika yang masih terus berubah seiring dengan kepentingan politik akomodasi yang masih bersifat cair. Ada kebutuhan strategis dari masing-masing partai untuk mendapatkan insentif elektoral dari sosok-sosok kuat dan punya prospek pasar pemilih jelas di Pemilu 2024. Inilah yang kerap disebuat coattail effect, yang menghadirkan pesona figur capres atau cawapres bagi peningkatan suara di basis pemilih yang sudah terpersuasi oleh daya tarik figur utama yang dimunculkan.
Strategi utama yang dilakukan partai-partai yakni membangun kesadaran kelompok atau kolektif di internal, melalui konvergensi simbolik lewat tokoh utama mereka yang dijadikan tema fantasi. Strategi ini, diharapkan menjadi perekat internal sekaligus basis memasarkan diri ke pihak luar untuk membuka dialog di zona yang memungkinkan mereka turut serta dalam kesekapatan (zone of possible agreement).
Secara akademik, istilah konvergensi simbolik bisa dirunut dari pemikiran Ernest Bormann mengenai simbolic convergence theory (SCT) yang mulai dikembangkan di University of Minnesota pada 1970-an. Bormann sendiri berangkat dari pemikiran Robert Bales tentang proses interaksi kelompok kecil dalam konteks psikologi sosial. Kini, konvergensi simbolik tak hanya dikaji dalam komunikasi kelompok, melainkan juga berkembang hingga ke komunikasi politik di publik. Secara ringkas, terminologi konvergensi simbolik bisa kita rujuk dari tulisannya John F Cragan, Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998), yang menjelaskan konvergensi simbolik sebagai kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum atau realitas simbolik yang disebut sebagai visi retoris. Visi retoris ini, menyediakan sebuah bentuk drama dalam bentuk cara pandang, ideologi maupun paradigma berpikir.
Dalam konteks partai-partai jelang Pilpres 2024, mereka berupaya menciptakan kesadaran umum di internal basis konstituen, dan struktur partai masing-masing melalui visi retoris adanya agenda bersama memenangkan sosok baik capres maupun cawapres yang mengikat sentimen kesadaran kekitaan di antara mereka. Sosok capres yang potensial masuk bursa pencapresan 2024, personifikasinya ada pada tokoh elite parpol seperti Prabowo Subianto (Partai Gerindra), Puan Maharani, Ganjar Pranowo (PDI Perjuangan), Agus Harimurti Yudhoyono/AHY (Partai Demokrat), Airlangga Hartarto (Partai Golkar). Selain elite parpol sejumlah nama nonparpol pun menjadi magnet elektoral, seperti nama Anies Baswedan dan Ridwan Kamil. Selebihnya ada nama seperti Erick Thohir dan sederet nama lainnya yang sedang gencar melakukan publisitas politik agar dipertimbangkan publik dan kekuatan parpol untuk masuk bursa pencapresan.
Yang jelas ketiadaan sosok petahana, dianggap sebagian kalangan sebagai kesempatan bagi siapa pun untuk mencalonkan diri. Makanya tak heran, jika banyak orang sesungguhnya tak memiliki tingkat elektabilitas tinggi, tetapi tetap percaya diri membangun komunikasi politik dan pemasaran politik, guna membuka peluang dipertimbangkan oleh publik sekaligus oleh partai atau gabungan partai sebagai pengisi salah satu slot baik di capres maupun cawapres.
tulis komentar anda