Kirim Surat ke Jokowi, Ini 7 Alasan Asosiasi Pekerja Tolak Aturan Baru Pencairan JHT
Selasa, 15 Februari 2022 - 09:35 WIB
c. Pasal 1 ayat 10; Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
4. Dari uraian Pasal 1 ayat 8, 9 dan 10 UU No 40 Tahun 2004 di atas, tegas dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘Peserta’ adalah setiap orang yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran. Artinya, pekerja yang mengundurkan diri dan diputus hubungan kerjanya (PHK) tidak lagi masuk dalam kategori ‘Peserta’, karena ia sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran. Sehingga seharusnya pekerja dimaksud tetap diberikan hak untuk memilih kapan akan mengambil manfaat JHT.
5. Komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya sebesar 2 persen dari upah sebulan dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan. Dalam dana JHT dimaksud, tidak ada keikutsertaan dana dari Pemerintah. Sehingga tidak ada alasan untuk Pemerintah “menahan” dana JHT dimaksud.
6. Kondisi faktual saat ini, banyak korban PHK dengan berbagai penyebab, yang membutuhkan dana JHT miliknya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja. Banyak juga pekerja yang di-PHK tanpa mendapatkan pesangon, antara lain karena dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Sehingga pekerja sangat berharap bisa mencarikan JHT yang menjadi haknya.
7. Perubahan persyaratan klaim Jaminan Hari Tua (JHT), yang hanya dapat dicairkan ketika pekerja memasuki usia pensiun 56 tahun, sangat mencederai rasa keadilan bagi pekerja yang menginginkan untuk mencairkan Jaminan Hari Tua setelah mengundurkan diri atau setelah PHK.
"Berdasarkan pertimbangan di atas, Aspek Indonesia menilai tidak ada alasan yang mendasar untuk menunda pembayaran JHT sampai usia 56 tahun, bagi pekerja yang mengundurkan diri maupun terkena pemutusan hubungan kerja (PHK)," tambah Sabda.
Ia berharap surat permohonan Aspek Indonesia kepada Presiden RI Joko Widodo dapat ditindaklanjuti. Pasalnya persoalan JHT yang baru bisa diterima pekerja di usia 56 tahun tersebut menciderai rasa keadilan di masyarakat.
"Dengan hormat kepada Bapak Ir. H. Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia, untuk dapat menginstruksikan kepada Menteri Ketenagakerjaan, untuk mencabut dan membatalkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua," kata dia.
Sabda menyatakan bila Permenaker 2/2022 sudah dicabut maka Permenaker Nomor 19/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua dapat kembali berlaku.
4. Dari uraian Pasal 1 ayat 8, 9 dan 10 UU No 40 Tahun 2004 di atas, tegas dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan ‘Peserta’ adalah setiap orang yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran. Artinya, pekerja yang mengundurkan diri dan diputus hubungan kerjanya (PHK) tidak lagi masuk dalam kategori ‘Peserta’, karena ia sudah tidak bekerja dan berhenti membayar iuran. Sehingga seharusnya pekerja dimaksud tetap diberikan hak untuk memilih kapan akan mengambil manfaat JHT.
5. Komposisi iuran JHT BPJS Ketenagakerjaan dibayarkan oleh pekerja melalui pemotongan gaji setiap bulannya sebesar 2 persen dari upah sebulan dan 3,7 persen dari upah sebulan dibayar oleh pemberi kerja atau perusahaan. Dalam dana JHT dimaksud, tidak ada keikutsertaan dana dari Pemerintah. Sehingga tidak ada alasan untuk Pemerintah “menahan” dana JHT dimaksud.
6. Kondisi faktual saat ini, banyak korban PHK dengan berbagai penyebab, yang membutuhkan dana JHT miliknya untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memulai usaha setelah berhenti bekerja. Banyak juga pekerja yang di-PHK tanpa mendapatkan pesangon, antara lain karena dipaksa untuk mengundurkan diri dari perusahaan. Sehingga pekerja sangat berharap bisa mencarikan JHT yang menjadi haknya.
7. Perubahan persyaratan klaim Jaminan Hari Tua (JHT), yang hanya dapat dicairkan ketika pekerja memasuki usia pensiun 56 tahun, sangat mencederai rasa keadilan bagi pekerja yang menginginkan untuk mencairkan Jaminan Hari Tua setelah mengundurkan diri atau setelah PHK.
"Berdasarkan pertimbangan di atas, Aspek Indonesia menilai tidak ada alasan yang mendasar untuk menunda pembayaran JHT sampai usia 56 tahun, bagi pekerja yang mengundurkan diri maupun terkena pemutusan hubungan kerja (PHK)," tambah Sabda.
Ia berharap surat permohonan Aspek Indonesia kepada Presiden RI Joko Widodo dapat ditindaklanjuti. Pasalnya persoalan JHT yang baru bisa diterima pekerja di usia 56 tahun tersebut menciderai rasa keadilan di masyarakat.
"Dengan hormat kepada Bapak Ir. H. Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia, untuk dapat menginstruksikan kepada Menteri Ketenagakerjaan, untuk mencabut dan membatalkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua," kata dia.
Sabda menyatakan bila Permenaker 2/2022 sudah dicabut maka Permenaker Nomor 19/2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua dapat kembali berlaku.
tulis komentar anda