Gunung Anak Krakatau Overpressure sejak Desember, Saat Ini Deformasi
Rabu, 09 Februari 2022 - 15:19 WIB
JAKARTA - Kepala Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral, Eko Budi Lelono melaporkan pihaknya telah mendeteksi aktivitas gempa vulkanik Gunung Anak Krakatau sejak Desember 2021 lalu.
“Dari data pemantauan kegempaan sejak Desember 2021, terpantau gempa-gempa vulkanik yang terekam sejak pertengahan Desember 2021, yang ini menunjukkan ya terjadinya supply magma dari bawah permukaan,” kata Eko saat Konferensi Pers: Kondisi Terkini Aktivitas Gunung Anak Krakatau, Rabu (9/2/2022).
Eko mengatakan gempa-gempa vulkanik ini mengindikasikan adanya tekanan berlebih pada Gunung Anak Krakatau. “Jadi kondisi ini mengindikasikan terjadinya overpressure pada Gunung Anak Krakatau, nah ini juga sudah kita deteksi sejak Desember 2021. Namun volume intrusi belum besar, ini diindikasikan dari magnitudo gempanya dan pemantauan deformasi.”
Selain itu, kata Eko, Gunung Anak Krakatau juga terdeteksi peningkatan kegempaan yang terpantau sejak tanggal 22 Januari hingga 31 Januari 2022. “Dimana kegempaan didominasi oleh kegempaan frekuensi rendah, ini adalah menunjukkan gempa-gempa yang dangkal ya,” kata dia.
“Sedangkan kegempaan dangkal sempat menurun sampai dengan sampai selama dua hari ini. Dan pada tanggal pada tanggal 3 Februari muncul getaran tremor menerus yang diikuti oleh aktivitas hembusan menerus,” paparnya.
Saat ini, Eko mengatakan pada umumnya hembusan asap dari arah kawah Gunung Anak Krakatau terpantau berwarna putih tipis hingga tebal dengan tekanan lemah sampai sedang.
“Namun pada tanggal 3 Februari mulai teramati hembusan asap yang menerus yang berwarna kelabu. Dan pada tanggal 4 sampai 6 Februari teramati aktivitas letusan dengan kolom asap berwarna kelabu. Ketinggian berkisar antara 800 hingga 2.000 meter di atas puncak,” ujar Eko.
Jadi aktivitas kali ini, kata Eko, merupakan aktivitas magmatik ditandai dengan terdeteksinya gas SO2. “Namun demikian, anomali thermal belum teramati satelit artinya belum ada artinya bahwa aktivitas yang terjadi ini didominasi oleh aktivitas eksplosif atau lontaran material piroklastik daripada aktivitas efusif yang berupa aliran lava,” paparnya.
Sementara itu, Eko mengatakan dari data deformasi dari satelit juga belum mengindikasikan adanya perubahan yang signifikan. “Data tide meter yang kami pasang di lapangan menunjukkan ada deformasi permukaan dari gunung api Gunung Anak Krakatau, namun belum menunjukkan hal yang signifikan,” ujar dia.
“Dari data pemantauan kegempaan sejak Desember 2021, terpantau gempa-gempa vulkanik yang terekam sejak pertengahan Desember 2021, yang ini menunjukkan ya terjadinya supply magma dari bawah permukaan,” kata Eko saat Konferensi Pers: Kondisi Terkini Aktivitas Gunung Anak Krakatau, Rabu (9/2/2022).
Eko mengatakan gempa-gempa vulkanik ini mengindikasikan adanya tekanan berlebih pada Gunung Anak Krakatau. “Jadi kondisi ini mengindikasikan terjadinya overpressure pada Gunung Anak Krakatau, nah ini juga sudah kita deteksi sejak Desember 2021. Namun volume intrusi belum besar, ini diindikasikan dari magnitudo gempanya dan pemantauan deformasi.”
Selain itu, kata Eko, Gunung Anak Krakatau juga terdeteksi peningkatan kegempaan yang terpantau sejak tanggal 22 Januari hingga 31 Januari 2022. “Dimana kegempaan didominasi oleh kegempaan frekuensi rendah, ini adalah menunjukkan gempa-gempa yang dangkal ya,” kata dia.
“Sedangkan kegempaan dangkal sempat menurun sampai dengan sampai selama dua hari ini. Dan pada tanggal pada tanggal 3 Februari muncul getaran tremor menerus yang diikuti oleh aktivitas hembusan menerus,” paparnya.
Saat ini, Eko mengatakan pada umumnya hembusan asap dari arah kawah Gunung Anak Krakatau terpantau berwarna putih tipis hingga tebal dengan tekanan lemah sampai sedang.
“Namun pada tanggal 3 Februari mulai teramati hembusan asap yang menerus yang berwarna kelabu. Dan pada tanggal 4 sampai 6 Februari teramati aktivitas letusan dengan kolom asap berwarna kelabu. Ketinggian berkisar antara 800 hingga 2.000 meter di atas puncak,” ujar Eko.
Jadi aktivitas kali ini, kata Eko, merupakan aktivitas magmatik ditandai dengan terdeteksinya gas SO2. “Namun demikian, anomali thermal belum teramati satelit artinya belum ada artinya bahwa aktivitas yang terjadi ini didominasi oleh aktivitas eksplosif atau lontaran material piroklastik daripada aktivitas efusif yang berupa aliran lava,” paparnya.
Sementara itu, Eko mengatakan dari data deformasi dari satelit juga belum mengindikasikan adanya perubahan yang signifikan. “Data tide meter yang kami pasang di lapangan menunjukkan ada deformasi permukaan dari gunung api Gunung Anak Krakatau, namun belum menunjukkan hal yang signifikan,” ujar dia.
(muh)
Lihat Juga :
tulis komentar anda