Imam Nahrawi Dituntut 10 Tahun Penjara dan Hak Politik Dicabut 5 Tahun

Jum'at, 12 Juni 2020 - 17:29 WIB
Selain itu Lina juga memberikan Rp2 miliar yang kemudian dipakai sebagai pembayaran jasa desain Konsultan Arsitek Kantor Budipradono Architecs atas rumah milik Imam Nahrawi yang terletak di Jalan Manunggal II, Ceger, Cipayung, Jakarta Timur. Uang-uang yang diberikan Lina tersebut bersumber dari uang anggaran Satlak Prima.

Ketiga, uang sejumlah Rp1 miliar dari Edward Taufan Pandjaitan alias Ucok selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pada Program Satlak Prima Kemenpora RI Tahun Anggaran 2016-2017. Uang yang diberikan Ucok bersumber dari uang anggaran Satlak Prima.

Uang lebih dulu dititipkan Ucok ke Tommy Suhartanto untuk dimintai tolong ke legenda bulutangkis Indonesia Taufik Hidayat selaku Wakil Ketua Satuan Pelaksana Program Indonesia Emas (Satlak Prima) sekaligus Staf Khusus Menpora. Taufik kemudian menyerahkan uang Rp1 miliar ke Nahrawi di rumah dinas Menpora.

Keempat, Rp400 juta dari Supriyono selaku Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Peningkatan Prestasi Olahraga Nasional (PPON) periode 2017-2018. Uang yang diberikan Supriyono merupakan uang pinjaman Supriyono dari KONI Pusat. Uang diterima Ulum di dekat masjid yang berada di dalam kompleks Kemenpora.

"Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan, menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Imam Nahrawi dengan pidana penjara selama 10 tahun dan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Menetapkan lamanya penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan. Memerintahkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan," tegas JPU Ronald Ferdinand Worotikan saat membacakan amar tuntutan atas nama Imam Nahrawi.

JPU Ronald melanjutkan, total uang suap dan gratifikasi terbukti telah dipakai untuk kebutuhan dan kepentingan Nahrawi serta keluarga. Dengan mengingat ketentuan Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor, maka JPU menuntut Nahrawi dengan pidana tambahan berupa membayar uang pengganti yang nilainya setara dengan hasil kejahatan yang diperoleh dan dinikmatinya. Dia memaparkan, sebelumnya saksi Budiyanto Pradono selaku pemilik dari Kantor Arsitek Budipradono telah mengembalikan Rp994.231.800 kepada penyidik KPK. Karenanya angka pidana uang pengganti dikurangkan dengan pengembalian tersebut.

"Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa Imam Nahrawi berupa membayar uang pengganti kepada negara sejumlah Rp19.154.203.882, jika terpidana tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa untuk dilelang guna menutupi uang pengganti tersebut. Jika harta bendanya tidak mencukupi, maka dipidana dengan pidana penjara selama 3 tahun," ungkapnya.

Dia menegaskan, Nahrawi melakukan perbuatan pidana dengan memanfaatkan jabatan publik yakni Menpora yang diembannya. Karena itu, JPU juga menuntut agar majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik terhadap Nahrawi. Pencabutan ini, menurut JPU, dengan beberapa pertimbangan.

Di antaranya, Nahrawi selaku Menpora seyogyanya memberikan teladan yang baik dalam membina Kepemudaan dan Olahraga di Indonesia, tapi kewenangan tersebut telah disalahgunakan Nahrawi dengan melakukan perbuatan tindak pidana korupsi yang bertentangan dengan kewajiban dan sumpah jabatan Nahrawi selaku Menpora.

"Menjatuhkan pidana tambahan kepada terdakwa Imam Nahrawi berupa pencabutan hak dipilih dalam pemilihan jabatan publik selama 5 (lima) tahun terhitung sejak terdakwa Imam Nahrawi selesai menjalani pidana pokoknya," ujarnya.

Dia membeberkan, pihaknya menilai bahwa perbuatan Nahrawi bersama Ulum menerima suap terbukti melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana jo Pasal 64 ayat (1) KUHPidana. Perbuatan Nahrawi bersama Ulum menerima gratifikasi terbukti melanggar Pasal 12B jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-(1) KUHPidana jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana.

"Sebagaimana dalam dakwaan kesatu alternatif pertama dan dakwaan kedua," kata JPU Ronald.

Dalam menyusun surat tuntutan dan menjatuhkan amar tuntutan, JPU mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan. Pertimbangan meringankan bagi Nahrawi yakni bersikap sopan selama pemeriksaan di persidangan dan masih memiliki tanggungan keluarga. Pertimbangan memberatkan untuk Nahrawi ada tiga. Satu, Nahrawi tidak kooperatif dan tidak mengakui terus terang seluruh perbuatan yang dilakukannya. Dua, Nahrawi tidak menjadi teladan yang baik sebagai pejabat publik.

"Perbuatan Terdakwa telah menghambat perkembangan dan prestasi atlit Indonesia yang diharapkan dapat mengangkat nama bangsa di bidang olahraga," ucap JPU Ronald.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More