Mangkuk Merah, Rohana, dan Imlek

Rabu, 02 Februari 2022 - 15:24 WIB
Bahwa dalam sejarah peradaban manusia justru perbedaan yang bermartabat akan memajukan sebuah peradaban manusia. Perbedaan harus disadari sebagai bentuk berkembangnya akal, cipta, rasa dan karsa pada perkembangan sebuah peradaban. Menghindari perbedaan justru sama artinya dengan menghancurkan kemajuan sebuah peradaban.

Soliditas dan kerekatan sosial akan melengkapi cipta, rasa dan karsa untuk merajut keinsyafan akan persatuan di tengah perbedaan. Rene Descartes, seorang filosof menjelaskan munculnya perbedaan pada relasi antarmanusia dengan teori cogito ergo sum, artinya aku berpikir maka aku ada. Dalam konteks pemikiran Descartes perbedaan harus dipandang sebagai tanda kekayaan hakikat manusia pada sebuah peradaban, karena perbedaan selalu lahir atas penyempurnaan pemikiran yang telah ada.

Menjelaskan perbedaan dalam relasi antarmanusia tidak terlepas dari pemikiran eksistensialisme Jean Paul Sartre. Memanusiakan dalam perbedaan sebagaimana yang saat ini diperlukan oleh bangsa Indonesia memang tidak terlepas dari tahap-tahap pemikiran eksistensialisme sebagaimana diuraikan oleh Sartre.

Secara kontekstual tahap paling dasar dalam menyikapi perbedaan adalah ketika masyarakat melihat perbedaan sebagai sesuatu yang membebani dan membuat saling menindas. Pada tahap ini manusia masih merasa sebagai serigala bagi manusia yang lainnya. Perbedaan dirasa sebagai sebuah ancaman peradaban, ketika mayoritas berusaha menyeragamkan segala sesuatunya.

Tahap berikutnya adalah tahap terbentuknya kesadaran kolektif bahwa perbedaan itu akan selalu ada dalam masyarakat dan keseragaman mutlak tidak mungkin terbentuk. Kini sebagian masyarakat berada dalam tahap ini, tahap terbentuknya kesadaran kolektif akan perbedaan.

Idealnya bangsa Indonesia kini beranjak pada tahap kompromi akan perbedaan, pascadisadari bahwa perbedaan akan selalu ada. Dalam kitab Sutasoma karangan Mpu Tantular dijelaskan bahwa sebuah bangsa yang kuat dan beradab harus dapat menyikapi setiap perbedaan dengan kompromi guna mengoptimalkan setiap potensi.

Kesadaran Kolektif

Kesadaran kolektif yang terbentuk akan satu dalam perbedaan semakin meneguhkan masyarakat bahwa manusia bukan serigala bagi manusia lainnya. Iris Murdoch (1976), menyebutkan bahwa memanusiakan adalah menerima semua perbedaan yang ada tanpa prasangka buruk. Memanusiakan artinya menggeser paradigma keseragaman pada keragaman. Bangsa Indonesia perlu mengembalikan perspektif bermasyarakat, berbangsa dan bernegara pada paradigma membangun bangsa berdasarkan keragaman, sebagaimana semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Guna menjaga NKRI maka seluruh bangsa, utamanya para elite perlu menggunakan politik teduh dalam mengelola bangsa ini. James Collins (1952), seorang politikus Amerika dalam bukunya The Existentialists: a Critical Study menjelaskan makna politik teduh adalah adanya kesadaran kolektif dalam menyikapi keragaman sehingga relasi antarmanusia menuju pada patron saling memanusiakan. Peradaban yang baik ditandai dengan relasi yang memanusiakan antarmanusia. Tidak ada perasaan terancam akan adanya perbedaan.

Kesadaran kolektif yang melibatkan seluruh komponen bangsa akan dapat membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Jika kesadaran kolektif untuk dapat menerima dan mengelola perbedaan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat maka artinya, secara kontekstual, tumbuh jiwa nasionalisme berupa kesadaran bahwa di tengah perbedaan tetap ada keteguhan sikap untuk saling memanusiakan. Sehingga dengan itu dapat terwujud kehidupan bermasyarakat yang damai.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More