Kebugaran Orang Indonesia Rendah

Senin, 31 Januari 2022 - 11:00 WIB
Kebugaran tubuh harus selalu diperhatikan agar terhindar dari penyakit berbahaya. FOTO/WIN CAHYONO
JAKARTA - Kebiasaan masyarakat Indonesia yang malas berolahraga patut jadi alarm. Tubuh yang tidak bugar membuat masyarakat terancam terserang berbagai macam penyakit nonmenular berbahaya di antaranya jantung , ginjal, diabetes, dan stroke.

Saat ini tingkat kebugaran masyarakat Indonesia tergolong sangat yang rendah. Dari total jumlah penduduk, masyarakat yang masuk kategori tidak bugar mencapai 76%. Dari angka tersebut, mereka yang masuk kategori sangat tidak bugar mencapai 53,63%. Hanya 5,86% masyarakat yang dikategorikan memiliki kondisi yang sangat bugar atau prima.

Angka tingkat kebugaran masyarakat ini diperoleh berdasarkan hasil Laporan Nasional Sport Development Index (SDI) 2021 yang dilakukan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora). Survei dilakukan pada Juli-Oktober 2021 dengan responden masyarakat di 34 provinsi di Indoensia.

Rendahnya kebugaran tersebut dipicu sikap malas berolahraga atau melakukan aktivitas fisik. Mengacu hasil survei tersebut, masyarakat Tanah Air yang dinilai aktif berolahraga hanya 32,83%. Artinya, dari 100 orang hanya 33 orang yang berpartisipasi aktif dalam berolahraga.

Baca juga: Jalan Mendaki Pembudayaan Olahraga



Orang yang dikategorikan partisipatif adalah mereka melakukan olahraga rutin seminggu tiga kali atau lebih dengan durasi minimal 20-30 menit. Angka partisipasi aktif berolaharaga ini menurun dibandingkan hasil survei SDI pada 2006 yakni sebesar 42%.

Rendahnya partisipasi olahraga berkoreasi dengan tingginya penderita penyakit nonmenular. Indonesia saat ini masuk enam besar negara dengan penyakit tidak menular ayai non communicable disease. Bahkan, menurut WHO menyebut 71% kematian di Indonesia adalah akibat dari penyakit nonmenular seperti penyakit jantung, stroke, ginjal, hipertensi, pernapasan akut, dan diabetes.

Apa yang membuat orang Indonesia malas berolahraga? Guru Besar Bidang Ilmu Psikologi Olahraga, Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Surabaya, Ali Maksum, menjelaskan, saat ini olahraga belum menjadi budaya atau kebiasaan masyarakat sehingga tingkat partisipasi relatif rendah. “Sebagian masyarakat seringkali baru berolahraga kalau sudah disarankan oleh dokter, misalnya karena menderita diabetes, hipertensi, obesitas, dan penyakit lainnya,” ujarnya saat dihubungi Jumat (28/1).

Rendahnya budaya berolahraga juga dikarenakan gaya hidup (lifestyle). Menurut Ali, sebagian masyarakat mungkin semakin nyaman dengan kondisi dan tidak mau bersusah payah. “Misalnya, mau mencari tempat parkir, dicari yang sedekat mungkin, kalau belanja jarak 200-300 meter saja harus pakai sepeda motor. Namun, gaya hidup seperti itu disebutnya tidak terjadi di Indonesia saja, melainkan juga di banyak negara maju di dunia.

Ali menyebut partisipasi yang rendah dalam berolahraga berdampak pada penyakit yang diderita masyarakat. Dia mengaku memiliki penelitian yang mencari tahu bagaimana dampak aktivitas fisik, kebugaran, dam dampaknya terhadap keluhan kesehatan.

“Itu berbanding lurus dengan tingkat kebugaran. Seseorang yang kebugarannya rendah maka akan sangat rentan berisiko terhadap penyakit,” ujar Ali Maksum yang juga salah satu penyusun Laporan Sport Development Index 2021.



Tingginya penderita penyakit nonmenular di Indonesia juga tergambar pada pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pada 2019, BPJS Kesehatan mengalami defisit anggaran hingga Rp32 triliun di mana porsi penggunaan anggaran terbesar dipakai untuk membiayai penyakit nonmenular.

Ali Maksum juga membenarkan ada kaitan cukup erat antara aktivitas fisik, tingkat kebugaran, dan biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk biaya kesehatan. BPJS Kesehatan yang mengalami defisit hingga triliunan rupiah setiap tahun disebabkan karena membiayai penyakit tidak menular.

“Sebagian besar penyakit itu disebabkan kurang gerak. Suplai energi dari makanan tinggi, namun pembakaran energi tidak terjadi dengan bagus sehingga ada penumpukan lemak di dalam tubuh,” ujarnya.

Namun, aktivitas fisik yang rendah tidak melulu berdampak pada risiko penyakit fisik semata. Lebih dari itu, daya ingat atau memori seseorang juga bisa ikut terdampak. Ali menyebutkan jika rutin beraktivitas fisik, seseorang tidak akan gampang pikun atau menderita demensia. “Ketika sering berolahraga, oksigen mengalir secara optimal ke dalam otak. Dengan begitu, regenerasi sel di dalam otak dapat terjadi dengan bagus,” ujarnya.

“Kalau orang tidak bugar, produktivitasnya juga rendah. Misalnya, kalau bekerja gampang capek, mengeluh, sering tidak masuk kerja, maka itu adalah ciri orang dengan kondisi tidak bugar dan berdampak terhadap produktivitas,” katanya melanjutkan.

Lalu, apa yang dimaksud dengan partisipai aktif berolahraga? Apakah semua aktivitas fisik masuk kategori berolahraga? Menurut Ali Maksum, dalam Laporan SDI 2021 ini, ada kriteria tertentu yang ditetapkan. Seseorang disebut berpartisipasi aktif ketika ia melakukan aktivitas fisik atau berolahraga minimal tiga kali dalam seminggu. Menurutnya, itu sesuai dengan standar dari WHO, yakni sekurang-kurangnya melakukan tiga kali aktivitas fisik dalam sepekan. Sekali latihan minimal sekitar 30 menit.

“Kalau hanya sekali seminggu, tidak berdampak signifikan terhadap kesehatan. Apalagi kadang olahraga, kadang tidak. Kategori olahraga itu dalam artian seseorang bisa melakukan apa saja. Misalnya, jogging, jalan, sepakbola, bulutangkis, dan lainnya,” paparnya.

Sementara itu, tujuan Kemepora menyusun Laporan Nasional Sport Development Index (SDI) 2021 karena data mengenai olahraga masyarakat sejauh ini belum tersedia.

“Di luar olahraga prestasi selama ini kita tidak punya data. Karena tujuan pembagunan kelolahragaan tidak hanya prestasi, kami ingin tahu capaiainya seperti apa, sehingga dengan itu kami lakukan pendataan,” ujar Asisten Deputi Kemitraan dan Penghargaan Olahraga, Kemenpora, Suyadi Pawiro saat dihubungi Jumat (28/1) akhir pekan lalu.

Suyadi menyebut data seperti partisipasi olahraga yang menjadi salah satu dimensi penelitian SDI 2021 sangat penting. “Kalau kita bandingkan dengan negara maju kita ketinggalan. Contoh Australia, pada 2017 tingkat partsipasi olahraga masyarakatnya sudah 87%,” ujarnya.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More