Jendela Lima Benua
Sabtu, 22 Januari 2022 - 08:37 WIB
Menulis sudah menjadi nafas hidup Asro Kamal Rokan, seorang jurnalis senior yang tentu hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk menulis. “Mungkin obyektivitas saya akan luntur ketika mendengar nama Asro Kamal Rokan,” kata Prof OK Saidin, teman sepermainan Asro waktu kecil.
Pernyataan yang disampaikan Prof OK Saidin dalam pengantarnya di buku Granada Menangislah…, karya Asro Kamal Rokan, tentu bukan satu-satunya alasan. Ia memang paham betul pribadi dan kehidupan Asro. Tapi yang paling utama, Ketua Umum Yayasan Melayu Raya ini, ternyata terus mengikuti kisah perjalanan temannya itu lewat tulisan-tulisannya yang bernas. Terutama sejak temannya tersebut menjadi Pemimpin Redaksi Republika, dan setia menulis di rubrik Resonansi.
Sebagian kisah perjalanan karir kewartawanan temannya itulah yang kemudian ditulis dan disusun dalam buku Granada Menangislah… “Buku ini adalah karya jurnalistik yang penuh pesan dan makna. Membaca buku ini sepertinya kita hanyut dalam perjalanan sang jurnalis. Dengan bahasa yang lugas dan gaya bahasa khas jurnalis, pikiran kita akan terbawa mengalir dalam gelombang samudera perjalanan yang luas. Menembus lima benua,” ujar Prof Saidin.
Memang, tulisan dalam buku Granada Menangislah…, sebagian besar ditulis Asro saat tugas liputan kunjungan kenegaraan dan kunjungan kerja Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi yang menjadi luar biasa, sebagai wartawan yang ikut dalam perjalanan tersebut, Asro yang tentu saja melihat, mendengar dan bertanya, ternyata tidak saja menuliskan perjalanan itu sebagai berita. Tapi juga berkisah dengan perenungan yang sangat dalam, bahkan dengan sentuhan spritualitas.
Sedikitnya ada 32 negara di 5 benua yang ditulis dan diceritakan Asro dalam bukunya. Ia menjadikan negara-negara yang dikunjungi tersebut sebagai jendela bagi pembaca, untuk melihat sejarah, politik, ekonomi, sosial, kemanusiaan, pencapaian, bahkan tragedi. Catatan perjalanan tersebut, antara lain tentang bubarnya Pakta Warsawa, masa lalu Mongolia, bubarnya Uni Soviet, jatuhnya Konstatinopel, tentang Kakbah, kisah keteladanan Salahuddin Al Ayubbi, ziarah ke makam Syech Yusuf Afrika Selatan, cerita kaisar terakhir Tiongkok, tersesat di Gedung Putih, tentang Istana Buckingham dan banyak lagi.
Yang menarik, Asro juga mengisahkan tentang sosok BJ Habibie yang ditemuinya saat mengikuti Paris Air Show di La Bourget. Juga soal nasib tragis Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di tangan International Monetary Fund (IMF), hingga tulisannya tentang BJ Habibie saat menutup usia.
Buku yang berupa bunga rampai ini tak ubahnya guide. Untuk yang senang bepergian dan hobi menulis, terlebih yang rajin membuat catatan, penting sekali membaca dan mempelajari buku ini. Isi buku ini ringan-ringan berat, dengan tulisan sangat lugas, renyah, dan mengalir apa adanya. Saking enaknya dibaca, seperti tak sabar bergegas membuka lembaran-lembaran berikutnya.
Membaca buku ini enjoy saja. Tak mesti runut per bab atau per judul, bisa lompat-lompat dari halaman/bab belakang, depan, tengah. Suka-suka saja. Buku ini ibarat tuturan yang menjelma tulisan. Nyata sekali, si penulis begitu piawai menuangkan hasrat dan kegelisahannya. Kelenturan menulis dengan cara berkisah bukan karena semata si penulis dulunya pernah menjadi wartawan. Ini lebih karena ia begitu kukuh untuk tetap setia menulis, terus menjaga dan merawat bakat menulisnya.
Habitus Kewartawanan
Pernyataan yang disampaikan Prof OK Saidin dalam pengantarnya di buku Granada Menangislah…, karya Asro Kamal Rokan, tentu bukan satu-satunya alasan. Ia memang paham betul pribadi dan kehidupan Asro. Tapi yang paling utama, Ketua Umum Yayasan Melayu Raya ini, ternyata terus mengikuti kisah perjalanan temannya itu lewat tulisan-tulisannya yang bernas. Terutama sejak temannya tersebut menjadi Pemimpin Redaksi Republika, dan setia menulis di rubrik Resonansi.
Sebagian kisah perjalanan karir kewartawanan temannya itulah yang kemudian ditulis dan disusun dalam buku Granada Menangislah… “Buku ini adalah karya jurnalistik yang penuh pesan dan makna. Membaca buku ini sepertinya kita hanyut dalam perjalanan sang jurnalis. Dengan bahasa yang lugas dan gaya bahasa khas jurnalis, pikiran kita akan terbawa mengalir dalam gelombang samudera perjalanan yang luas. Menembus lima benua,” ujar Prof Saidin.
Memang, tulisan dalam buku Granada Menangislah…, sebagian besar ditulis Asro saat tugas liputan kunjungan kenegaraan dan kunjungan kerja Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi yang menjadi luar biasa, sebagai wartawan yang ikut dalam perjalanan tersebut, Asro yang tentu saja melihat, mendengar dan bertanya, ternyata tidak saja menuliskan perjalanan itu sebagai berita. Tapi juga berkisah dengan perenungan yang sangat dalam, bahkan dengan sentuhan spritualitas.
Sedikitnya ada 32 negara di 5 benua yang ditulis dan diceritakan Asro dalam bukunya. Ia menjadikan negara-negara yang dikunjungi tersebut sebagai jendela bagi pembaca, untuk melihat sejarah, politik, ekonomi, sosial, kemanusiaan, pencapaian, bahkan tragedi. Catatan perjalanan tersebut, antara lain tentang bubarnya Pakta Warsawa, masa lalu Mongolia, bubarnya Uni Soviet, jatuhnya Konstatinopel, tentang Kakbah, kisah keteladanan Salahuddin Al Ayubbi, ziarah ke makam Syech Yusuf Afrika Selatan, cerita kaisar terakhir Tiongkok, tersesat di Gedung Putih, tentang Istana Buckingham dan banyak lagi.
Yang menarik, Asro juga mengisahkan tentang sosok BJ Habibie yang ditemuinya saat mengikuti Paris Air Show di La Bourget. Juga soal nasib tragis Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di tangan International Monetary Fund (IMF), hingga tulisannya tentang BJ Habibie saat menutup usia.
Buku yang berupa bunga rampai ini tak ubahnya guide. Untuk yang senang bepergian dan hobi menulis, terlebih yang rajin membuat catatan, penting sekali membaca dan mempelajari buku ini. Isi buku ini ringan-ringan berat, dengan tulisan sangat lugas, renyah, dan mengalir apa adanya. Saking enaknya dibaca, seperti tak sabar bergegas membuka lembaran-lembaran berikutnya.
Membaca buku ini enjoy saja. Tak mesti runut per bab atau per judul, bisa lompat-lompat dari halaman/bab belakang, depan, tengah. Suka-suka saja. Buku ini ibarat tuturan yang menjelma tulisan. Nyata sekali, si penulis begitu piawai menuangkan hasrat dan kegelisahannya. Kelenturan menulis dengan cara berkisah bukan karena semata si penulis dulunya pernah menjadi wartawan. Ini lebih karena ia begitu kukuh untuk tetap setia menulis, terus menjaga dan merawat bakat menulisnya.
Habitus Kewartawanan
Lihat Juga :
tulis komentar anda