Meramaikan Warna Dunia dengan Pemikiran-Pemikiran
Sabtu, 22 Januari 2022 - 08:22 WIB
Esai-esai dalam buku ini memang cukup singkat, mengingat jatah menulis Hairus dalam Majalah Gong hanya satu halaman. Akan tetapi, bahkan dalam uraian sepanjang lima ratus kata pun ia bisa mendedah begitu banyak. Ia menjelaskan dengan singkat dan padat. Tentu jika ia mendapat jatah satu halaman lagi, kita akan dimanjakan dengan narasi indah dan apik, sekalipun ia—misalnya—hanya membahas penganan seblak atau cilok.
Esai dan Estetika
Selayaknya sebuah karya seni, esai pun berhak diapresiasi. Kita tidak hanya mengulik sebuah tulisan dari sisi teknisnya, tetapi bagaimana efeknya terhadap pembaca serta apakah mereka menangkap poin estetis dalam tulisan tersebut. Ini relatif. Penilaian seperti ini tidak memiliki rumus baku. Itu pun dikatakan Hairus dalam esai berjudul Maestro.
“Estetika tidak mempunyai suatu ukuran yang jelas dan definitif. Sekali ada yang hendak membuat standarnya, ia berarti sedang melakukan rezimentasi, membangun suatu konstruksi, yang beroperasi di dalamnya pengetahuan yang didukung suatu kekuasaan, dan sebaliknya juga suatu kekuasaan yang ditopang suatu jenis pengetahuan.” (halaman 82)
Maka, sebaiknya kita tidak perlu bingung jika setelah membaca sesuatu, muncul ketidaksetujuan atas hal yang tertulis di sana. Tidak apa-apa. Sebab, banyak faktor yang memengaruhi penilaian seseorang. Misalnya saja sudut pandang, selera, serta pemahaman mengolah apa yang masuk ke dalam benak. Tiga poin itu yang membuat dunia tidak monoton.
Dalam KBBI daring, tertera arti dari esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya (diakses 14 November 2021).
Jadi, cukup jelas, siapa pun berhak menuangkan ide serta gagasannya dalam bentuk tulisan. Berhak pula memublikasikan lewat media, baik cetak maupun elektronik, luring maupun daring. Serta, siapa pun juga berhak memberi tanggapan dan penilaian terhadap karya tulis tersebut.
Umumnya, selera dijadikan senjata andalan dalam proses apresiasi secara personal. Memanfaatkan pengalaman dan ketajaman insting, seseorang bisa mendedah sebuah esai. Hanya saja, kadang kita melihat kelemahan dalam urusan apresiasi ini. Seolah-olah, hanya racikan satu orang saja yang boleh diperhatikan, yang lain tidak layak mendapat pengakuan, apalagi jika yang berbicara ternyata memiliki label kuat nan tinggi. Kalau sudah begini, universalitas dan diversitas tampak seperti sesuatu yang mustahil.
Tidak ada benar dan salah dalam bahasan ini. Semua esai memiliki kekuatannya masing-masing. Hairus sendiri meyakini bahwa tidak ada karya seni—dalam hal ini, esai—yang seratus persen orisinal dan asli. Tidak ada yang baru, meskipun yang dibahas adalah objek kekinian yang baru saja muncul. Yang ada hanya modifikasi dari pemikiran-pemikiran yang sudah ada, atau cara penyampaiannya saja yang agak berbeda.
Tentu saja, Hairus tidak hendak memaksakan sudut pandang, selera, dan pemahamannya kepada pembaca. Di mata saya, ia tengah mengajak pembaca untuk sejenak menengok jendela lain dari sekian banyak yang disodorkan semesta. Juga, sebagai kolumnis dan seorang budayawan, ia hanya sedang turut meramaikan warna dunia dengan pemikiran-pemikirannya. Sekian.
Esai dan Estetika
Selayaknya sebuah karya seni, esai pun berhak diapresiasi. Kita tidak hanya mengulik sebuah tulisan dari sisi teknisnya, tetapi bagaimana efeknya terhadap pembaca serta apakah mereka menangkap poin estetis dalam tulisan tersebut. Ini relatif. Penilaian seperti ini tidak memiliki rumus baku. Itu pun dikatakan Hairus dalam esai berjudul Maestro.
“Estetika tidak mempunyai suatu ukuran yang jelas dan definitif. Sekali ada yang hendak membuat standarnya, ia berarti sedang melakukan rezimentasi, membangun suatu konstruksi, yang beroperasi di dalamnya pengetahuan yang didukung suatu kekuasaan, dan sebaliknya juga suatu kekuasaan yang ditopang suatu jenis pengetahuan.” (halaman 82)
Maka, sebaiknya kita tidak perlu bingung jika setelah membaca sesuatu, muncul ketidaksetujuan atas hal yang tertulis di sana. Tidak apa-apa. Sebab, banyak faktor yang memengaruhi penilaian seseorang. Misalnya saja sudut pandang, selera, serta pemahaman mengolah apa yang masuk ke dalam benak. Tiga poin itu yang membuat dunia tidak monoton.
Dalam KBBI daring, tertera arti dari esai adalah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas lalu dari sudut pandang pribadi penulisnya (diakses 14 November 2021).
Jadi, cukup jelas, siapa pun berhak menuangkan ide serta gagasannya dalam bentuk tulisan. Berhak pula memublikasikan lewat media, baik cetak maupun elektronik, luring maupun daring. Serta, siapa pun juga berhak memberi tanggapan dan penilaian terhadap karya tulis tersebut.
Umumnya, selera dijadikan senjata andalan dalam proses apresiasi secara personal. Memanfaatkan pengalaman dan ketajaman insting, seseorang bisa mendedah sebuah esai. Hanya saja, kadang kita melihat kelemahan dalam urusan apresiasi ini. Seolah-olah, hanya racikan satu orang saja yang boleh diperhatikan, yang lain tidak layak mendapat pengakuan, apalagi jika yang berbicara ternyata memiliki label kuat nan tinggi. Kalau sudah begini, universalitas dan diversitas tampak seperti sesuatu yang mustahil.
Tidak ada benar dan salah dalam bahasan ini. Semua esai memiliki kekuatannya masing-masing. Hairus sendiri meyakini bahwa tidak ada karya seni—dalam hal ini, esai—yang seratus persen orisinal dan asli. Tidak ada yang baru, meskipun yang dibahas adalah objek kekinian yang baru saja muncul. Yang ada hanya modifikasi dari pemikiran-pemikiran yang sudah ada, atau cara penyampaiannya saja yang agak berbeda.
Tentu saja, Hairus tidak hendak memaksakan sudut pandang, selera, dan pemahamannya kepada pembaca. Di mata saya, ia tengah mengajak pembaca untuk sejenak menengok jendela lain dari sekian banyak yang disodorkan semesta. Juga, sebagai kolumnis dan seorang budayawan, ia hanya sedang turut meramaikan warna dunia dengan pemikiran-pemikirannya. Sekian.
tulis komentar anda