Islam Madzhab Negara bagi Pemerintahan Jokowi
Jum'at, 21 Januari 2022 - 17:36 WIB
Sejumlah isu, tema dan realitas politik Islam kontemporer Indonesia di atas, adalah gambaran umum kebijakan dan politik Jokowi terkait Islam. Kebijakan keislaman rezim Jokowi, meski tampak keras, tetapi sejujurnya tidak maksimal dan kurang efektif. Kebijakan dan kerja-kerja politik Jokowi terkait Islam, kurang terkelola secara baik. Akibatnya “prestasi” Jokowi membekukan HTI dan FPI, justru kontraproduktif. Padahal sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawagti hingga Susilo Bambang Yudhoyono, dua ormas tersebut selalu “melawan”. Baru pada masa Jokowi-lah, pembekuan dua ormas yang dipandang radikal dan membahayakan kebinekaan tersebut terlaksana
Komunikasi politik Jokowi terkait kebijakan tentang Islam, tidak terkelola secara baik bisa jadi karena pemerintah tidak menggunakan juru bicara “resmi”. Santer terdengar desas desus bahwa Istana menggunakan buzzer untuk mengomunikasikan kebijakannya, termasuk menyangkut Islam. Para buzzer ini seperti banyak berseliweran di akun-akun medsos kita, “tugasnya” adalah melakukan puja-puji atas kebijakan pemerintah, sekaligus menghantam para kritikusnya.
Dalam tataran praktis, yang tersaji di depan publik, lebih-lebih di medsos, adalah, hiruk pikuk kegaduhan antara “buzzer” Istana melawan buzzer oposisi, Pada gilirannya kritikus dan oposisi pemerintah menyebut buzzer Istana dengan cebong (binatang ampibi sejenis katak). Sedang kelompok kritis berada di seberang Istana menggelompokkan diri dalam buzzer oposisi. Buzzer Istana menyebut mereka dengan kadrun (akronim dari kadal gurun).
Kebijakan Tanpa Road Map
Dari perspektif komunikasi politik, kebijakan Islam pemerintah Jokowi, tampak gagap. Kebijakan Jokowi terkaitI Islam terlihat sporadis, tanpa arah, cenderung dibiarkan liar, serta tidak dikelola secara elegan.
Terlepas dari persoalan komunikasi, kebijakan keislaman seperti ini, jika dicermati lebih serius awalnya adalah tidak adanya semacam road map. Kebijakan Islam tanpa road map, bisa berdampak luas. Mulai dari, kegaduhan di medsos, sumpah serapah, rendahnya keadaban publik di ruang politik, hingga turbulensi sosial politik baik di tingkat elite, dan lebih-lebih di kalangan akar rumput..
Nihilnya road map politik Islam pemerintahan Jokowi setidaknya terdeteksi dari tiga hal berikut. Pertama, tidak ada satu pun staf Presiden, staf milenial, juru bicara presiden, deputi Kantor Staf Presiden (KSP), apalagi pejabat setingkat menteri, yang mengomunikasikan kebijakan Islam Jokowi, secara memadai. Kedua, pada kasus kontraterorisme dan radikalisme, justru lembaga Islam bentukan negara semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI), tersusupi kelompok radikal. Ketiga, pernyataan beberapa pejabat pemerintah, yang memancing dan memprovokasi antarkelompok Islam: “Kementerian Agama adalah hadiah negara untuk NU”, adalah salah satu contohnya.
Islam Madzhab Negara
Sebagai catatan penutup, setidaknya ada dua langkah ideal yang bisa diambil pemerintahan Jokowi, demi memperbaiki pola komunikasi kebijakan Islam. Langkah ini sekaligus juga sebagai road map rintisan demi upaya serius membangun kebijakan Islam yang ideal. Langkah tersebut bisa dimulai dengan menunjuk staf yang bertanggung jawab khusus urusan-urusan Islam. Staf ini mendesak, sebab jika hanya mengandalkan Kementerian Agama dan MUI kebijakan pemerintahan Jokowi terkait Islam, terbukti tidak tersosialisasi secara maksimal.
Langkah selanjutnya, bisa dilakukan dengan memilih serta menunjuk warna Islam mainstream di Indonesia, sebagai “Islam Madzhab Negara”. Warna Islam ini dalam nomenklatur yang sudah dikenal adalah Islam Nusantara. Islam Nusantara semacam NU atau Muhammadiyah, terbukti sejalan, seirama dan senapas dengan detak jantung dan urat nadi pemerintahan Jokowi. Islam Nusantara terbukti dan teruji sanggup berdialektika dengan kebinekaan, menghormati budaya serta adat, tanpa harus menanggalkan keislamannya. Islam Nusantara juga tidak inferior mempresentasikan orisinalitas Islam tanpa harus mengganti sarung dengan gamis, baju surjan dengan baju takwa, ataupun membuang songkok dan bedug demi dan atas nama bid’ah, Islam Nusantara adalah Islam yang ideal sebagai “Islam madzhab negara”. Jika langkah ini terwujud, pemerintahan Jokowi bisa “meminjam tangan” Islam madzhab negara, untuk melakukan “tertib beragama” di Indonesia.
Komunikasi politik Jokowi terkait kebijakan tentang Islam, tidak terkelola secara baik bisa jadi karena pemerintah tidak menggunakan juru bicara “resmi”. Santer terdengar desas desus bahwa Istana menggunakan buzzer untuk mengomunikasikan kebijakannya, termasuk menyangkut Islam. Para buzzer ini seperti banyak berseliweran di akun-akun medsos kita, “tugasnya” adalah melakukan puja-puji atas kebijakan pemerintah, sekaligus menghantam para kritikusnya.
Dalam tataran praktis, yang tersaji di depan publik, lebih-lebih di medsos, adalah, hiruk pikuk kegaduhan antara “buzzer” Istana melawan buzzer oposisi, Pada gilirannya kritikus dan oposisi pemerintah menyebut buzzer Istana dengan cebong (binatang ampibi sejenis katak). Sedang kelompok kritis berada di seberang Istana menggelompokkan diri dalam buzzer oposisi. Buzzer Istana menyebut mereka dengan kadrun (akronim dari kadal gurun).
Kebijakan Tanpa Road Map
Dari perspektif komunikasi politik, kebijakan Islam pemerintah Jokowi, tampak gagap. Kebijakan Jokowi terkaitI Islam terlihat sporadis, tanpa arah, cenderung dibiarkan liar, serta tidak dikelola secara elegan.
Terlepas dari persoalan komunikasi, kebijakan keislaman seperti ini, jika dicermati lebih serius awalnya adalah tidak adanya semacam road map. Kebijakan Islam tanpa road map, bisa berdampak luas. Mulai dari, kegaduhan di medsos, sumpah serapah, rendahnya keadaban publik di ruang politik, hingga turbulensi sosial politik baik di tingkat elite, dan lebih-lebih di kalangan akar rumput..
Nihilnya road map politik Islam pemerintahan Jokowi setidaknya terdeteksi dari tiga hal berikut. Pertama, tidak ada satu pun staf Presiden, staf milenial, juru bicara presiden, deputi Kantor Staf Presiden (KSP), apalagi pejabat setingkat menteri, yang mengomunikasikan kebijakan Islam Jokowi, secara memadai. Kedua, pada kasus kontraterorisme dan radikalisme, justru lembaga Islam bentukan negara semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI), tersusupi kelompok radikal. Ketiga, pernyataan beberapa pejabat pemerintah, yang memancing dan memprovokasi antarkelompok Islam: “Kementerian Agama adalah hadiah negara untuk NU”, adalah salah satu contohnya.
Islam Madzhab Negara
Sebagai catatan penutup, setidaknya ada dua langkah ideal yang bisa diambil pemerintahan Jokowi, demi memperbaiki pola komunikasi kebijakan Islam. Langkah ini sekaligus juga sebagai road map rintisan demi upaya serius membangun kebijakan Islam yang ideal. Langkah tersebut bisa dimulai dengan menunjuk staf yang bertanggung jawab khusus urusan-urusan Islam. Staf ini mendesak, sebab jika hanya mengandalkan Kementerian Agama dan MUI kebijakan pemerintahan Jokowi terkait Islam, terbukti tidak tersosialisasi secara maksimal.
Langkah selanjutnya, bisa dilakukan dengan memilih serta menunjuk warna Islam mainstream di Indonesia, sebagai “Islam Madzhab Negara”. Warna Islam ini dalam nomenklatur yang sudah dikenal adalah Islam Nusantara. Islam Nusantara semacam NU atau Muhammadiyah, terbukti sejalan, seirama dan senapas dengan detak jantung dan urat nadi pemerintahan Jokowi. Islam Nusantara terbukti dan teruji sanggup berdialektika dengan kebinekaan, menghormati budaya serta adat, tanpa harus menanggalkan keislamannya. Islam Nusantara juga tidak inferior mempresentasikan orisinalitas Islam tanpa harus mengganti sarung dengan gamis, baju surjan dengan baju takwa, ataupun membuang songkok dan bedug demi dan atas nama bid’ah, Islam Nusantara adalah Islam yang ideal sebagai “Islam madzhab negara”. Jika langkah ini terwujud, pemerintahan Jokowi bisa “meminjam tangan” Islam madzhab negara, untuk melakukan “tertib beragama” di Indonesia.
tulis komentar anda