Islam Madzhab Negara bagi Pemerintahan Jokowi

Jum'at, 21 Januari 2022 - 17:36 WIB
loading...
Islam Madzhab Negara...
Moh Sholeh-Basyari (Foto: Ist)
A A A
Moh Sholeh-Basyari
Dosen Pascasarjana Insuri, Ponorogo, Direktur Ekskutif Center for Strategic Islamic and International Studies (CSIIS), Jakarta

BELAKANGAN, konten-konten berlatar keislaman, marak di media sosial (medsos). Konten-konten tersebut memenuhi dan mewarnai ruang publik secara masif. Pada sejumlah kasus, konten-konten tersebut bermuara pada tindakan saling lapor ke kepolisian. Pelaporan-pelaporan itu, sebagian berujung pada proses hukum, bahkan hingga pemidanaan. Padahal, konten-konten keislaman itu, berisi (versi kelompok yang memproduksi), amar ma’ruf nahi mungkar, seperangkat konsep keislaman tentang ajakan pada kebaikan dan menolak keburukan.

Sebelumnya, dua organisasi massa (ormas) Islam, dibubarkan. Pembubaran dilakukan dalam rentang dua tahun secara berurutan, pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Dua ormas tersebut adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). HTI dibubarkan lebih awal, tepatnya pada 19 Juli 2019. Selang satu tahun kemudian, FPI dibubarkan pada 30 Desember 2020.

Sekilas, sejumlah pihak yang kontra kebijakan Jokowi menyimpulkan bahwa kebijakan Jokowi menyangkut Islam, keras. Kerasnya kebijakan Islam Jokowi tergambar dari: pemidanaan sejumlah tokoh Islam akibat konten medsos dan pembekuan ormas akibat ideologi dan demonstrasi. “Hanya” karena konten medsos, seseorang dengan mudah dijebloskan ke penjara. Hal ini seakan paralel dengan “mudahnya” Jokowi membekukan HTI dan FPI.

Dua ormas ini meski dibubarkan beriringan, tetapi secara prinsip demokrasi berbeda argumen hukumnya. Secara simplistik HTI dibekukan sebab bertentangan dengan ideologis nasional kita. Sementara FPI dibekukan akibat kegaduhan yang timbul dari serangkaian demonstrasi dan tindakan polisional, padahal mereka tidak memiliki legal standing untuk melakukan kegiatan itu.

Demonstrasi intinya adalah penyampaian aspirasi. Aspirasi rakyat adalah bagian dari salah satu ruh dan esensi demokrasi. Seperti umum diketahui, prinsip utama demokrasi adalah: kedaulatan rakyat. Demokrasi inilah yang dibangun sejak awal di Amerika Serikat oleh Abraham Lincoln. Lincoln menyebut demokrasi adalah pemerintah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Meski begitu, demokrasi didedikasikan bagi kelompok-kelompok yang menerima prinsip-prinsipnya. Mandat dan daulat rakyat mewujud dalam komposisi Partai Politik yang mengisi Parleman sebagai lembaga wakil rakyat.

Juga, demokrasi dibangun oleh dan untuk kelompok-kelompok yang sepakat dengan prinsip-prinsip tersebut. Bagi HTI yang menolak demokrasi, otomatis menyalahi bahkan melawan daulat dan mandat rakyat. Daulat dan mandat rakyat itulah konsensus nasional kita. Sementara HTI memperjuangkan daulat dan mandat Tuhan dalam bernegara, Daulat dan mandat Tuhan tersebut adalah khilafah yang teokratik.

Komunikasi Politik di Tangan Para Buzzer
Sejumlah isu, tema dan realitas politik Islam kontemporer Indonesia di atas, adalah gambaran umum kebijakan dan politik Jokowi terkait Islam. Kebijakan keislaman rezim Jokowi, meski tampak keras, tetapi sejujurnya tidak maksimal dan kurang efektif. Kebijakan dan kerja-kerja politik Jokowi terkait Islam, kurang terkelola secara baik. Akibatnya “prestasi” Jokowi membekukan HTI dan FPI, justru kontraproduktif. Padahal sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawagti hingga Susilo Bambang Yudhoyono, dua ormas tersebut selalu “melawan”. Baru pada masa Jokowi-lah, pembekuan dua ormas yang dipandang radikal dan membahayakan kebinekaan tersebut terlaksana

Komunikasi politik Jokowi terkait kebijakan tentang Islam, tidak terkelola secara baik bisa jadi karena pemerintah tidak menggunakan juru bicara “resmi”. Santer terdengar desas desus bahwa Istana menggunakan buzzer untuk mengomunikasikan kebijakannya, termasuk menyangkut Islam. Para buzzer ini seperti banyak berseliweran di akun-akun medsos kita, “tugasnya” adalah melakukan puja-puji atas kebijakan pemerintah, sekaligus menghantam para kritikusnya.

Dalam tataran praktis, yang tersaji di depan publik, lebih-lebih di medsos, adalah, hiruk pikuk kegaduhan antara “buzzer” Istana melawan buzzer oposisi, Pada gilirannya kritikus dan oposisi pemerintah menyebut buzzer Istana dengan cebong (binatang ampibi sejenis katak). Sedang kelompok kritis berada di seberang Istana menggelompokkan diri dalam buzzer oposisi. Buzzer Istana menyebut mereka dengan kadrun (akronim dari kadal gurun).

Kebijakan Tanpa Road Map
Dari perspektif komunikasi politik, kebijakan Islam pemerintah Jokowi, tampak gagap. Kebijakan Jokowi terkaitI Islam terlihat sporadis, tanpa arah, cenderung dibiarkan liar, serta tidak dikelola secara elegan.

Terlepas dari persoalan komunikasi, kebijakan keislaman seperti ini, jika dicermati lebih serius awalnya adalah tidak adanya semacam road map. Kebijakan Islam tanpa road map, bisa berdampak luas. Mulai dari, kegaduhan di medsos, sumpah serapah, rendahnya keadaban publik di ruang politik, hingga turbulensi sosial politik baik di tingkat elite, dan lebih-lebih di kalangan akar rumput..

Nihilnya road map politik Islam pemerintahan Jokowi setidaknya terdeteksi dari tiga hal berikut. Pertama, tidak ada satu pun staf Presiden, staf milenial, juru bicara presiden, deputi Kantor Staf Presiden (KSP), apalagi pejabat setingkat menteri, yang mengomunikasikan kebijakan Islam Jokowi, secara memadai. Kedua, pada kasus kontraterorisme dan radikalisme, justru lembaga Islam bentukan negara semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI), tersusupi kelompok radikal. Ketiga, pernyataan beberapa pejabat pemerintah, yang memancing dan memprovokasi antarkelompok Islam: “Kementerian Agama adalah hadiah negara untuk NU”, adalah salah satu contohnya.

Islam Madzhab Negara
Sebagai catatan penutup, setidaknya ada dua langkah ideal yang bisa diambil pemerintahan Jokowi, demi memperbaiki pola komunikasi kebijakan Islam. Langkah ini sekaligus juga sebagai road map rintisan demi upaya serius membangun kebijakan Islam yang ideal. Langkah tersebut bisa dimulai dengan menunjuk staf yang bertanggung jawab khusus urusan-urusan Islam. Staf ini mendesak, sebab jika hanya mengandalkan Kementerian Agama dan MUI kebijakan pemerintahan Jokowi terkait Islam, terbukti tidak tersosialisasi secara maksimal.

Langkah selanjutnya, bisa dilakukan dengan memilih serta menunjuk warna Islam mainstream di Indonesia, sebagai “Islam Madzhab Negara”. Warna Islam ini dalam nomenklatur yang sudah dikenal adalah Islam Nusantara. Islam Nusantara semacam NU atau Muhammadiyah, terbukti sejalan, seirama dan senapas dengan detak jantung dan urat nadi pemerintahan Jokowi. Islam Nusantara terbukti dan teruji sanggup berdialektika dengan kebinekaan, menghormati budaya serta adat, tanpa harus menanggalkan keislamannya. Islam Nusantara juga tidak inferior mempresentasikan orisinalitas Islam tanpa harus mengganti sarung dengan gamis, baju surjan dengan baju takwa, ataupun membuang songkok dan bedug demi dan atas nama bid’ah, Islam Nusantara adalah Islam yang ideal sebagai “Islam madzhab negara”. Jika langkah ini terwujud, pemerintahan Jokowi bisa “meminjam tangan” Islam madzhab negara, untuk melakukan “tertib beragama” di Indonesia.

Sebagai bahan perbandingan, di sejumlah negara Islam, kebijakan menyangkut Islam, selalu dan niscaya melalui “Islam Madzhab Negara”. Saudi Arabia dengan Wahabi, Iran dengan Syiah, juga Pakistan dengan memilih Islam model Hanafi sebagai Madzhab Negara. Sebaliknya, negara-negara Islam yang melakukan “pembiaran” terhadap pilihan warna Islam warganya, energinya terkuras, bahkan konflik berkepanjangan. Suriah dengan trilogi konflik Islam Sunni-Syiah-Druze, adalah contohnya. Wallahu A’lam.



(bmm)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1654 seconds (0.1#10.140)