Legitimasi Hukum Ibu Kota Negara Nusantara
Kamis, 20 Januari 2022 - 13:50 WIB
Secara yuridis, masyarakat berhak memberikan masukan baik secara lisan maupun tertulis dalam pembentukan peraturan perundangan-undangan. Masukan secara lisan dapat dilakukan melalui: a) rapat dengar pendapat umum; b) kunjungan kerja; c) sosialisasi; dan d) seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Namun, dalam praktiknya proses legislasi UU IKN tidak memberikan ruang yang terbuka bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat Kaltim, untuk menyampaikan aspirasinya atas pemindahan ibu kota negara.
Hal demikian dapat dilihat dari tidak adanya sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Kendati ada pelaksanaan konsultasi publik yang digelar di Universitas Mulawarman, tetapi pelaksanaannya dilakukan secara tertutup, bahkan sampai detik ini masyarakat tidak bisa mengakses draf final UU IKN, baik secara offline maupun online (website DPR). Tentunya hal tersebut melanggar asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bahwa pentingnya mengimplementasikan secara penuh asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna. Sebab itu, sudah seyogianya pemerintah bersama DPR belajar dan introspeksi agar memperbaiki kualitas legislasinya dengan mengedepankan asas keterbukaan.
Hierarki
Lagi-lagi, para pembentuk undang-undang ceroboh lantaran ada kesalahan yang cukup mendasar dalam merumuskan ketentuan penutup. Terdapat kekeliruan tata urutan peraturan perundang-undang sehingga memunculkan ambiguitas norma sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30. Di pasal itu yang disebutkan bahwa pada saat Peraturan Presiden mengenai pemindahan status ibu kota negara dari Provinsi DKI Jakarta ke IKN (...) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diundangkan, ketentuan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai ibu kota NKRI dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Konstruksi Pasal 30 RUU IKN tidak sesuai dengan bangunan asas preferensi hukum, asas lex superior derograt legi inferior yang bermakna aturan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan keberlakuan aturan hukum yang lebih rendah. Ketentuan dalam Pasal 30 bertentangan dengan asas kesesuaian antarjenis, hierarki, dan materi muatan. Karena itu, konstruksi Pasal 30 RUU IKN tidaklah tepat karena secara teoritis pencabutan peraturan harus dengan peraturan di atas atau setingkatnya. Dengan demikian, pencabutan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta harus dengan undang-undang, bukan peraturan presiden.
Otorita
Di samping itu, ditemukan pula problematika substansi berupa rumusan pasal yang membingungkan. Munculnya pemerintahan khusus IKN yang dipimpin oleh kepala otorita IKN dan dibantu oleh seorang wakil kepala otorita yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh presiden. Otorita IKN adalah lembaga pemerintah setingkat kementerian yang dibentuk untuk melaksanakan persiapan, pembangunan dan pemindahan IKN, serta penyelenggaraan pemerintahan khusus IKN.
Nomenklatur “otorita” merupakan istilah yang belum familier di telinga publik. Jika ditelusuri sejarahnya, istilah otorita pernah digunakan pada Orde Baru, tepatnya pada 1970, ketika menamai Otorita Batam. Persisnya Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam sebagai penggerak pembangunan Batam.
Nanti istilah otorita pada IKN baru akan memunculkan problematika konstitusionalitas karena tidak dikenalnya istilah tersebut dalam konstitusi. Ditambah ketidakjelasan eksistensi kepala otorita IKN dan wakil kepala otorita IKN yang di satu sisi menjalankan pemerintahan khusus, di sisi lain tidak disebut sebagai kepala daerah, melainkan sebagai kepala dan wakil kepala otorita yang setingkat menteri.
Andaipun kedudukannya disebutkan sebagai lembaga nonkementerian, perlu diperjelas bagaimana koordinasi dan supervisi dengan lembaga kementerian yang sudah ada seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Hal demikian dapat dilihat dari tidak adanya sosialisasi yang dilakukan pemerintah. Kendati ada pelaksanaan konsultasi publik yang digelar di Universitas Mulawarman, tetapi pelaksanaannya dilakukan secara tertutup, bahkan sampai detik ini masyarakat tidak bisa mengakses draf final UU IKN, baik secara offline maupun online (website DPR). Tentunya hal tersebut melanggar asas keterbukaan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 bahwa pentingnya mengimplementasikan secara penuh asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya asas keterbukaan harus menyertakan partisipasi masyarakat yang maksimal dan lebih bermakna. Sebab itu, sudah seyogianya pemerintah bersama DPR belajar dan introspeksi agar memperbaiki kualitas legislasinya dengan mengedepankan asas keterbukaan.
Hierarki
Lagi-lagi, para pembentuk undang-undang ceroboh lantaran ada kesalahan yang cukup mendasar dalam merumuskan ketentuan penutup. Terdapat kekeliruan tata urutan peraturan perundang-undang sehingga memunculkan ambiguitas norma sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30. Di pasal itu yang disebutkan bahwa pada saat Peraturan Presiden mengenai pemindahan status ibu kota negara dari Provinsi DKI Jakarta ke IKN (...) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) diundangkan, ketentuan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai ibu kota NKRI dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Konstruksi Pasal 30 RUU IKN tidak sesuai dengan bangunan asas preferensi hukum, asas lex superior derograt legi inferior yang bermakna aturan hukum yang lebih tinggi mengesampingkan keberlakuan aturan hukum yang lebih rendah. Ketentuan dalam Pasal 30 bertentangan dengan asas kesesuaian antarjenis, hierarki, dan materi muatan. Karena itu, konstruksi Pasal 30 RUU IKN tidaklah tepat karena secara teoritis pencabutan peraturan harus dengan peraturan di atas atau setingkatnya. Dengan demikian, pencabutan Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta harus dengan undang-undang, bukan peraturan presiden.
Otorita
Di samping itu, ditemukan pula problematika substansi berupa rumusan pasal yang membingungkan. Munculnya pemerintahan khusus IKN yang dipimpin oleh kepala otorita IKN dan dibantu oleh seorang wakil kepala otorita yang ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan langsung oleh presiden. Otorita IKN adalah lembaga pemerintah setingkat kementerian yang dibentuk untuk melaksanakan persiapan, pembangunan dan pemindahan IKN, serta penyelenggaraan pemerintahan khusus IKN.
Nomenklatur “otorita” merupakan istilah yang belum familier di telinga publik. Jika ditelusuri sejarahnya, istilah otorita pernah digunakan pada Orde Baru, tepatnya pada 1970, ketika menamai Otorita Batam. Persisnya Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam atau lebih dikenal dengan Badan Otorita Batam sebagai penggerak pembangunan Batam.
Nanti istilah otorita pada IKN baru akan memunculkan problematika konstitusionalitas karena tidak dikenalnya istilah tersebut dalam konstitusi. Ditambah ketidakjelasan eksistensi kepala otorita IKN dan wakil kepala otorita IKN yang di satu sisi menjalankan pemerintahan khusus, di sisi lain tidak disebut sebagai kepala daerah, melainkan sebagai kepala dan wakil kepala otorita yang setingkat menteri.
Andaipun kedudukannya disebutkan sebagai lembaga nonkementerian, perlu diperjelas bagaimana koordinasi dan supervisi dengan lembaga kementerian yang sudah ada seperti Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
tulis komentar anda