Visa Pertanian Australia dan Regenerasi Petani Indonesia
Rabu, 19 Januari 2022 - 12:50 WIB
Mukhamad Najib
Atase Pendidikan RI Canberra dan Dosen Institut Pertanian Bogor
PADA pengujung 2021, pemerintah federal Australia memperkenalkan visa pertanian untuk pekerja dari negara Pasifik dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini untuk membantu mengisi kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan dan pengolahan daging yang dialami Australia. Kurangnya pekerja di sektor pertanian sebenarnya sudah dialami Australia jauh sebelum pandemi Covid-19. Namun penutupan perbatasan Australia karena pandemi telah mempercepat defisit tenaga kerja pertanian sekitar 30.000 orang.
Selama ini kita mengenal Australia sebagai salah satu negara yang maju dalam bidang pertanian. Pertanian sendiri di Australia merupakan sektor yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Sebesar 55% lahan di Australia digunakan untuk pertanian, di mana sekitar 70% hasil pertanian, perikanan dan hutan di ekspor ke berbagai negara (ABARES, 2020). Pertanian dinilai mampu menyejahterakan petani Australia dengan penghasilan rata-rata pada 2020-2021 diperkirakan mencapai AU$ 184,000 (setara sekitar Rp 1,84 M) per petani pertahun (ABARES 2021).
Namun, luasnya lahan pertanian di Australia tidak sebanding dengan jumlah petani yang sangat sedikit. Ditambah lagi, petani Australia juga mengalami penuaan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Biro Statistik Australia, rata-rata petani Australia berada di usia 52 tahun dengan jumlah petani berusia dibawah 30 tahun tidak mencapai 10%. Hal ini mendorong pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan “impor” pekerja tani untuk menyelamatkan sektor pertaniannya.
Regenerasi Petani
Saat ini Indonesia mengalami masalah dalam regenerasi petani. Data dari survei tenaga kerja nasional pada tahun 2019 menunjukkan bahwa hanya 23% dari 14,2 juta orang berusia 15-24 tahun yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah pekerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan terus menurun. Dalam kurun waktu tahun 2015-2019 jumlah pekerja di sektor pertanian mengalami penurunan dari 33% menjadi 29%.
Rendahnya minat kaum muda terhadap dunia pertanian selama ini karena pertanian di Indonesia dianggap kurang menarik. Kaum muda memersepsi pertanian identik dengan risiko tinggi, pendapatan rendah dan hanya cocok untuk mereka dengan latar belakang pendidikan terbatas. Profesi petani tidaklah dianggap sebagai profesi yang membanggakan kaum muda. Inilah yang menyebabkan regenerasi petani serasa berhenti di bumi pertiwi.
Sementara di Australia, dunia pertanian terbukti modern dan mampu menyejahterakan. Lebih dari itu, petani di Australia merupakan profesi penting yang dihargai. Gambaran pertanian Australia yang modern, maju dan dihargai berpotensi menjadi daya tarik kaum muda Indonesia terhadap pertanian. Hal ini sesuai dengan teori Maslow yang menempatkan penghargaan (self-esteem) sebagai salah satu kebutuhan tertinggi yang dapat mendorong seseorang untuk bergerak.
Atase Pendidikan RI Canberra dan Dosen Institut Pertanian Bogor
PADA pengujung 2021, pemerintah federal Australia memperkenalkan visa pertanian untuk pekerja dari negara Pasifik dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Hal ini untuk membantu mengisi kekurangan tenaga kerja di sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan dan pengolahan daging yang dialami Australia. Kurangnya pekerja di sektor pertanian sebenarnya sudah dialami Australia jauh sebelum pandemi Covid-19. Namun penutupan perbatasan Australia karena pandemi telah mempercepat defisit tenaga kerja pertanian sekitar 30.000 orang.
Selama ini kita mengenal Australia sebagai salah satu negara yang maju dalam bidang pertanian. Pertanian sendiri di Australia merupakan sektor yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Sebesar 55% lahan di Australia digunakan untuk pertanian, di mana sekitar 70% hasil pertanian, perikanan dan hutan di ekspor ke berbagai negara (ABARES, 2020). Pertanian dinilai mampu menyejahterakan petani Australia dengan penghasilan rata-rata pada 2020-2021 diperkirakan mencapai AU$ 184,000 (setara sekitar Rp 1,84 M) per petani pertahun (ABARES 2021).
Namun, luasnya lahan pertanian di Australia tidak sebanding dengan jumlah petani yang sangat sedikit. Ditambah lagi, petani Australia juga mengalami penuaan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Biro Statistik Australia, rata-rata petani Australia berada di usia 52 tahun dengan jumlah petani berusia dibawah 30 tahun tidak mencapai 10%. Hal ini mendorong pemerintah Australia mengeluarkan kebijakan “impor” pekerja tani untuk menyelamatkan sektor pertaniannya.
Regenerasi Petani
Saat ini Indonesia mengalami masalah dalam regenerasi petani. Data dari survei tenaga kerja nasional pada tahun 2019 menunjukkan bahwa hanya 23% dari 14,2 juta orang berusia 15-24 tahun yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, jumlah pekerja sektor pertanian, kehutanan dan perikanan terus menurun. Dalam kurun waktu tahun 2015-2019 jumlah pekerja di sektor pertanian mengalami penurunan dari 33% menjadi 29%.
Rendahnya minat kaum muda terhadap dunia pertanian selama ini karena pertanian di Indonesia dianggap kurang menarik. Kaum muda memersepsi pertanian identik dengan risiko tinggi, pendapatan rendah dan hanya cocok untuk mereka dengan latar belakang pendidikan terbatas. Profesi petani tidaklah dianggap sebagai profesi yang membanggakan kaum muda. Inilah yang menyebabkan regenerasi petani serasa berhenti di bumi pertiwi.
Sementara di Australia, dunia pertanian terbukti modern dan mampu menyejahterakan. Lebih dari itu, petani di Australia merupakan profesi penting yang dihargai. Gambaran pertanian Australia yang modern, maju dan dihargai berpotensi menjadi daya tarik kaum muda Indonesia terhadap pertanian. Hal ini sesuai dengan teori Maslow yang menempatkan penghargaan (self-esteem) sebagai salah satu kebutuhan tertinggi yang dapat mendorong seseorang untuk bergerak.
tulis komentar anda