Menagih Filmisasi Novel Passion Cinta
Jum'at, 14 Januari 2022 - 06:11 WIB
Wim menjadi petarung tangguh karena ditempa bengisnya hidup. Kuliah bertualang di UGM dan Atmajaya. Wim rela makelaran rongsok demi menyambung hidup. Wim berani menikahi Liliawati dengan modal nyali cinta tulus dan iman mendalam. Sungguh, kuasa cinta dan iman ini mendewasakan keluarga Wim-Lili dalam kerja (hlm. 265). Sembari kuliah Wim menjadi asisten dosen dan memangku jabatan di bagian administrasi rektorat. Hebatnya, Wim tetap makelaran rongsok. Bolehlah mental kere, tetapi nyali bos.
Lili menjadi pendoa ulung, pelayan umat, penderma, jago kuliner, setia mendampingi Wim. Wim sukses. Wim mampu mendirikan usaha cetak CV Andi Offset yang merekrut ratusan karyawan. Wim pun mampu mendirikan Hotel Phoenix di pusaran Malioboro. Sukses materi ini disyukuri Wim dengan mendirikan rumah doa Imelda di kawasan Kaliurang. Sukses Wim-Lili diiringi titipan Allah dengan empat anak (Andi, Yesky, Sheila, Joseph). Keempat anak ini mewarisi lumuran darah sukses orang tua.
Di balik sukses keluarga Wim-Lili, muncullah badai menghajar. Krisis moneter yang melanda tahun 1997/1998 menjadi titik balik. Zero point return. Wim terjerat piutang. Wim dihujat rekanan kerja, karyawan, bahkan karib seiman. Wim tandas. Telak terjungkal. Nyaris tak bermartabat. Benar-benar Wim sakaratul maut. Terpaksa, Wim menjual aset vital, hotel Phoenix, demi kepul asa hidup baru.
Menuai Amalan
Kini kembali Wim merangkaki hidup. Hidup dari nol dan kudu mengais rongsokan lagi. Namun, Tuhan berkarya. Usaha percetakan-mini memulihkan luka hidup Wim. Andi-mini semakin membubung besar menjadi CV Andi hingga unjuk gigi menjadi Andi Offset, hotel di Kaliurang hidup, rumah doa Imelda berkumandang. Tuhan memberkati.
Saat indah mengepung inilah, sirosis (gangguan karena pengerutan/pengerasan hati) Lili kambuh. Lili ambruk. Lili akut. Lili koma.
Novel ini juga mengisahkan mukjizat Allah. Sirosis Lili yang sudah stadium empat, pernah sembuh total karena kuasa cinta, doa, iman, dan harapan (hlm. 250). Tetapi, suratan takdir harus diterima. Lili menutup mata selamanya ketika keluarga dan anak-anak telah mampu mensyukuri anugerah-Nya. Benar-benar Wim-Lili menjadi pendekar kehidupan. Keluarga petarung pun petualang cinta yang menggelinding humanistis, penuh iman, saleh, dan teberkati Allah.
“Banyak godaan dan ujian mengelilingi kita. Kita harus bertarung mempertahankan diri untuk berada dalam nilai-nilai baik dan berjalan dengan kebenaran. Itulah kunci kemenangan hidup manusia. Dunia ini pertarungan.” (hlm. 301)
Secara tidak langsung, tetapi justru tersurat bahwa novel tebal ini seakan menjadi primbon pembaca untuk meraih sukses manakala menggauli bisnis. Kaya harta, kaya hati, kaya iman yang bertumbuh untuk melayani sesama tanpa pandang bulu melampaui ras, suku bangsa, dan agama yang sekadar baju rombeng belaka. Sebagai karakter tilik diri, begitukah amalan cinta platonis? Seronokkah kini jika aku tetap menagih filmisasinya pada 2022 ini? Sebab cinta adalah passion pasar keabadian semua insan. *
Lili menjadi pendoa ulung, pelayan umat, penderma, jago kuliner, setia mendampingi Wim. Wim sukses. Wim mampu mendirikan usaha cetak CV Andi Offset yang merekrut ratusan karyawan. Wim pun mampu mendirikan Hotel Phoenix di pusaran Malioboro. Sukses materi ini disyukuri Wim dengan mendirikan rumah doa Imelda di kawasan Kaliurang. Sukses Wim-Lili diiringi titipan Allah dengan empat anak (Andi, Yesky, Sheila, Joseph). Keempat anak ini mewarisi lumuran darah sukses orang tua.
Di balik sukses keluarga Wim-Lili, muncullah badai menghajar. Krisis moneter yang melanda tahun 1997/1998 menjadi titik balik. Zero point return. Wim terjerat piutang. Wim dihujat rekanan kerja, karyawan, bahkan karib seiman. Wim tandas. Telak terjungkal. Nyaris tak bermartabat. Benar-benar Wim sakaratul maut. Terpaksa, Wim menjual aset vital, hotel Phoenix, demi kepul asa hidup baru.
Menuai Amalan
Kini kembali Wim merangkaki hidup. Hidup dari nol dan kudu mengais rongsokan lagi. Namun, Tuhan berkarya. Usaha percetakan-mini memulihkan luka hidup Wim. Andi-mini semakin membubung besar menjadi CV Andi hingga unjuk gigi menjadi Andi Offset, hotel di Kaliurang hidup, rumah doa Imelda berkumandang. Tuhan memberkati.
Saat indah mengepung inilah, sirosis (gangguan karena pengerutan/pengerasan hati) Lili kambuh. Lili ambruk. Lili akut. Lili koma.
Novel ini juga mengisahkan mukjizat Allah. Sirosis Lili yang sudah stadium empat, pernah sembuh total karena kuasa cinta, doa, iman, dan harapan (hlm. 250). Tetapi, suratan takdir harus diterima. Lili menutup mata selamanya ketika keluarga dan anak-anak telah mampu mensyukuri anugerah-Nya. Benar-benar Wim-Lili menjadi pendekar kehidupan. Keluarga petarung pun petualang cinta yang menggelinding humanistis, penuh iman, saleh, dan teberkati Allah.
“Banyak godaan dan ujian mengelilingi kita. Kita harus bertarung mempertahankan diri untuk berada dalam nilai-nilai baik dan berjalan dengan kebenaran. Itulah kunci kemenangan hidup manusia. Dunia ini pertarungan.” (hlm. 301)
Secara tidak langsung, tetapi justru tersurat bahwa novel tebal ini seakan menjadi primbon pembaca untuk meraih sukses manakala menggauli bisnis. Kaya harta, kaya hati, kaya iman yang bertumbuh untuk melayani sesama tanpa pandang bulu melampaui ras, suku bangsa, dan agama yang sekadar baju rombeng belaka. Sebagai karakter tilik diri, begitukah amalan cinta platonis? Seronokkah kini jika aku tetap menagih filmisasinya pada 2022 ini? Sebab cinta adalah passion pasar keabadian semua insan. *
(hdr)
Lihat Juga :
tulis komentar anda