Hentikan Menjelekkan Negeri Sendiri
Rabu, 10 Juni 2020 - 12:52 WIB
Saya tahu betul siapa mereka dan apa isi suratnya karena Rabbi Arthur Schneier adalah pendeta Yahudi yang cukup dekat dengan saya. Bahkan di acara itu sayalah yang memimpin doa pembuka. Beliaulah yang memberitahu ke saya siapa yang mengirim surat dan apa isi suratnya.
Maka dengan kejadian di Portland ini semakin menjadikan saya gerah dan kecewa. Bahwa ada saja pihak-pihak yang tidak tahu berterima kasih kepada negaranya atau negara asalnya.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa dengan segala kekekurangannya, Indonesia adalah negara yang paling toleran terhadap kaum minoritas. Saya menyampaikan ini karena saya sudah diberikan kesempatan untuk tinggal atau minimal mengunjungi banyak negara.
Di Indonesia dari dulu semua warga bebas beragama dan menjalankan agamanya. Pernahkah Indonesia melarang agama, selama memang sejalan dan diakui dengan konstitusi?
Di negara manakah yang mayoritas non Muslim semua agama diberikan hak liburan nasional keagamaannya? Sungguh beruntung saudara-saudara minoritas di Indonesia. Kami di New York berjuang tujuh tahun lebih untuk mendapatkan hak libur sekolah di saat Idul Fitri dan Idul Adha. Itupun hanya di kota New York.
Karenanya kalaupun ada kasus-kasus gesekan antarmasyarakat agama di Indonesia itu bukan berarti bisa dikatakan sebagai negara yang prejudice dan diskriminatif.
Selain itu, kasus-kasus diskrimanasi terjadi kepada semua pihak. Siapa yang bisa mengingkari kekerasan dan diskriminasi kepada umat Islam di Papua misalnya?
Lebih penting lagi di Indonesia ada masa-masa di mana kaum minoritas mendapat posisi yang upper hand (lebih beruntung). Mereka misalnya menduduki posisi-posisi publik yang strategis dan penting di negara ini.
Apalagi jika kita berbicara tentang penguasaan perekonomian. Yang pasti sebagian besar kue negeri ini dikuasai oleh sekelompok kecil warga dari kalangan tertentu. Warga mayoritas pun hanya menerima itu seolah sebuah kenyataan semata.
Saya hanya ingin mengatakan hentikan memburuk-burukkan Indonesia demi mencari nasib baik di negeri orang. Jangan sebuah, dua buah kasus Anda pakai untuk mencampakkan wajah bangsa/negara di depan mata orang lain.
Maka dengan kejadian di Portland ini semakin menjadikan saya gerah dan kecewa. Bahwa ada saja pihak-pihak yang tidak tahu berterima kasih kepada negaranya atau negara asalnya.
Saya hanya ingin mengatakan bahwa dengan segala kekekurangannya, Indonesia adalah negara yang paling toleran terhadap kaum minoritas. Saya menyampaikan ini karena saya sudah diberikan kesempatan untuk tinggal atau minimal mengunjungi banyak negara.
Di Indonesia dari dulu semua warga bebas beragama dan menjalankan agamanya. Pernahkah Indonesia melarang agama, selama memang sejalan dan diakui dengan konstitusi?
Di negara manakah yang mayoritas non Muslim semua agama diberikan hak liburan nasional keagamaannya? Sungguh beruntung saudara-saudara minoritas di Indonesia. Kami di New York berjuang tujuh tahun lebih untuk mendapatkan hak libur sekolah di saat Idul Fitri dan Idul Adha. Itupun hanya di kota New York.
Karenanya kalaupun ada kasus-kasus gesekan antarmasyarakat agama di Indonesia itu bukan berarti bisa dikatakan sebagai negara yang prejudice dan diskriminatif.
Selain itu, kasus-kasus diskrimanasi terjadi kepada semua pihak. Siapa yang bisa mengingkari kekerasan dan diskriminasi kepada umat Islam di Papua misalnya?
Lebih penting lagi di Indonesia ada masa-masa di mana kaum minoritas mendapat posisi yang upper hand (lebih beruntung). Mereka misalnya menduduki posisi-posisi publik yang strategis dan penting di negara ini.
Apalagi jika kita berbicara tentang penguasaan perekonomian. Yang pasti sebagian besar kue negeri ini dikuasai oleh sekelompok kecil warga dari kalangan tertentu. Warga mayoritas pun hanya menerima itu seolah sebuah kenyataan semata.
Saya hanya ingin mengatakan hentikan memburuk-burukkan Indonesia demi mencari nasib baik di negeri orang. Jangan sebuah, dua buah kasus Anda pakai untuk mencampakkan wajah bangsa/negara di depan mata orang lain.
tulis komentar anda