Parliamentary Threshold Sebaiknya Memperhitungkan Jumlah Komisi dan AKD

Rabu, 10 Juni 2020 - 12:18 WIB
Wacana menaikkan ambang batas parlemen (Parliamentary Threshold) membuat perdebatan di antara partai besar versus menengah-bawah. Foto/SINDOphoto
JAKARTA - Wacana menaikkan ambang batas parlemen ( Parliamentary Threshold ) membuat perdebatan di antara partai besar versus menengah-bawah. Dalam draf revisi Undang-undang (UU) Pemilu, Komisi II menginginkan ambang batas parlemen 7%. Itu naik 3% dari yang sekarang berlaku.

Pengamat Politik Universitas Indonesia (UI), Cecep Hidayat mengatakan wacana itu harus diikuti dengan rencana bangunan ketatanegaraan Indonesia. Tujuan kenaikan ambang batas itu harus dijelaskan apakah ingin membentuk executive heavy, legislative heavy, sistem dua partai, tetap multipartai, atau pemerintahan yang seimbang. (Baca juga: Parliamentary Threshold Naik, Diprediksi Tak Lebih 3 Parpol Duduk di Parlemen)

“Kita memang (menganut) multipartai setelah reformasi. Kita menganut demokrasi setelah itu pilihan kita multipartai. Kemudian semua partai masuk Parlemen? Enggak juga. maka diadakan Parliamentary Threshold. Baru kemudian, ini bentuknya penyederhanan partai,” ujarnya saat dihubungi SINDOnews, Rabu (10/6/2020).

Kenaikan ambang batas dan “upaya penyederhaan partai” lewat UU sebenarnya berbanding terbalik. Menurutnya, karena di sisi lain membuat partai itu dipermudah. Ini yang membuat partai yang gagal di pemilu sebelumnya, kadang hanya berganti baju alias nama saja.

Dia menerangkan besaran ambang batas sebaiknya memperhitungkan kebutuhan anggota dewan di komisi dan alat kelengkapan dewan (AKD) lainnya. Jadi setiap fraksi yang masuk Parlemen bisa mengisi setiap komisi dan AKD, seperti Badan Anggaran (Banggar) dan Badan Legislasi (Baleg).



“Ketika semua fraksi dan badan kerja terisi, Parlemen bisa berfungsi secara efektif dan efisien. Jadi lebih kuat. Pada sisi lain, Itu akan dilihat penindasan dari partai besar terhadap partai kecil. Jadi dominasi partai besar, yang bisa bertahan hanya sedikit partai,” terang Cecep.

Komposisi partai di Senayan memang tidak pernah berubah drastis, terutama posisi tiga besar. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Golkar selalu berada di lingkaran itu. Di papan tengah yang paling cair pergeserannya. Namun, ada fenomena menarik dari Partai Demokrat yang sempat jaya pada Pemilu 2009.

Pada Pemilu 2014 dan 2019 turun drastis. Saat jaya, pamor Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) diduga kuat sebagai faktor utama pengerek suara Demokrat. Fenomena ini yang membuak partai baru, kecil, dan menengah untuk merangsek ke atas dan melebihi Parliamentary Threshold.

Gerindra merasakan pamor Prabowo Subianto. Pertama kali masuk Parlemen, kursi mereka hanya 26. Lima tahun berselang meningkat tajam menjadi 73 kursi. Pada pemilu lalu kenaikan hanya sedikit, yakni 5 kursi. (Baca juga: Perludem Anggap Presidential Threshold Tak Relevan dengan Pemilu Serentak)

“Partai kita enggak kuat. Budaya politik masyarakat kita relatif fleksibel. Enggak langsung seperti Amerika Serikat, saya seorang Demokrat atau Republikan. Indonesia swing voter-nya tinggi dan cair. Yang menentukan pilihan di detik-detik terakhir,” pungkasnya.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(kri)
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More