Sejarah LBM Eijkman, Laboratorium Berkelas Dunia Peninggalan Belanda
Selasa, 04 Januari 2022 - 07:34 WIB
JAKARTA - Terhitung mulai 1 September 2021, Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman resmi terintegrasi dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pada Jumat (31/12/2021), media sosial Twitter resmi LBM Eijkman mengeluarkan pernyataan bahwa mulai 1 Januari 2022, kegiatan deteksi Covid-19 di lembaga yang kini bernama Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman tersebut akan diambil alih Kedeputian Infrastruktur Riset dan Inovasi BRIN.
Peralihan ini mengakhiri peran Lembaga Eijkman yang telah menjadi aset Indonesia dalam menangani berbagai wabah penyakit sejak zaman penjajahan Belanda . Lembaga Eijkman pernah menjadi kebanggaan para mahasiswa, khususnya bidang kedokteran. ”Eijkman kita Hormati sebagai sejarah ilmu pengetahuan .. FKUI selama ini membanggakannya sebagai lab kelas dunia... Sejak zaman STOVIA...,” cuit Fahri Hamzah, Senin (4/1/2022).
Bagaimana sejarah lembaga ini? LBM Eijkman didirikan pemerintah Hindia Belanda dengan nama Central Geneeskundig Laboratorium pada tahun 1888. Lembaga ini didirikan di area Rumah Sakit Militer Hindia Belanda, sekarang dikenal dengan nama Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta Pusat.
Perubahan nama Geneeskundig Laboratorium menjadi Eijkman terjadi pada tahun 1938. Nama ini diambil dari Christiaan Eijkman, seorang dokter sekaligus peneliti Belanda. Ia merupakan penerima Nobel tahun 1929 atas jasanya pada bidang kesehatan saat meneliti penyakit beri-beri di Batavia. Ia menemukan penyebab, pengobatan, hingga cara mencegah penyakit tersebut.
Saat itu, lembaga tersebut tidak lagi dipimpin oleh Christiaan Eijkman, melainkan Prof Dr Achmad Mochtar, orang Indonesia pertama yang memimpin lembaga ini. Namun, nasibnya berakhir di tangan tentara Jepang karena dituduh atas pencemaran vaksin tetanus yang sedang dikembangkan.
Pergolakan ekonomi dan politik yang dialami Indonesia pada tahun 1960-an berujung dengan ditutupnya Lembaga Eijkman. Lembaga ini juga sempat melebur dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Hingga pada Desember 1990, lembaga ini kembali diangkat ke permukaan oleh BJ Habibie, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi.
Dengan keluarnya Surat Keputusan Nomor 475/M/Kp/VII/1992, pendirian Lembaga Biologi Molekuler Eijkman disahkan pada Juli 1992. Laboratoriumnya sendiri baru beroperasi di tahun berikutnya, pada April 1993. LBM Eijkman kemudian dipimpin oleh Profesor Sangot Marzuki, ahli biomolekuler dari Monash University, hingga tahun 2014. Setelahnya, Profesir Amin Soebandrio naik sebagai pemimpin LBM Eijkman hingga tahun 2021.
Dalam perkembangannya, LBM Eijkman telah ikut serta dalam berbagai riset penting menyangkut kesehatan, seperti HIV-AIDS, flu burung, SARS-1, SARS COV-2 yang menjadi penyebab Covid-19, termasuk penelitian mengenai plasma konvalesen dan pengembangan vaksin Covid-19 buatan anak bangsa, yakni vaksin Merah Putih.
Peralihan ini mengakhiri peran Lembaga Eijkman yang telah menjadi aset Indonesia dalam menangani berbagai wabah penyakit sejak zaman penjajahan Belanda . Lembaga Eijkman pernah menjadi kebanggaan para mahasiswa, khususnya bidang kedokteran. ”Eijkman kita Hormati sebagai sejarah ilmu pengetahuan .. FKUI selama ini membanggakannya sebagai lab kelas dunia... Sejak zaman STOVIA...,” cuit Fahri Hamzah, Senin (4/1/2022).
Bagaimana sejarah lembaga ini? LBM Eijkman didirikan pemerintah Hindia Belanda dengan nama Central Geneeskundig Laboratorium pada tahun 1888. Lembaga ini didirikan di area Rumah Sakit Militer Hindia Belanda, sekarang dikenal dengan nama Rumah Sakit Gatot Subroto, Jakarta Pusat.
Perubahan nama Geneeskundig Laboratorium menjadi Eijkman terjadi pada tahun 1938. Nama ini diambil dari Christiaan Eijkman, seorang dokter sekaligus peneliti Belanda. Ia merupakan penerima Nobel tahun 1929 atas jasanya pada bidang kesehatan saat meneliti penyakit beri-beri di Batavia. Ia menemukan penyebab, pengobatan, hingga cara mencegah penyakit tersebut.
Saat itu, lembaga tersebut tidak lagi dipimpin oleh Christiaan Eijkman, melainkan Prof Dr Achmad Mochtar, orang Indonesia pertama yang memimpin lembaga ini. Namun, nasibnya berakhir di tangan tentara Jepang karena dituduh atas pencemaran vaksin tetanus yang sedang dikembangkan.
Pergolakan ekonomi dan politik yang dialami Indonesia pada tahun 1960-an berujung dengan ditutupnya Lembaga Eijkman. Lembaga ini juga sempat melebur dengan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Hingga pada Desember 1990, lembaga ini kembali diangkat ke permukaan oleh BJ Habibie, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi.
Dengan keluarnya Surat Keputusan Nomor 475/M/Kp/VII/1992, pendirian Lembaga Biologi Molekuler Eijkman disahkan pada Juli 1992. Laboratoriumnya sendiri baru beroperasi di tahun berikutnya, pada April 1993. LBM Eijkman kemudian dipimpin oleh Profesor Sangot Marzuki, ahli biomolekuler dari Monash University, hingga tahun 2014. Setelahnya, Profesir Amin Soebandrio naik sebagai pemimpin LBM Eijkman hingga tahun 2021.
Dalam perkembangannya, LBM Eijkman telah ikut serta dalam berbagai riset penting menyangkut kesehatan, seperti HIV-AIDS, flu burung, SARS-1, SARS COV-2 yang menjadi penyebab Covid-19, termasuk penelitian mengenai plasma konvalesen dan pengembangan vaksin Covid-19 buatan anak bangsa, yakni vaksin Merah Putih.
(muh)
tulis komentar anda