Selamat untuk Nahdlatul Ulama!
Sabtu, 25 Desember 2021 - 06:56 WIB
Salah satu hal yang menjadi penekanan Ketua PBNU terpilih, Yahya Staqub, dalam pidato perdananya adalah bagaimana ke depan NU akan ikut memainkan peranan signifikan dan ikut menentukan warna dunia. Tentu lebih khusus warna dunia dalam hubungan antarmasyarakat beragama (interfaith communities).
Bagi saya hal ini menjadi sangat sifinifikan karena memang secara invisibile (tidak nampak) dunia menunggu peranan signifikan terpenting dari dunia Islam dalam upaya mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia yang tentunya membawa kepada kemakmuran yang berkeadilan. Dari sekian banyak kemungkinan itu, Indonesia seharusnya dapat menjadi lokomotif dalam memainkan peranan tersebut.
Selain memang sebagai negara Muslim terbesar dunia, Indonesia juga dikenal sebagai satu dari segelintir dunia Islam yang demokratis. Bahkan Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi ketiga dunia setelah India dan Amerika. Juga karena posisi strategis Indonesia baik secara ekonomis maupun perpolitikan dunia.
Sesuai amanah Konstitusi tentunya harapan untuk Umat Islam memainkan peranan itu menjadi amanah besar. Apalagi bagi organiasi-organisasi besar yang dikenal oleh dunia. NU dan Muhammadiyah beserta organisasi-organisasi massa lainnya harus berani maju ke garda terdepan untuk memainkan peranan itu.
Dan karenanya penyampaian pertama dan utama Yahya Staqub dalam pidato penutupan Muktamar itu penting untuk dimaknai. Tentu dengan sebuah “husnu dzonni” (positif mind) bahwa memang tujuan itu adalah untuk mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia yang berlandaskan kepada keadilan universal.
Saya menekankan “keadilan universal” karena ada upaya-upaya untuk, yang mungkin saja dengan niat baik, membangun “so called peace” (apa yang disebut Perdamaian) dengan mengindahkan (tidak menghiraukan) asas keadilan universal. Sebuah harapan damai yang saya anggap “mirage peace” atau Perdamaian fatamorgana.
Satu di antaranya adalah upaya membangun hubungan diplomasi dengan negara penjajah. Upaya ini pastinya “self paradox” (bertentangan pada dirinya). Karena di mana saja ada ketidak adilan akan ada keresahan bahkan kekerasan. Dan karenanya tiada perdamaian tanpa keadilan (no justice, no peace).
Semoga Nahdlatul Ulama di bawah kendali Gus Yahya dijaga Allah dalam hidayah keislaman dan semangat ukhuwah dalam iman dan insaniyat. Saya yakin, Nahdlatul Ulama yang berdiri untuk kejayaan Umat dan kemanusiaan tidak akan melupakan nilai-nilai perjuangan siapa pun dalam upaya mendapatkan hak keadilan itu.
Jika tidak maka NU dapat dianggap mengkhianati amanah konstitusi dan tentunya yang terpenting adalah amanah Islam dan ikhuwah islamiyah…semoga.
Saya akhiri sebagai kader Muhammadiyah: “Nashrun minallah wa fathun qariib”. Tapi juga sebagai saudara NU: “Wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thoriiq”.
Bagi saya hal ini menjadi sangat sifinifikan karena memang secara invisibile (tidak nampak) dunia menunggu peranan signifikan terpenting dari dunia Islam dalam upaya mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia yang tentunya membawa kepada kemakmuran yang berkeadilan. Dari sekian banyak kemungkinan itu, Indonesia seharusnya dapat menjadi lokomotif dalam memainkan peranan tersebut.
Selain memang sebagai negara Muslim terbesar dunia, Indonesia juga dikenal sebagai satu dari segelintir dunia Islam yang demokratis. Bahkan Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi ketiga dunia setelah India dan Amerika. Juga karena posisi strategis Indonesia baik secara ekonomis maupun perpolitikan dunia.
Sesuai amanah Konstitusi tentunya harapan untuk Umat Islam memainkan peranan itu menjadi amanah besar. Apalagi bagi organiasi-organisasi besar yang dikenal oleh dunia. NU dan Muhammadiyah beserta organisasi-organisasi massa lainnya harus berani maju ke garda terdepan untuk memainkan peranan itu.
Dan karenanya penyampaian pertama dan utama Yahya Staqub dalam pidato penutupan Muktamar itu penting untuk dimaknai. Tentu dengan sebuah “husnu dzonni” (positif mind) bahwa memang tujuan itu adalah untuk mewujudkan ketertiban dan perdamaian dunia yang berlandaskan kepada keadilan universal.
Saya menekankan “keadilan universal” karena ada upaya-upaya untuk, yang mungkin saja dengan niat baik, membangun “so called peace” (apa yang disebut Perdamaian) dengan mengindahkan (tidak menghiraukan) asas keadilan universal. Sebuah harapan damai yang saya anggap “mirage peace” atau Perdamaian fatamorgana.
Satu di antaranya adalah upaya membangun hubungan diplomasi dengan negara penjajah. Upaya ini pastinya “self paradox” (bertentangan pada dirinya). Karena di mana saja ada ketidak adilan akan ada keresahan bahkan kekerasan. Dan karenanya tiada perdamaian tanpa keadilan (no justice, no peace).
Semoga Nahdlatul Ulama di bawah kendali Gus Yahya dijaga Allah dalam hidayah keislaman dan semangat ukhuwah dalam iman dan insaniyat. Saya yakin, Nahdlatul Ulama yang berdiri untuk kejayaan Umat dan kemanusiaan tidak akan melupakan nilai-nilai perjuangan siapa pun dalam upaya mendapatkan hak keadilan itu.
Jika tidak maka NU dapat dianggap mengkhianati amanah konstitusi dan tentunya yang terpenting adalah amanah Islam dan ikhuwah islamiyah…semoga.
Saya akhiri sebagai kader Muhammadiyah: “Nashrun minallah wa fathun qariib”. Tapi juga sebagai saudara NU: “Wallahul muwaffiq ilaa aqwamit thoriiq”.
tulis komentar anda