Bunda, Didongengi Itu Dibohongi?
Jum'at, 24 Desember 2021 - 08:34 WIB
Berani mencukilkan berhala pencitraan kancil? Dongeng kancil mencuri mentimun atau kancil dan buaya, misalnya, masih menjadi “iman” cerita. Kancil mematrikan ajaran negatif. Si cerdik nan licik kancil diamini bahwa begitulah cara keluar atau solusi dari masalah yang dihadapi. Menghalalkan segala cara menjadi terpuji. Kancil menjadi hipokrit. Inilah musuh laten untuk kecakapan abad XXI yang wajib menilik variasi literasi.
Pergeseran tafsir pun terjadi. Kritisi pendidikan mengklaim bahwa dongeng yang baheula sangat intim dengan fase kanak-kanak kita, dikorek-korek ikut membidani runyamnya moralitas anak bangsa. Dekadensi. Kancil-kancil kontemporer meraja. Ujung dusun hingga pusar kota dikuasai pejabat dan penjahat. Kita selaku gawang dongeng justru menjadi pecundang.
Banyak pejabat bermoral pencuri karena kepincut mentimun ranum. Pejabat tidak berpikir mentimun itu milik siapa, yang penting bisa mendapatkannya. Kita diajari menghalalkan segala cara: menipu, membohongi, menindas, dan berbagai perilaku culas lain. Yang penting bebas, menang walau dengan cara licik.
baca juga: Inilah Dongeng-Dongeng yang Berhasil Dibuat oleh Member BTS
Mungkin ini satu argumen mengapa para pakar pendidikan menyatakan telah terjadi pemberhalaan dongeng. Secara psikologis, anak-anak yang masih dalam siklus pertumbuhan memiliki karakter yang cenderung imitatif dan plagiasi. Mereka akan meniru apa saja yang didengar, dilihat, atau ditonton. Kepekaan dan daya simpan memori mereka menakjubkan. Mereka belum mengenal salah dan benar. Dalam benaknya, yang penting menarik dan menyenangkan (dulce et utile).
Berhala kontemporer menggejala ketika mereka dewasa. Nilai-nilai buruk dari tiruan tokoh idola dongeng, sekali waktu menjelma dalam kehidupan mereka. Barangkali para politisi kita yang bertabiat licik, korup, dan suka menipu rakyat, pernah didongengi moyangnya tentang kancil. Imbasnya, perilaku mereka pun laiknya kancil.
Betapa dongeng anak memiliki pengaruh dahsyat bagi pertumbuhan mental. Tak elak, satu sisi dongeng memang menjadi metode efektif guna mendidik anak. Digemari anak karena menyuguhkan aneka petuah, teladan, atau hikmah melalui tokoh cerita. Sisi lain, dongeng adalah berhala kuno yang santun kita rawat.
baca juga: Heboh Harta Karun Palembang, Inikah Pulau Emas dalam Dongeng Indonesia?
Para orang tua terkini wajib mengemas dongeng yang mendidik. Tujuannya, anak-anak aman meneladan kisah. Dalam konteks inilah peran dan sentuhan sastrawi dimunculkan. Buatlah dongeng modifikasi. Buatlah anak-anak ketagihan dibacakan dongeng. Intinya, mendongenglah secara logika out of box. Ini era 4.0, era disrupsi, era digital yang menuntut mahir dan cakap abad XXI. “Kini saatnya kuasa kompetensi kawin dengan kuasa kapabilitas,” pungkas Prof Djoko Saryono, pakar literasi dari UNM Malang. Betapa tidak! ***
Pergeseran tafsir pun terjadi. Kritisi pendidikan mengklaim bahwa dongeng yang baheula sangat intim dengan fase kanak-kanak kita, dikorek-korek ikut membidani runyamnya moralitas anak bangsa. Dekadensi. Kancil-kancil kontemporer meraja. Ujung dusun hingga pusar kota dikuasai pejabat dan penjahat. Kita selaku gawang dongeng justru menjadi pecundang.
Banyak pejabat bermoral pencuri karena kepincut mentimun ranum. Pejabat tidak berpikir mentimun itu milik siapa, yang penting bisa mendapatkannya. Kita diajari menghalalkan segala cara: menipu, membohongi, menindas, dan berbagai perilaku culas lain. Yang penting bebas, menang walau dengan cara licik.
baca juga: Inilah Dongeng-Dongeng yang Berhasil Dibuat oleh Member BTS
Mungkin ini satu argumen mengapa para pakar pendidikan menyatakan telah terjadi pemberhalaan dongeng. Secara psikologis, anak-anak yang masih dalam siklus pertumbuhan memiliki karakter yang cenderung imitatif dan plagiasi. Mereka akan meniru apa saja yang didengar, dilihat, atau ditonton. Kepekaan dan daya simpan memori mereka menakjubkan. Mereka belum mengenal salah dan benar. Dalam benaknya, yang penting menarik dan menyenangkan (dulce et utile).
Berhala kontemporer menggejala ketika mereka dewasa. Nilai-nilai buruk dari tiruan tokoh idola dongeng, sekali waktu menjelma dalam kehidupan mereka. Barangkali para politisi kita yang bertabiat licik, korup, dan suka menipu rakyat, pernah didongengi moyangnya tentang kancil. Imbasnya, perilaku mereka pun laiknya kancil.
Betapa dongeng anak memiliki pengaruh dahsyat bagi pertumbuhan mental. Tak elak, satu sisi dongeng memang menjadi metode efektif guna mendidik anak. Digemari anak karena menyuguhkan aneka petuah, teladan, atau hikmah melalui tokoh cerita. Sisi lain, dongeng adalah berhala kuno yang santun kita rawat.
baca juga: Heboh Harta Karun Palembang, Inikah Pulau Emas dalam Dongeng Indonesia?
Para orang tua terkini wajib mengemas dongeng yang mendidik. Tujuannya, anak-anak aman meneladan kisah. Dalam konteks inilah peran dan sentuhan sastrawi dimunculkan. Buatlah dongeng modifikasi. Buatlah anak-anak ketagihan dibacakan dongeng. Intinya, mendongenglah secara logika out of box. Ini era 4.0, era disrupsi, era digital yang menuntut mahir dan cakap abad XXI. “Kini saatnya kuasa kompetensi kawin dengan kuasa kapabilitas,” pungkas Prof Djoko Saryono, pakar literasi dari UNM Malang. Betapa tidak! ***
(hdr)
tulis komentar anda