Bunda, Didongengi Itu Dibohongi?
Jum'at, 24 Desember 2021 - 08:34 WIB
Anton Suparyanta
Buruh perbukuan di Penerbit Intan Pariwara, Klaten, Jawa Tengah
Konon, ujung kulon Sumatera hingga ujung timur Papua, ujung utara Sulawesi hingga ujung selatan NTT, lumbung dongeng nusantara mengarsip. Nusantara mahakaya cerita. Dongeng mengecambah. Dongeng bersembunyi meraja di belantara dan di puri kerajaan sakti. Pedalaman adalah lumbung dongeng, dongeng klasik.
baca juga: Mencari Bunda Empu Mendongeng
Kini, dari tepi kampung sampai tengah kota, sudut dusun sampai pusar metropolitan, dongeng menjelma menjadi kurcaci parlente. Muncullah satu sindiran ketus “berhala literasi kancil dalam dongeng”. Pesona megabintang kancil menjadi arkais-artefak. Kancil tak lagi tampil parabel dengan pak tani. Ini menghindari penistaan kaum tani yang selalu kalah dan salah. Kancil kekinian trendi, kelimis berkerah dan berdasi. Ada apa di balik konon dan kini tradisi pewarisan dongeng nusantara?
Ada berhala laten yang menyusupi dongeng kita. Prof Suminto A Sayuti mulai terbata-bata meskipun dijatah jadi endorsement. Kak Seto Mulyadi minggir. Si Bunda tak suka membacakan dongeng menjelang si buah hati bobok. Benarlah adagium “didongengi itu dibohongi”! Bohong itu dosa. Edukatifkah? Padahal, mendongeng itu ibadah.
Era global atau zaman canggih serbadigital ini telah membunuh tradisi membacakan dongeng (mendongeng) untuk anak. Konten Youtube dengan varian tampilannya dan tayangan televisi seperti air bah tak terbendung, aneka game dalam gawai ibarat monster, produksi buku-buku makin menyampah, hingga tergencetnya waktu demi tuntutan kesibukan kerja, menambah derita keprihatinan untuk membacakan dongeng anak.
baca juga: Promosikan Bahasa Indonesia, 12 Negara Ikut Kompetisi Mendongeng SEAQIL
Jika mengulik kitab Mendidik Anak Lewat Dongeng (bonus 100 dongeng), misalnya, hendak menyatukan tekad seperti dicanangkan Prof Suminto, “Membacakan dongeng (mendongeng) adalah ibadah, jihad orang tua untuk membentuk generasi masa depan.” Masih ampuhkah? Bukankah kini tinggal ampas dongeng! Dongeng tidak mesti harus kancil. Dongeng kancil adalah berhala. Kini saat jitu merombak mitos si kancil.
Buruh perbukuan di Penerbit Intan Pariwara, Klaten, Jawa Tengah
Konon, ujung kulon Sumatera hingga ujung timur Papua, ujung utara Sulawesi hingga ujung selatan NTT, lumbung dongeng nusantara mengarsip. Nusantara mahakaya cerita. Dongeng mengecambah. Dongeng bersembunyi meraja di belantara dan di puri kerajaan sakti. Pedalaman adalah lumbung dongeng, dongeng klasik.
baca juga: Mencari Bunda Empu Mendongeng
Kini, dari tepi kampung sampai tengah kota, sudut dusun sampai pusar metropolitan, dongeng menjelma menjadi kurcaci parlente. Muncullah satu sindiran ketus “berhala literasi kancil dalam dongeng”. Pesona megabintang kancil menjadi arkais-artefak. Kancil tak lagi tampil parabel dengan pak tani. Ini menghindari penistaan kaum tani yang selalu kalah dan salah. Kancil kekinian trendi, kelimis berkerah dan berdasi. Ada apa di balik konon dan kini tradisi pewarisan dongeng nusantara?
Ada berhala laten yang menyusupi dongeng kita. Prof Suminto A Sayuti mulai terbata-bata meskipun dijatah jadi endorsement. Kak Seto Mulyadi minggir. Si Bunda tak suka membacakan dongeng menjelang si buah hati bobok. Benarlah adagium “didongengi itu dibohongi”! Bohong itu dosa. Edukatifkah? Padahal, mendongeng itu ibadah.
Era global atau zaman canggih serbadigital ini telah membunuh tradisi membacakan dongeng (mendongeng) untuk anak. Konten Youtube dengan varian tampilannya dan tayangan televisi seperti air bah tak terbendung, aneka game dalam gawai ibarat monster, produksi buku-buku makin menyampah, hingga tergencetnya waktu demi tuntutan kesibukan kerja, menambah derita keprihatinan untuk membacakan dongeng anak.
baca juga: Promosikan Bahasa Indonesia, 12 Negara Ikut Kompetisi Mendongeng SEAQIL
Jika mengulik kitab Mendidik Anak Lewat Dongeng (bonus 100 dongeng), misalnya, hendak menyatukan tekad seperti dicanangkan Prof Suminto, “Membacakan dongeng (mendongeng) adalah ibadah, jihad orang tua untuk membentuk generasi masa depan.” Masih ampuhkah? Bukankah kini tinggal ampas dongeng! Dongeng tidak mesti harus kancil. Dongeng kancil adalah berhala. Kini saat jitu merombak mitos si kancil.
tulis komentar anda