Hukuman Mati: Pilihan Hukum yang Dilematis
Kamis, 23 Desember 2021 - 15:44 WIB
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Universitas Padjadjaran
JAKSA Agung telah merencanakan hukuman mati terhadap terdakwa perkara korupsi dengan alasan bahwa korupsi telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor). Namun di dalam Undang-Undang (UU) Tipikor ditegaskan bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tersebut harus dapat dikembalikan antara lain melalui penyitaan.
Merujuk pada UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), hukuman mati hanya diperbolehkan jika korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu seperti negara dalam keadaan bahaya, bencana alam nasional,recidive dan ketika negara dalam keadaan krisis ekonomi moneter. Yang dimaksud dalam “keadaan tertentu” yang disebutkan secara limitatif dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001, tidak berarti sebatas hal-hal tersebut. Jaksa dan terutama hakim dapat memberikan penfasiran ekstensif jika berdasarkan keyakinannya korupsi telah melampaui nalar sehat sebagai warga negara Indonesia atau melanggar sila kemanusian yang adil dan beradab sebagai warga bangsa terhadap keprihatinan nasib sesamanya.
Dalam tulisan ini tidak akan dipersoalkan perkara tipikornya melainkan fokus pada konsekuensi logis dan hukum mengapa hukuman mati sampai saat ini masih dipersoalkan, bukan hanya di Indonesia melainkan umat manusia di seluruh dunia kecuali Tiongkok dan Rusia. Indonesia sebagai salah satu negara peratifikasi Deklarasi Universal HAM PBB (1948) dan sesuai dengan Konstitusi UUD45 Perubahan telah menegaskan dalam Bab XA Pasal 28 I ayat (1) antara lain,” hak untuk hidup,……adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” . Ketentuan pasal tersebut merupakan penegasan kembali ketentuan Pasal 28 A UUD45, yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 6 para 1 ICCPR : Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) ) UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001, itu jelas bertentangan secara diametral dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 45 dan ketentuan Pasal 6 ICCPR. Permohonan uji materiil yang tercatat hanya terhadap ketentuan UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terdapat dalam Putusan MKRI Nomor 2-4/PUU-V/2007.
Namun, pembentuk RUU KUHP (2019) telah melakukan moderasi terhadap hukuman mati yaitu dengan cara tetap mempertahankannya akan tetapi “melunakkan” implementasinya. Hal ini tercermin dalam Bab III tentang Pemidanaan, Pidana dan Tindakan di mana pembentuk RUU KUHP telah menetapkan tujuan dan pedoman pemidanaan yang tidak sepaham dengan pemikiran aliran Kantianisme (Imannuel Kant) tetapi juga tidak menolak hukuman mati tetapi meneriman pemikiran aliran sosiologi- viktimologi berbasis sila-sila Pancasila. Berdasarkan alur pemikiran yang bersifat memoderasi hukuman mati maka dalam Pasal 98 RUU KUHP pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.
Politik moderasi hukuman mati selanjutnya tercantum dalam Pasal 100 RUU KUHP: (1) Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika: a. terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; b. peran terdakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting; atau c. ada alasan yang meringankan. Ayat (2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. (3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Ayat (4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. Ayat (5) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Jika ketentuan pasal aquo disetujui DPR RI dan diundangkan maka itulah politik hukum pidana nasional Indonesia mengenai hukuman mati. Politik moderasi hukuman mati sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 98 dan Pasal 100 RUU KUHP telah sejalan dengan Protokol Optional Kedua pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang Ditujukan pada Penghapusan Hukuman Mati. Pasal 1,1. Tidak seorang pun, yang berada di dalam kekuasaan para negara peserta protokol ini dapat dihukum mati. 2. Setiap negara peserta akan menggunakan semua upaya yang diperlukan untuk menghapus hukuman mati di dalam kekuasaannya.
Guru Besar Universitas Padjadjaran
JAKSA Agung telah merencanakan hukuman mati terhadap terdakwa perkara korupsi dengan alasan bahwa korupsi telah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor). Namun di dalam Undang-Undang (UU) Tipikor ditegaskan bahwa kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tersebut harus dapat dikembalikan antara lain melalui penyitaan.
Merujuk pada UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), hukuman mati hanya diperbolehkan jika korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu seperti negara dalam keadaan bahaya, bencana alam nasional,recidive dan ketika negara dalam keadaan krisis ekonomi moneter. Yang dimaksud dalam “keadaan tertentu” yang disebutkan secara limitatif dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001, tidak berarti sebatas hal-hal tersebut. Jaksa dan terutama hakim dapat memberikan penfasiran ekstensif jika berdasarkan keyakinannya korupsi telah melampaui nalar sehat sebagai warga negara Indonesia atau melanggar sila kemanusian yang adil dan beradab sebagai warga bangsa terhadap keprihatinan nasib sesamanya.
Dalam tulisan ini tidak akan dipersoalkan perkara tipikornya melainkan fokus pada konsekuensi logis dan hukum mengapa hukuman mati sampai saat ini masih dipersoalkan, bukan hanya di Indonesia melainkan umat manusia di seluruh dunia kecuali Tiongkok dan Rusia. Indonesia sebagai salah satu negara peratifikasi Deklarasi Universal HAM PBB (1948) dan sesuai dengan Konstitusi UUD45 Perubahan telah menegaskan dalam Bab XA Pasal 28 I ayat (1) antara lain,” hak untuk hidup,……adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” . Ketentuan pasal tersebut merupakan penegasan kembali ketentuan Pasal 28 A UUD45, yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Ketentuan tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 6 para 1 ICCPR : Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life.
Sehubungan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (2) ) UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001, itu jelas bertentangan secara diametral dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 45 dan ketentuan Pasal 6 ICCPR. Permohonan uji materiil yang tercatat hanya terhadap ketentuan UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terdapat dalam Putusan MKRI Nomor 2-4/PUU-V/2007.
Namun, pembentuk RUU KUHP (2019) telah melakukan moderasi terhadap hukuman mati yaitu dengan cara tetap mempertahankannya akan tetapi “melunakkan” implementasinya. Hal ini tercermin dalam Bab III tentang Pemidanaan, Pidana dan Tindakan di mana pembentuk RUU KUHP telah menetapkan tujuan dan pedoman pemidanaan yang tidak sepaham dengan pemikiran aliran Kantianisme (Imannuel Kant) tetapi juga tidak menolak hukuman mati tetapi meneriman pemikiran aliran sosiologi- viktimologi berbasis sila-sila Pancasila. Berdasarkan alur pemikiran yang bersifat memoderasi hukuman mati maka dalam Pasal 98 RUU KUHP pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan mengayomi masyarakat.
Politik moderasi hukuman mati selanjutnya tercantum dalam Pasal 100 RUU KUHP: (1) Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika: a. terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; b. peran terdakwa dalam tindak pidana tidak terlalu penting; atau c. ada alasan yang meringankan. Ayat (2) Pidana mati dengan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam putusan pengadilan. (3) Tenggang waktu masa percobaan 10 (sepuluh) tahun dimulai 1 (satu) hari setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Ayat (4) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung. Ayat (5) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Jika ketentuan pasal aquo disetujui DPR RI dan diundangkan maka itulah politik hukum pidana nasional Indonesia mengenai hukuman mati. Politik moderasi hukuman mati sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 98 dan Pasal 100 RUU KUHP telah sejalan dengan Protokol Optional Kedua pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, yang Ditujukan pada Penghapusan Hukuman Mati. Pasal 1,1. Tidak seorang pun, yang berada di dalam kekuasaan para negara peserta protokol ini dapat dihukum mati. 2. Setiap negara peserta akan menggunakan semua upaya yang diperlukan untuk menghapus hukuman mati di dalam kekuasaannya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda