Stabilisasi Harga Minyak Goreng
Rabu, 22 Desember 2021 - 14:51 WIB
Instabilitas harga terjadi karena tak ada instrumen stabilisasi, baik harga maupun pasokan. Sampai saat ini pemerintah menyerahkan harga minyak goreng pada mekanisme pasar. Memang ada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7/2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen. Di beleid ini, minyak goreng kemasan sederhana di level konsumen dibanderol Rp11.000/liter. Masalahnya, ini sekadar acuan. Jika tidak diacu tidak ada sanksi. Permendag tentang harga acuan ini tidak lebih dari macan kertas: keberadaan dan ketiadaannya sama saja.
Untuk menstabilkan harga minyak goreng dimulai dari stok yang harus dikuasai pemerintah (untuk melakukan intervensi pasar) dan harganya. Menurut data Kementerian Perdagangan, kebutuhan minyak goreng curah rumah tangga, industri kecil menengah dan usaha mikro, kecil, dan menengah sekitar 2,1 juta liter. Mereka selama ini membeli di pasar tradisional. Mereka inilah yang akan jadi sasaran stabilisasi. Caranya, pemerintah memberikan subsidi harga tertentu dari tiap liter minyak goreng curah dari produsen. Kemudian produsen harus memastikan harga di hilir pada rentang harga yang ditentukan.
Anggaran subsidi bisa diambilkan dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dari sisi regulasi, seperti diatur di Perpres No. 66/2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 61/2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, dana bisa digunakan untuk kebutuhan pangan. Yang krusial adalah berapa alokasi subsidi per liter minyak goreng. Karena ini menentukan besar-kecilnya dana dari BPDPKS. Selama ini, selain untuk membantu peremajaan sawit dan promosi, dana ini dipakai untuk mensubsidi proyek biodiesel dari sawit, yakni B-30.
Subsidi diberikan kala harga minyak goreng tinggi. Ketika harga minyak goreng turun pada keseimbangan baru, subsidi dihentikan. Langkah ini harus dibarengi upaya, pertama, mengintegrasikan industri minyak goreng dengan produsen CPO. Harga minyak goreng saat ini terpantik tinggi karena harus membeli CPO sebagai bahan baku sesuai harga pasar lelang yang terhubung dengan harga internasional. Di saat harga CPO dunia naik, harga lelang pun naik. Kedua, mengefisienkan rantai pasok. Saat ini, 45 (60,8%) dari 74 pabrik minyak goreng berbasis sawit ada di Jawa. Sementara Jawa bukan penghasil sawit. Akibatnya, margin perdagangan dan pengangkutan tinggi: 17,41%. Jika dua masalah struktural ini bisa diurai, instabilitas harga minyak goreng bisa diredam.
Untuk menstabilkan harga minyak goreng dimulai dari stok yang harus dikuasai pemerintah (untuk melakukan intervensi pasar) dan harganya. Menurut data Kementerian Perdagangan, kebutuhan minyak goreng curah rumah tangga, industri kecil menengah dan usaha mikro, kecil, dan menengah sekitar 2,1 juta liter. Mereka selama ini membeli di pasar tradisional. Mereka inilah yang akan jadi sasaran stabilisasi. Caranya, pemerintah memberikan subsidi harga tertentu dari tiap liter minyak goreng curah dari produsen. Kemudian produsen harus memastikan harga di hilir pada rentang harga yang ditentukan.
Anggaran subsidi bisa diambilkan dari dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Dari sisi regulasi, seperti diatur di Perpres No. 66/2018 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No. 61/2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit, dana bisa digunakan untuk kebutuhan pangan. Yang krusial adalah berapa alokasi subsidi per liter minyak goreng. Karena ini menentukan besar-kecilnya dana dari BPDPKS. Selama ini, selain untuk membantu peremajaan sawit dan promosi, dana ini dipakai untuk mensubsidi proyek biodiesel dari sawit, yakni B-30.
Subsidi diberikan kala harga minyak goreng tinggi. Ketika harga minyak goreng turun pada keseimbangan baru, subsidi dihentikan. Langkah ini harus dibarengi upaya, pertama, mengintegrasikan industri minyak goreng dengan produsen CPO. Harga minyak goreng saat ini terpantik tinggi karena harus membeli CPO sebagai bahan baku sesuai harga pasar lelang yang terhubung dengan harga internasional. Di saat harga CPO dunia naik, harga lelang pun naik. Kedua, mengefisienkan rantai pasok. Saat ini, 45 (60,8%) dari 74 pabrik minyak goreng berbasis sawit ada di Jawa. Sementara Jawa bukan penghasil sawit. Akibatnya, margin perdagangan dan pengangkutan tinggi: 17,41%. Jika dua masalah struktural ini bisa diurai, instabilitas harga minyak goreng bisa diredam.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda