NU dan Visi Global-Kosmopolit Gus Yahya
Selasa, 21 Desember 2021 - 14:33 WIB
Gus Yahya berhasil merekonstruksi akar genealogis NU dengan cara pandang yang sangat segar. Ia sampai pada kesimpulan bahwa pendirian NU tidak mungkin hanya sebatas respons terhadap naiknya Wahabi ke panggung geopilitik global. Karena jika demikian, NU telah jatuh pada liang sektarianisme yang sama dengan ideologi yang hendak dilawannya.
Faktor paling mendasar yang melatarbelakangi berdirinya NU, menurut Gus Yahya, justru adalah visi global NU untuk menjawab tantangan peradaban. Ketika kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada 1924, praksis simbol politik peradaban Islam juga buyar. Wajah dunia Islam pun berubah secara total. Dan dua tahun setelah itu, NU didirikan. Sekuensi ini menyiratkan visi NU yang mau ambil bagian dalam upaya menjawab tatangan zaman.
Gus Yahya, boleh dibilang, adalah satu-satunya elite NU yang memikirkan betul aspek ini dengan sistematis dan meyakinkan. Dalam bukunya, Gus Yahya sudah memiliki platform yang jelas untuk mewujudkan visi global NU dengan mencoba melepas belenggu-belenggu fanatisme firqah yang seringkali mengerangkeng NU sebagai lawan tanding dari organisasi-organisasi keagamaan selainnya. Ini, kata Gus Yahya, justru mempersempit ruang gerak perjuangan NU. NU harus keluar dari tempurung sektarianisme yang membelenggu.
Sebagai orang yang pernah belajar sosiologi secara akademis, Gus Yahya tahu betul bahwa visi global, seperti yang diingatkan Ulrich Beck, dengan sendirinya, tidak mungkin dilepaspisahkan dari pola pikir kosmopolit yang mengikat sistem dunia hari ini. Visi kosmopolitan (cosmopolitan vision) sendiri adalah istilah yang dipakai sosiolog Jerman itu untuk mengembangkan sistem sosiologi modern yang paling sesuai dengan konteks kekinian. Dan Gus Yahya sepertinya meminjam paradigma ini untuk menciptakan NU baru yang siap memperluas reputasinya di tingkat global.
Nomenklatur “kebangkitan ulama” sebagai nama yang dipilih untuk kendaraan yang akan membawa misi global-kosmopolit Islam rahmatan lil ‘alamin meski solah terkesan eksklusif, sebenarnya sangat inklusif. Eksklusivitas itu—jika mau disebut demikian—hanya berlaku pada tataran otoritas pemikir(an) saja. Dengan kata lain, tanggung jawab merespons perubahan zaman pertama-tama memang merupakan pekerjaan ulama, pemikir, ilmuwan, atau cendekiawan.
Namun pada aspek teknikalitas untuk membangun wajah baru peradaban Islam di mata dunia, NU mesti lepas dari status eksklusifnya. NU harus menjadi wadah untuk semua jenis pemikiran, golongan, kelompok, dan afialiasi politik. Itulah kenapa, kata Gus Yahya, simbol tali pada logo NU dibuat longgar. Karena sejak didirikan, NU memiliki visi global-kosmopolit yang hendak diperjuangkan.
Kendati demikian, Gus Yahya cukup adil dalam menilai NU. Alih-alih melakukan glorifikasi, ia berani melakukan kritik internal untuk pelan-pelan melepas cara pandang lama yang insignifikan di tubuh NU. Ia menyadari, jika pola lama terus dilestarikan, NU akan semakin irrelevan. Dalam arti, NU dijauhi karena sektarian atau didekati semata karena menguntungkan.
Konstruksi organisasi NU nyaris tidak ada perubahan sejak 1952, titimangsa ketika NU berubah menjadi partai politik, meski pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo disepakati kembali ke khittah. Dalam praktiknya platform kembali ke khittah tidak pernah terumuskan secara teknis. Problem ini juga dipikirkan oleh Gus Yahya, dan ia telah menyediakan perangkat memadai untuk keluar dari persoalan ini.
Secara internal, Gus Yahya akan membenahi empat hal. Pertama, memperjelas pendapatan dan alokasi modal operasional organisasi. Ini dapat dilakukan dengan cara mengarusutamakan jejaring ekonomi keumatan dengan tata kelola yang profesional. Karena hanya dengan cara ini, kemandirian ekonomi Nahdliyin akan tercapai. Kedua, membangun struktur kepengurusan yang lebih beriorientasi pada cara pandang baru ketimbang cara pandang lama. Termasuk dalam hal ini adalah hubungannya dengan negara. Ketiga, rekrutmen keanggotaan yang lebih merata dan egaliter. Keempat, pola hubungan struktur dengan kultur atau pengurus dengan warga mengikuti asas fellowship, bukan membership.
Faktor paling mendasar yang melatarbelakangi berdirinya NU, menurut Gus Yahya, justru adalah visi global NU untuk menjawab tantangan peradaban. Ketika kekhalifahan Turki Utsmani runtuh pada 1924, praksis simbol politik peradaban Islam juga buyar. Wajah dunia Islam pun berubah secara total. Dan dua tahun setelah itu, NU didirikan. Sekuensi ini menyiratkan visi NU yang mau ambil bagian dalam upaya menjawab tatangan zaman.
Gus Yahya, boleh dibilang, adalah satu-satunya elite NU yang memikirkan betul aspek ini dengan sistematis dan meyakinkan. Dalam bukunya, Gus Yahya sudah memiliki platform yang jelas untuk mewujudkan visi global NU dengan mencoba melepas belenggu-belenggu fanatisme firqah yang seringkali mengerangkeng NU sebagai lawan tanding dari organisasi-organisasi keagamaan selainnya. Ini, kata Gus Yahya, justru mempersempit ruang gerak perjuangan NU. NU harus keluar dari tempurung sektarianisme yang membelenggu.
Sebagai orang yang pernah belajar sosiologi secara akademis, Gus Yahya tahu betul bahwa visi global, seperti yang diingatkan Ulrich Beck, dengan sendirinya, tidak mungkin dilepaspisahkan dari pola pikir kosmopolit yang mengikat sistem dunia hari ini. Visi kosmopolitan (cosmopolitan vision) sendiri adalah istilah yang dipakai sosiolog Jerman itu untuk mengembangkan sistem sosiologi modern yang paling sesuai dengan konteks kekinian. Dan Gus Yahya sepertinya meminjam paradigma ini untuk menciptakan NU baru yang siap memperluas reputasinya di tingkat global.
Nomenklatur “kebangkitan ulama” sebagai nama yang dipilih untuk kendaraan yang akan membawa misi global-kosmopolit Islam rahmatan lil ‘alamin meski solah terkesan eksklusif, sebenarnya sangat inklusif. Eksklusivitas itu—jika mau disebut demikian—hanya berlaku pada tataran otoritas pemikir(an) saja. Dengan kata lain, tanggung jawab merespons perubahan zaman pertama-tama memang merupakan pekerjaan ulama, pemikir, ilmuwan, atau cendekiawan.
Namun pada aspek teknikalitas untuk membangun wajah baru peradaban Islam di mata dunia, NU mesti lepas dari status eksklusifnya. NU harus menjadi wadah untuk semua jenis pemikiran, golongan, kelompok, dan afialiasi politik. Itulah kenapa, kata Gus Yahya, simbol tali pada logo NU dibuat longgar. Karena sejak didirikan, NU memiliki visi global-kosmopolit yang hendak diperjuangkan.
Kendati demikian, Gus Yahya cukup adil dalam menilai NU. Alih-alih melakukan glorifikasi, ia berani melakukan kritik internal untuk pelan-pelan melepas cara pandang lama yang insignifikan di tubuh NU. Ia menyadari, jika pola lama terus dilestarikan, NU akan semakin irrelevan. Dalam arti, NU dijauhi karena sektarian atau didekati semata karena menguntungkan.
Konstruksi organisasi NU nyaris tidak ada perubahan sejak 1952, titimangsa ketika NU berubah menjadi partai politik, meski pada Muktamar ke-27 tahun 1984 di Situbondo disepakati kembali ke khittah. Dalam praktiknya platform kembali ke khittah tidak pernah terumuskan secara teknis. Problem ini juga dipikirkan oleh Gus Yahya, dan ia telah menyediakan perangkat memadai untuk keluar dari persoalan ini.
Secara internal, Gus Yahya akan membenahi empat hal. Pertama, memperjelas pendapatan dan alokasi modal operasional organisasi. Ini dapat dilakukan dengan cara mengarusutamakan jejaring ekonomi keumatan dengan tata kelola yang profesional. Karena hanya dengan cara ini, kemandirian ekonomi Nahdliyin akan tercapai. Kedua, membangun struktur kepengurusan yang lebih beriorientasi pada cara pandang baru ketimbang cara pandang lama. Termasuk dalam hal ini adalah hubungannya dengan negara. Ketiga, rekrutmen keanggotaan yang lebih merata dan egaliter. Keempat, pola hubungan struktur dengan kultur atau pengurus dengan warga mengikuti asas fellowship, bukan membership.
tulis komentar anda