Tekun...
Sabtu, 18 Desember 2021 - 06:09 WIB
Pesimis lumrah terkabarkan. Pembahasaan agak santun dan menolak pesimis disampaikan Burhan (2005) seperti tak pernah mendapat masalah-masalah ruwet dalam sastra dan perbukuan anak. Kita membaca ada ajakan bungah: “Dewasa ini perhatian orang akan pentingnya pemenuhan dan penyediaan buku-buku bacaan sastra bagi anak-anak – yang disebut sebagai sastra anak – semakin meningkat. Hal itu menunjukkan kesadaran orang dewasa bahwa pemenuhan kebutuhan bacaan anak merupakan sesuatu yang penting dan tidak dikalahkan oleh pemenuhan kebutuhan yang lain seperti barang-barang mainan.”
baca juga: 2 Hari Buka Kelas Dongeng Cilik, Langkah Awal Kembangkan Literasi Anak di Babel
Burhan tak mau lesu atau menjadikan para pembaca selalu murung gara-gara memikirkan sastra anak di Indonesia, belum di dunia. Impor cerita atau bacaan anak sering gubahan Eny Blyton. Kita simak penilaian Setyaningsih: “Membuka halaman-halaman Enid, kita memang cenderung dihadapkan pada kehidupan anak-anak dari keluarga nan harmonis dengan kemapanan ekonomi, sosial, dan kasih sayang. Konflik justru tidak datang dari internal keluarga, tapi pada masalah-masalah di sekita.”
Puluhan judul buku Enid diterjemahkan di Indonesia, menjadikan Gramedia sebagai penerbit teringat bagi anak-anak menggemari persembahan cerita diakui selera dunia. Kesanggupan Setyaningsih membaca ratusan buku dengan membuat tafsir memungkinkan pengamatan atas sastra anak teruji, terhindar dari omong kosong dan nasihat pasti bijak.
baca juga: Suara Merdu Anak-anak Penyandang Disabilitas Bikin Wali Kota Jakut Terpukau
Buku-buku itu dipelajari dalam beragam hal, mendapat catatan-catatan untuk dihajar dengan kritik atau termuliakan berdasarkan kebaikan dan keampuhan. Berurusan sastra anak mewajibkan keranjingan membaca dan teliti dalam membuat penafsiran. Semua tercatat dan terajukan dengan argumentasi meski ringan.
Tata cara itu terbedakan bila kita mengikuti penjelasan Murti Bunanta (1990): “Bacaan anak yang baik pada umumnya tercipta berdasarkan ilham pengarang yang diambil dari pengalaman dan prinsip hidupnya dengan tujuan yang berbagi dengan anak dan bukan semata-mata untuk ‘mengedukasikan’ anak atau memberi pesan dan wejangan-wejangan pada anak berdasarkan suatu misi atau program.”
Kalimat-kalimat itu bijak. Kita tak perlu membantah jika mengetahui ketekunan Murti Bunanta membuat tulisan-tulisan akademi bertema sastra anak. Ia mengerjakan skripsi, tesis, dan disertasi berdalih mengamati sastra anak, berharapan membekali kemaun besar memajukan sastra dan kepustakaan anak di Indonesia.
baca juga: Pacu Literasi Anak, Migo Indonesia dan Dinas Pendidikan Kota Cirebon Manfaatkan Kearifan Lokal
Di daftar pengarang Indonesia mau menulis cerita anak, Setyaningsih “meresmikan” Mansur Samin itu “salah satu yang paling tekun menulis bacaan anak”. Pengakuan setelah mengumpulkan dan membaca puluhan buku gubahan Mansur Samin. Ia tak lupa mewartakan bahwa buku-buku Mansur Samin sering berselera atau bercap Inpres diadakan oleh pemerintah sejak masa 1970-an. Kita diajak mengerti urusan sastra anak di Indonesia ada dalam “perintah” dan “ketergantungan” dengan kebijakan-kebijakan politis beranggaran besar.
baca juga: 2 Hari Buka Kelas Dongeng Cilik, Langkah Awal Kembangkan Literasi Anak di Babel
Burhan tak mau lesu atau menjadikan para pembaca selalu murung gara-gara memikirkan sastra anak di Indonesia, belum di dunia. Impor cerita atau bacaan anak sering gubahan Eny Blyton. Kita simak penilaian Setyaningsih: “Membuka halaman-halaman Enid, kita memang cenderung dihadapkan pada kehidupan anak-anak dari keluarga nan harmonis dengan kemapanan ekonomi, sosial, dan kasih sayang. Konflik justru tidak datang dari internal keluarga, tapi pada masalah-masalah di sekita.”
Puluhan judul buku Enid diterjemahkan di Indonesia, menjadikan Gramedia sebagai penerbit teringat bagi anak-anak menggemari persembahan cerita diakui selera dunia. Kesanggupan Setyaningsih membaca ratusan buku dengan membuat tafsir memungkinkan pengamatan atas sastra anak teruji, terhindar dari omong kosong dan nasihat pasti bijak.
baca juga: Suara Merdu Anak-anak Penyandang Disabilitas Bikin Wali Kota Jakut Terpukau
Buku-buku itu dipelajari dalam beragam hal, mendapat catatan-catatan untuk dihajar dengan kritik atau termuliakan berdasarkan kebaikan dan keampuhan. Berurusan sastra anak mewajibkan keranjingan membaca dan teliti dalam membuat penafsiran. Semua tercatat dan terajukan dengan argumentasi meski ringan.
Tata cara itu terbedakan bila kita mengikuti penjelasan Murti Bunanta (1990): “Bacaan anak yang baik pada umumnya tercipta berdasarkan ilham pengarang yang diambil dari pengalaman dan prinsip hidupnya dengan tujuan yang berbagi dengan anak dan bukan semata-mata untuk ‘mengedukasikan’ anak atau memberi pesan dan wejangan-wejangan pada anak berdasarkan suatu misi atau program.”
Kalimat-kalimat itu bijak. Kita tak perlu membantah jika mengetahui ketekunan Murti Bunanta membuat tulisan-tulisan akademi bertema sastra anak. Ia mengerjakan skripsi, tesis, dan disertasi berdalih mengamati sastra anak, berharapan membekali kemaun besar memajukan sastra dan kepustakaan anak di Indonesia.
baca juga: Pacu Literasi Anak, Migo Indonesia dan Dinas Pendidikan Kota Cirebon Manfaatkan Kearifan Lokal
Di daftar pengarang Indonesia mau menulis cerita anak, Setyaningsih “meresmikan” Mansur Samin itu “salah satu yang paling tekun menulis bacaan anak”. Pengakuan setelah mengumpulkan dan membaca puluhan buku gubahan Mansur Samin. Ia tak lupa mewartakan bahwa buku-buku Mansur Samin sering berselera atau bercap Inpres diadakan oleh pemerintah sejak masa 1970-an. Kita diajak mengerti urusan sastra anak di Indonesia ada dalam “perintah” dan “ketergantungan” dengan kebijakan-kebijakan politis beranggaran besar.
Lihat Juga :
tulis komentar anda