Sudah Saatnya Harga BBM Turun

Kamis, 23 April 2020 - 06:01 WIB
Harga minyak mentah (crude oil) mencapai titik terendah dalam sejarah. Foto/SINDOnews
HARGA minyak mentah (crude oil) mencapai titik terendah dalam sejarah. Bahkan, emas hitam itu sempat tak memiliki harga sama sekali. Itu terjadi pada kontrak pengiriman yang berakhir pada 21 April 2020.

Para produsen minyak pun memberikan insentif kepada para pembeli agar bersedia mengangkut minyaknya. Namun, kemarin harga minyak mentah sudah mulai stabil karena para produsen minyak yang tergabung di dalam OPEC mencapai kesepakatan soal pasokan minyak.

Meskipun "kartel" minyak dunia telah mencapai kesepakatan, harga minyak dipastikan tak akan normal seperti tahun lalu. Ini karena permintaan yang masih rendah karena konsumsi yang turun tajam akibat adanya lockdown di banyak negara di dunia. Harga minyak mentah hingga akhir tahun ini diperkirakan masih berada di titik suram.

Sejak negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat (AS) menerapkan kebijakan lockdown serta pelarangan bepergian akibat pandemi virus korona pada bulan lalu, harga minyak sudah anjlok sangat tajam. Bahkan, para pakar perminyakan yakin harga minyak sulit bangkit lagi jika pandemi virus asal Wuhan, China, itu belum berakhir.

Beberapa negara sudah menurunkan harga BBM. Di kawasan Asia, misalnya, Malaysia dan Vietnam adalah dua negara yang sudah menurunkan harga BBM beberapa kali. Harga rata-rata BBM di Malaysia hanya 1,2 ringgit Malaysia atau Rp4.540 per liter. Data itu dilansir Global Petrol Price. Harga BBM di Vietnam turun dari rata-rata Rp14.265 per liter menjadi Rp8.152 per liter. Di AS harga BBM rata-rata mencapai USD1,81 per galon, sekitar Rp7.500 per liter, turun dari rata-rata USD2,6 per galon atau Rp10.800 per liter.



Dengan anjloknya harga minyak, maka sudah saatnya harga BBM di dalam negeri diturunkan. Apalagi selama ini harga minyak selalu mengikuti perkembangan pasar. Sebagian minyak yang diolah menjadi BBM di dalam negeri berasal dari impor. Beberapa jenis BBM juga sebagian besar berasal dari impor sehingga seharusnya pemerintah melakukan penurunan harga sesuai harga pasar global. Bila tidak, tentu tidak fair dan pemerintah bisa dianggap tidak konsisten dalam penetapan harga BBM.

Secara nasional, dampak penurunan harga minyak itu positif dari sisi ekonomi maupun dari sisi moneter, apalagi Indonesia adalah nett importer minyak. Jika harga minyak jatuh maka Indonesia bisa memperoleh harga minyak dengan murah, efeknya dapat mengurangi beban defisit neraca perdagangan yang masih disumbang dari defisit neraca minyak dan gas (migas) dan akan memperbaiki neraca perdagangan maupun defisit transaksi berjalan Indonesia.

Bank Indonesia (BI) memproyeksikan defisit transaksi berjalan pada kuartal I akan lebih rendah dari 1,5% dan keseluruhan tahun CAD juga akan bergerak lebih rendah dari 2,5% terhadap PDB. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca minyak mentah Indonesia mencatatkan defisit USD1,44 miliar sejak Januari-Maret 2020, melebar dibanding periode yang sama tahun lalu yang defisitnya USD811,5 juta.

Anjloknya harga minyak berdampak positif di sisi moneter, akan tetapi Perry menyebut dari sisi fiskal akan berdampak negatif karena penerimaan pajak akan menurun, tetapi kebutuhan untuk pengeluaran anggaran berkaitan minyak juga turun dan subsidi akan turun.

Penurunan harga BBM tentu berimbas pada menyusutnya ongkos produksi, meski tidak terlalu signifikan. Penurunan harga BBM bisa mengikis inflasi lebih rendah. Itu karena peran BBM dalam inflasi cukup besar, selain harga beras. Dengan menurunkan harga BBM memberikan peluang untuk meningkatkan konsumsi domestik.

Namun, kebijakan penurunan BBM harus diikuti penurunan harga kebutuhan pokok. Penurunan tarif listrik, sebab harga rata-rata biaya produksi listrik akan turun karena ada pembangkit listrik yang menggunakan solar. Jika harga BBM turun, harga barang dan tarif transportasi juga perlu turun. Ini akan mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsinya.

Di tengah penurunan konsumsi energi yang terjadi saat ini. Turunnya harga BBM akan meningkatkan daya beli masyarakat sehingga pasti berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Selain itu, kombinasi dengan pengeluaran yang terjadi saat Ramadan juga memberi dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(maf)
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More