Dituntut Hukuman Mati di Kasus Korupsi Asabri, Heru Hidayat Merasa Dizalimi
Selasa, 14 Desember 2021 - 04:46 WIB
JAKARTA - Terdakwa perkara dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asabri , Heru Hidayat dituntut hukuman mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Heru Hidayat selaku Presiden Komisaris PT Trada Alam Sejahtera diyakini terbukti melakukan korupsi dana PT Asabri yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp22,788 triliun.
Heru Hidayat merasa dizalimi atas tuntutan tim jaksa tersebut. Melalui nota pembelaannya (pleidoi), Heru menolak dituntut hukuman mati oleh jaksa pada Kejaksaan Agung (Kejagung). Menurutnya, tuntutan tim jaksa tidak sesuai dengan koridor hukum dan kaidah moral.
"Tuntutan yang tidak sesuai dengan koridor hukum dan kaidah moral. Sungguh suatu kezaliman yang luar biasa. Kezaliman yang berlindung di balik topeng penegak hukum," ujar Heru saat membacakan nota pembelaannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (13/12/2021).
Heru menilai tuntutan hukuman mati tim jaksa tidak sesuai dengan pasal yang ada dalam dakwaan. Sebab, tim jaksa tidak mencantumkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dalam surat dakwaan Heru Hidayat. Tim jaksa, kata Heru, hanya menerapkan Pasal 2 ayat (1) dalam surat dakwaannya.
"Lalu kenapa mendadak dalam surat tuntutan jaksa menuntut mati? Sementara dalam poin satu amar tuntutannya jaksa menyatakan saya bersalah di Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor," jelasnya.
Dia meminta agar hakim bertindak bijaksana dalam memvonisnya. Ia pun memohon kepada hakim agar tidak divonis hukuman mati. "Tuntutan mati yang dibacakan jaksa minggu lalu adalah suatu bentuk 'abuse of power' yang sangat zalim. Kewenangan menuntut yang dimiliki oleh jaksa malah digunakan dengan menyimpang dari koridor hukum," ucapnya.
Hal senada juga ditekankan oleh Kuasa Hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk. Ditegaskan Kresna, jaksa tidak pernah menyisipkan Pasal 2 ayat (2) dalam surat dakwaan kliennya. Padahal, sambung dia, surat dakwaan adalah acuan dan batasan dalam persidangan perkara ini.
"Selain itu juga tuntutan JPU bahwa perkara ini adalah pengulangan tindak pidana sangat keliru, karena tempus perkara ini adalah 2012-2019, sebelum Pak Heru dihukum di kasus AJS (Asuransi Jiwasraya)," tutur Kresna saat mendampingi Heru di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
"Sedangkan yang dimaksud pengulangan tindak pidana adalah tindak pidana yang dilakukan setelah seseorang divonis, sehingga jelas perkara ini bukan pengulangan tindak pidana," imbuhnya.
Heru Hidayat merasa dizalimi atas tuntutan tim jaksa tersebut. Melalui nota pembelaannya (pleidoi), Heru menolak dituntut hukuman mati oleh jaksa pada Kejaksaan Agung (Kejagung). Menurutnya, tuntutan tim jaksa tidak sesuai dengan koridor hukum dan kaidah moral.
"Tuntutan yang tidak sesuai dengan koridor hukum dan kaidah moral. Sungguh suatu kezaliman yang luar biasa. Kezaliman yang berlindung di balik topeng penegak hukum," ujar Heru saat membacakan nota pembelaannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (13/12/2021).
Heru menilai tuntutan hukuman mati tim jaksa tidak sesuai dengan pasal yang ada dalam dakwaan. Sebab, tim jaksa tidak mencantumkan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dalam surat dakwaan Heru Hidayat. Tim jaksa, kata Heru, hanya menerapkan Pasal 2 ayat (1) dalam surat dakwaannya.
"Lalu kenapa mendadak dalam surat tuntutan jaksa menuntut mati? Sementara dalam poin satu amar tuntutannya jaksa menyatakan saya bersalah di Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor," jelasnya.
Dia meminta agar hakim bertindak bijaksana dalam memvonisnya. Ia pun memohon kepada hakim agar tidak divonis hukuman mati. "Tuntutan mati yang dibacakan jaksa minggu lalu adalah suatu bentuk 'abuse of power' yang sangat zalim. Kewenangan menuntut yang dimiliki oleh jaksa malah digunakan dengan menyimpang dari koridor hukum," ucapnya.
Hal senada juga ditekankan oleh Kuasa Hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk. Ditegaskan Kresna, jaksa tidak pernah menyisipkan Pasal 2 ayat (2) dalam surat dakwaan kliennya. Padahal, sambung dia, surat dakwaan adalah acuan dan batasan dalam persidangan perkara ini.
"Selain itu juga tuntutan JPU bahwa perkara ini adalah pengulangan tindak pidana sangat keliru, karena tempus perkara ini adalah 2012-2019, sebelum Pak Heru dihukum di kasus AJS (Asuransi Jiwasraya)," tutur Kresna saat mendampingi Heru di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
"Sedangkan yang dimaksud pengulangan tindak pidana adalah tindak pidana yang dilakukan setelah seseorang divonis, sehingga jelas perkara ini bukan pengulangan tindak pidana," imbuhnya.
tulis komentar anda