KLHK Sebut Keadilan Gender Sudah Melekat di Masyarakat Adat
Minggu, 12 Desember 2021 - 04:01 WIB
JAKARTA - Kepala Biro Perencanaan selaku Koordinator Kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ( Pokja PUG KLHK) Apik Karyana mengatakan nilai-nilai keadilan gender sudah melekat di masyarakat adat.
Kearifan lokal dan praktik-praktik telah berjalan secara efektif di hutan adat milik mereka, khususnya oleh para perempuan. Untuk itu, kata Apik, yang KLHK lakukan berkaitan masyarakat adat dan hutan mereka kelola (hutan adat) adalah mempelajari praktik baik tersebut dan kemudian mengembangkannya. “Para ibu yang dekat dengan hutan adat itu sudah mempraktikkan nilai-nilai keadilan gender sehingga yang kami lakukan di sini adalah mengadopsi praktik baik tersebut dan mengembangkannya. Yang dari si nilah, maka istilah yang populer itu adalah ibu pertiwi atau mother of land, bukan ayah pertiwi,” imbuhnya dalam podcast perdana hasil kerja sama antara Pokja PUG KLHK, The Asia Foundation (TAF), Minggu (12/12/2021).
Apik menyebut, Indonesia memiliki luas daratan sekitar 197 juta hektare dan 62% atau sekitar 120 juta hektare berupa hutan. Dari total luas hutan ini ada yang dikelola oleh masyarakat adat yang disebut hutan adat di sinilah nilai-nilai keadilan gender tumbuh subur. Dengan ungkapan lain, lanjut Apik, perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan hutan. Di waktu bersamaan, KLHK mendorong agar perempuan di masyarakat adat selalu mendapatkan akses untuk pengelolaan hutan.
Yang terakhir tercermin dari bagaimana program-program di KLHK, bahkan kegiatan di setiap unit kerjanya, sudah mengarah pada 17 Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya nomor 5. “Jadi jika ditanya apakah sudah harmoni antara PUG di KLHK dan SDGs, maka jawabannya tentu sudah. Program-program kami sudah mengarah ke situ, khususnya yang kelima, yakni tentang kesetaraan gender,” jelasnya.
Dalam diskusi bertajuk Harmonisasi Pengarusutamaan Gender di KLHK dalam Mendukung Tujuan Pembangunan Bersama atau SDGs ini, Apik juga menyampaikan KLHK berhasil mendapatkan penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) kategori mentor dari pemerintah. Hal itu bisa diraih karena Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar memiliki komitmen kuat untuk menjadikan KLHK tidak saja netral gender, tetapi nature gender.
Maksud dari nature gender adalah bagaimana menjadikan segenap Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan KLHK bisa meresapi dan menginternalisasi nilai-nilai keadilan gender. “Targetnya adalah bagaimana nilai keadilan gender bisa masuk dalam hati, pikiran, sekaligus perbuatan segenap ASN di KLHK, mulai dari tingkat pengambil kebijakan hingga staf,” ungkapnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, KLHK menggelar apa itu yang disebut sebagai Festival Gender yang telah dibuka pada Juni lalu dan akan ditutup pada Desember 2021. Festival ini diikuti oleh berbagai layer atau level jabatan di lingkungan KLHK dengan harapan agar segenap pegawai KLHK memiliki wadah dan waktu khusus untuk membincang perihal keadilan gender. “Ini soal gerakan massal dalam bentuk perbincangan terkait PUG yang melibatkan banyak pihak,” ujar Apik.
Untuk penetrasi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia, KLHK tidak saja mengeksekusinya dalam bentuk regulasi, tetapi juga pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)—yakni melalui Festival Gender tadi salah satunya—dan bahkan sarana prasarana. Sarana yang Apik maksud adalah fasilitas di ruang publik KLHK untuk kelompok rentan, seperti disediakannya kursi roda bagi difabel, ruang laktasi bagi ibu menyusui, dan penitipan anak. Untuk penitipan anak, fasilitas ini tidak saja terbuka untuk pegawai KLHK, tetapi terbuka untuk umum. “Itu pegawai-pegawai dari kantor di sekitar KLHK juga ada yang menitipkan anaknya ke sini,” kata Apik.
Lebih jauh, Apik juga menjelaskan langkah-langkah yang KLHK lakukan untuk menuju nature gender. Pertama, KLHK berupaya untuk selalu meningkatkan kapasitas dan kompetensi pegawai melalui pertemuan-pertemuan, lokakarya dan sebagainya yang diadakan langsung oleh sub-Pokja. Kedua, KLHK meminta eselon I menyusun penganggarannya berbasis gender. Ini dilakukan dengan memasukkan gender dalam setiap kegiatan di KLHK.
Terakhir, KLHK mengontrol bagaimana monitoring dan evaluasi berjalan, yakni untuk mengetahui apakah peran dan akses perempuan di KLHK sudah seimbang. “Untuk monev, kami punya apa itu namanya data terpilah. Dengan data ini, kami tahu dalam suatu kegiatan, ada berapa perempuan dan berapa laki-laki yang terlibat,” ungkapnya.
Kearifan lokal dan praktik-praktik telah berjalan secara efektif di hutan adat milik mereka, khususnya oleh para perempuan. Untuk itu, kata Apik, yang KLHK lakukan berkaitan masyarakat adat dan hutan mereka kelola (hutan adat) adalah mempelajari praktik baik tersebut dan kemudian mengembangkannya. “Para ibu yang dekat dengan hutan adat itu sudah mempraktikkan nilai-nilai keadilan gender sehingga yang kami lakukan di sini adalah mengadopsi praktik baik tersebut dan mengembangkannya. Yang dari si nilah, maka istilah yang populer itu adalah ibu pertiwi atau mother of land, bukan ayah pertiwi,” imbuhnya dalam podcast perdana hasil kerja sama antara Pokja PUG KLHK, The Asia Foundation (TAF), Minggu (12/12/2021).
Apik menyebut, Indonesia memiliki luas daratan sekitar 197 juta hektare dan 62% atau sekitar 120 juta hektare berupa hutan. Dari total luas hutan ini ada yang dikelola oleh masyarakat adat yang disebut hutan adat di sinilah nilai-nilai keadilan gender tumbuh subur. Dengan ungkapan lain, lanjut Apik, perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan hutan. Di waktu bersamaan, KLHK mendorong agar perempuan di masyarakat adat selalu mendapatkan akses untuk pengelolaan hutan.
Yang terakhir tercermin dari bagaimana program-program di KLHK, bahkan kegiatan di setiap unit kerjanya, sudah mengarah pada 17 Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya nomor 5. “Jadi jika ditanya apakah sudah harmoni antara PUG di KLHK dan SDGs, maka jawabannya tentu sudah. Program-program kami sudah mengarah ke situ, khususnya yang kelima, yakni tentang kesetaraan gender,” jelasnya.
Dalam diskusi bertajuk Harmonisasi Pengarusutamaan Gender di KLHK dalam Mendukung Tujuan Pembangunan Bersama atau SDGs ini, Apik juga menyampaikan KLHK berhasil mendapatkan penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya (APE) kategori mentor dari pemerintah. Hal itu bisa diraih karena Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar memiliki komitmen kuat untuk menjadikan KLHK tidak saja netral gender, tetapi nature gender.
Maksud dari nature gender adalah bagaimana menjadikan segenap Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan KLHK bisa meresapi dan menginternalisasi nilai-nilai keadilan gender. “Targetnya adalah bagaimana nilai keadilan gender bisa masuk dalam hati, pikiran, sekaligus perbuatan segenap ASN di KLHK, mulai dari tingkat pengambil kebijakan hingga staf,” ungkapnya.
Untuk mencapai tujuan tersebut, KLHK menggelar apa itu yang disebut sebagai Festival Gender yang telah dibuka pada Juni lalu dan akan ditutup pada Desember 2021. Festival ini diikuti oleh berbagai layer atau level jabatan di lingkungan KLHK dengan harapan agar segenap pegawai KLHK memiliki wadah dan waktu khusus untuk membincang perihal keadilan gender. “Ini soal gerakan massal dalam bentuk perbincangan terkait PUG yang melibatkan banyak pihak,” ujar Apik.
Untuk penetrasi kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di Indonesia, KLHK tidak saja mengeksekusinya dalam bentuk regulasi, tetapi juga pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)—yakni melalui Festival Gender tadi salah satunya—dan bahkan sarana prasarana. Sarana yang Apik maksud adalah fasilitas di ruang publik KLHK untuk kelompok rentan, seperti disediakannya kursi roda bagi difabel, ruang laktasi bagi ibu menyusui, dan penitipan anak. Untuk penitipan anak, fasilitas ini tidak saja terbuka untuk pegawai KLHK, tetapi terbuka untuk umum. “Itu pegawai-pegawai dari kantor di sekitar KLHK juga ada yang menitipkan anaknya ke sini,” kata Apik.
Lebih jauh, Apik juga menjelaskan langkah-langkah yang KLHK lakukan untuk menuju nature gender. Pertama, KLHK berupaya untuk selalu meningkatkan kapasitas dan kompetensi pegawai melalui pertemuan-pertemuan, lokakarya dan sebagainya yang diadakan langsung oleh sub-Pokja. Kedua, KLHK meminta eselon I menyusun penganggarannya berbasis gender. Ini dilakukan dengan memasukkan gender dalam setiap kegiatan di KLHK.
Terakhir, KLHK mengontrol bagaimana monitoring dan evaluasi berjalan, yakni untuk mengetahui apakah peran dan akses perempuan di KLHK sudah seimbang. “Untuk monev, kami punya apa itu namanya data terpilah. Dengan data ini, kami tahu dalam suatu kegiatan, ada berapa perempuan dan berapa laki-laki yang terlibat,” ungkapnya.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda