Bunuh Diri Puisi di Tenda Pengungsian
Sabtu, 20 November 2021 - 08:30 WIB
Lebih jauh, BolaƱo menganggap kesusastraan dan pengasingan seperti dua mata koin yang sama. Dan nasib penulis sepenuhnya berada di tangan kesempatan. Untuk diam, mengacuhkan, bahkan menggugat kesempatan tersebut.
Mungkin itulah yang ingin disampaikan dan dihadapi Nissa Rengganis dalam buku kumpulan puisi terbarunya Suara dari Pengungsian (2021). Sebelumnya, Nissa menulis dua buku puisi: Manuskrip Sepi (2015), yang berhasil meraih Anugerah Puisi Indonesia 2015, sebagai pemeriksaan terhadap kesunyian dan hal-hal psikis tentang menjadi seorang perempuan, dan Obituari Puisi (2019), tentang lintasan melengkung puisi dan anti-puisi dalam selubung-selebung kesakitan.
baca juga: Trauma Kebakaran Kilang Minyak Balongan, Ratusan Warga Bertahan di Pengungsian
Suara dari Pengungsian, bagaimanapun, adalah representasi dari apa yang dipikirkan penulis mengenai pengungsian dan pengasingan beserta hubungannya dengan puisi. Sebab puisi hadir bukan hanya sebagai media dan gerak estetis. Melainkan sebagai daya ingat bagi masyarakat kita yang tengah amnesia menghadapi isu-isu kemanusiaan yang telanjang. Dan alam hal ini, adalah pengungsian dan pengasingan.
Apa yang dilakukan Nissa di buku terbarunya, saya kira, adalah sesuatu yang sangat berisiko. Mengingat bagaimana isu pengungsian dan pengasingan jarang tersentuh dalam tradisi kesusastraan kita. Ia mengambil gang-gang gelap puisi yang terpantul tembok-tembok pucat, berjalan menyusurinya dengan senter redup, dan melihat puisi-puisinya bunuh diri. Boleh jadi, bunuh diri puisi adalah siasat penulis dalam menghadapi pabrik puisi di sosial media yang mencetak puisi seperti kredit sehari jadi, dan masalah-masalah kemanusiaan yang terus menggulung-menghempas.
Misalnya, kita bisa melihat bagaimana puisi membunuh dirinya sendiri dalam Suara dari Pengungsian melalui kelugasan teks, ungkapan, perspektif penulis, dan lenting bunyi yang transformatif. Ia terbebas (atau membebaskan dirinya sendiri) dari standar estetik puisi normatif yang tumpah metafor. Membuat buku ini bukan hanya menjadi sebuah suara yang samar, melainkan jeritan seorang anak manusia yang tercecik di kejauhan.
baca juga: Dongeng Ceria Hibur Anak-anak Korban Gempa Mamuju di Tenda Pengungsian
Dan bunuh diri puisi itu terlihat dari salah satu penggalan puisi berjudul Malala Yousufzai: Aku dihujani mimpi-mimpi buruk/ Perutku tertembak/ Rumah terbakar/ Ibu menggendong anaknya yang sudah tak bernyawa. Menariknya dalam penggalan puisi ini, dengan lenting bunyi yang transformatif dan kejernihan bahasa, Nissa menyileti kaca-kaca kesadaran pembaca dengan penderitaan Malala yang menajam. Tentu, itu semua berasal dari transaksi penulis dengan estetika yang dibangun-diruntuhkan dalam sejarah kepuitikannya sendiri.
Melalui transaksi seperti ini, penulis seakan melumuri puisi-puisi terbarunya dengan darah dan harapan yang goyah. Dan itulah yang saya rasakan ketika membaca puisi-puisi Suara dari Pengungsian. Semacam hanya ada lapisan kaca bening yang membatasi saya dengan konflik-konflik pengungsian. Dan tak jarang konflik-konflik tersebut kemudian bergeser ke kepala saya. Menjadikannya sebagai medan tempur.
Lalu, apakah bunuh diri puisi yang dilakukan Nissa membuat puisinya kepalang berterus-terang dan tergesa-gesa? Tentu tidak. Bunuh diri puisi bukan hal baru dalam sejarah kesusasastraan dunia yang membentang dan tiada akhir ini. Sebagai contoh, hal tersebut sudah dilakukan Nicanor Parra dalam Poemas y antipoemas (1954).
Mungkin itulah yang ingin disampaikan dan dihadapi Nissa Rengganis dalam buku kumpulan puisi terbarunya Suara dari Pengungsian (2021). Sebelumnya, Nissa menulis dua buku puisi: Manuskrip Sepi (2015), yang berhasil meraih Anugerah Puisi Indonesia 2015, sebagai pemeriksaan terhadap kesunyian dan hal-hal psikis tentang menjadi seorang perempuan, dan Obituari Puisi (2019), tentang lintasan melengkung puisi dan anti-puisi dalam selubung-selebung kesakitan.
baca juga: Trauma Kebakaran Kilang Minyak Balongan, Ratusan Warga Bertahan di Pengungsian
Suara dari Pengungsian, bagaimanapun, adalah representasi dari apa yang dipikirkan penulis mengenai pengungsian dan pengasingan beserta hubungannya dengan puisi. Sebab puisi hadir bukan hanya sebagai media dan gerak estetis. Melainkan sebagai daya ingat bagi masyarakat kita yang tengah amnesia menghadapi isu-isu kemanusiaan yang telanjang. Dan alam hal ini, adalah pengungsian dan pengasingan.
Apa yang dilakukan Nissa di buku terbarunya, saya kira, adalah sesuatu yang sangat berisiko. Mengingat bagaimana isu pengungsian dan pengasingan jarang tersentuh dalam tradisi kesusastraan kita. Ia mengambil gang-gang gelap puisi yang terpantul tembok-tembok pucat, berjalan menyusurinya dengan senter redup, dan melihat puisi-puisinya bunuh diri. Boleh jadi, bunuh diri puisi adalah siasat penulis dalam menghadapi pabrik puisi di sosial media yang mencetak puisi seperti kredit sehari jadi, dan masalah-masalah kemanusiaan yang terus menggulung-menghempas.
Misalnya, kita bisa melihat bagaimana puisi membunuh dirinya sendiri dalam Suara dari Pengungsian melalui kelugasan teks, ungkapan, perspektif penulis, dan lenting bunyi yang transformatif. Ia terbebas (atau membebaskan dirinya sendiri) dari standar estetik puisi normatif yang tumpah metafor. Membuat buku ini bukan hanya menjadi sebuah suara yang samar, melainkan jeritan seorang anak manusia yang tercecik di kejauhan.
baca juga: Dongeng Ceria Hibur Anak-anak Korban Gempa Mamuju di Tenda Pengungsian
Dan bunuh diri puisi itu terlihat dari salah satu penggalan puisi berjudul Malala Yousufzai: Aku dihujani mimpi-mimpi buruk/ Perutku tertembak/ Rumah terbakar/ Ibu menggendong anaknya yang sudah tak bernyawa. Menariknya dalam penggalan puisi ini, dengan lenting bunyi yang transformatif dan kejernihan bahasa, Nissa menyileti kaca-kaca kesadaran pembaca dengan penderitaan Malala yang menajam. Tentu, itu semua berasal dari transaksi penulis dengan estetika yang dibangun-diruntuhkan dalam sejarah kepuitikannya sendiri.
Melalui transaksi seperti ini, penulis seakan melumuri puisi-puisi terbarunya dengan darah dan harapan yang goyah. Dan itulah yang saya rasakan ketika membaca puisi-puisi Suara dari Pengungsian. Semacam hanya ada lapisan kaca bening yang membatasi saya dengan konflik-konflik pengungsian. Dan tak jarang konflik-konflik tersebut kemudian bergeser ke kepala saya. Menjadikannya sebagai medan tempur.
Lalu, apakah bunuh diri puisi yang dilakukan Nissa membuat puisinya kepalang berterus-terang dan tergesa-gesa? Tentu tidak. Bunuh diri puisi bukan hal baru dalam sejarah kesusasastraan dunia yang membentang dan tiada akhir ini. Sebagai contoh, hal tersebut sudah dilakukan Nicanor Parra dalam Poemas y antipoemas (1954).
tulis komentar anda