Bunuh Diri Puisi di Tenda Pengungsian

Sabtu, 20 November 2021 - 08:30 WIB
loading...
Bunuh Diri Puisi di Tenda Pengungsian
Bunuh Diri Puisi di Tenda Pengungsian
A A A
Adam Sudewo
Pembaca sastra dan membaptis dirinya sebagai the last visceral realist, bergiat di Tjirebon Book Club.

Dua tahun terakhir, Munir, seorang pengungsi dari Rohingya, memutuskan menggantung diri di tempat pengungsian. Gempa psikologis akibat ketidakjelasan pemberangkatan pengungsi Rohingnya ke negara pihak ketiga yang kelak menjadi tempat perlindungan, adalah kemungkinan penyebab Munir bunuh diri.

baca juga: 12 Hari di Tempat Pengungsian, Bayi Korban Banjir Sintang Butuh Bantuan

Malam itu, ia menatap tali gantungan seperti takdir. Seketika ia teringat masa kecilnya; saat langit masih sebiru sabun cuci, rumah-rumah yang tiba-tiba dibakar, desing peluru, mayat-mayat bergelimpang, atau perahu-perahu kecil terbalik di laut lepas yang ditumpaki orang-orang sepertinya. Ingatan itu terasa panas. Membuat Munir ingin segera menangis-menjerit sampai memecah ledakan bom yang tertancap di kepalanya. Tapi ia tak melakukan itu. Yang ia ingingkan saat ini hanyalah mengahkiri hidupnya, mencari tanah tempatnya dilahirkan.

Sementara itu, seorang penulis yang merekam kisahnya diasingkan dari negara asal tanpa alasan yang jelas. Karenanya, ia harus meninggalkan meja kerjanya, tumpukan daftar bacaan yang tak pernah disentuh, bahkan laporan-laporan dari tenda pengungsian yang selama ini ia kumpulkan dengan teliti. Tak seorangpun tahu siapa penulis tersebut. Segala berita tentangnya hanya sampai permukaan. Bahkan, tak seorangpun tahu apakah kini ia hidup atau mati.

Memang, banyak sekali literatur tentang seorang penulis yang dipaksa menghadapi pengasingan, deportasi, dan sebagainya. Atau ketika mereka merekam tenda-tenda pengungsian dan pengasingan dengan meniuapkan sekepul harapan. Dalam hal ini, Utuy Tatang Sontani dan Pramoedya Ananta Toer bisa menjadi contoh yang baik sekaligus membuat kita berpikir bahwa rumah satu-satunya bagi seorang penulis bukan lagi bentangan georgrafis yang luas, melainkan hal yang benar-benar subtil, yakni buku-buku yang ditulisnya dan kepalanya sendiri.

baca juga: Belasan Tahun di Tempat Pengungsian, Ratusan Warga Afghanistan Geruduk Kanwil Kemenkumham Jatim

Suatu ketika, Roberto Bolaño menulis dalam Between Parentheses (2004), “Exile is courage. True exile is the true measure of each writer.” Di sini, Bolaño seperti memetakan sekaligus melilitkan pengungsian dan pengasingan menjadi kata kerja dan kata sifat dalam arti yang sepadan. Membuat kabur juga mempertegas batas kedekatan definisi pengungsian dan pengasingan.

Lebih jauh, Bolaño menganggap kesusastraan dan pengasingan seperti dua mata koin yang sama. Dan nasib penulis sepenuhnya berada di tangan kesempatan. Untuk diam, mengacuhkan, bahkan menggugat kesempatan tersebut.

Mungkin itulah yang ingin disampaikan dan dihadapi Nissa Rengganis dalam buku kumpulan puisi terbarunya Suara dari Pengungsian (2021). Sebelumnya, Nissa menulis dua buku puisi: Manuskrip Sepi (2015), yang berhasil meraih Anugerah Puisi Indonesia 2015, sebagai pemeriksaan terhadap kesunyian dan hal-hal psikis tentang menjadi seorang perempuan, dan Obituari Puisi (2019), tentang lintasan melengkung puisi dan anti-puisi dalam selubung-selebung kesakitan.

baca juga: Trauma Kebakaran Kilang Minyak Balongan, Ratusan Warga Bertahan di Pengungsian

Suara dari Pengungsian, bagaimanapun, adalah representasi dari apa yang dipikirkan penulis mengenai pengungsian dan pengasingan beserta hubungannya dengan puisi. Sebab puisi hadir bukan hanya sebagai media dan gerak estetis. Melainkan sebagai daya ingat bagi masyarakat kita yang tengah amnesia menghadapi isu-isu kemanusiaan yang telanjang. Dan alam hal ini, adalah pengungsian dan pengasingan.

Apa yang dilakukan Nissa di buku terbarunya, saya kira, adalah sesuatu yang sangat berisiko. Mengingat bagaimana isu pengungsian dan pengasingan jarang tersentuh dalam tradisi kesusastraan kita. Ia mengambil gang-gang gelap puisi yang terpantul tembok-tembok pucat, berjalan menyusurinya dengan senter redup, dan melihat puisi-puisinya bunuh diri. Boleh jadi, bunuh diri puisi adalah siasat penulis dalam menghadapi pabrik puisi di sosial media yang mencetak puisi seperti kredit sehari jadi, dan masalah-masalah kemanusiaan yang terus menggulung-menghempas.

Misalnya, kita bisa melihat bagaimana puisi membunuh dirinya sendiri dalam Suara dari Pengungsian melalui kelugasan teks, ungkapan, perspektif penulis, dan lenting bunyi yang transformatif. Ia terbebas (atau membebaskan dirinya sendiri) dari standar estetik puisi normatif yang tumpah metafor. Membuat buku ini bukan hanya menjadi sebuah suara yang samar, melainkan jeritan seorang anak manusia yang tercecik di kejauhan.

baca juga: Dongeng Ceria Hibur Anak-anak Korban Gempa Mamuju di Tenda Pengungsian

Dan bunuh diri puisi itu terlihat dari salah satu penggalan puisi berjudul Malala Yousufzai: Aku dihujani mimpi-mimpi buruk/ Perutku tertembak/ Rumah terbakar/ Ibu menggendong anaknya yang sudah tak bernyawa. Menariknya dalam penggalan puisi ini, dengan lenting bunyi yang transformatif dan kejernihan bahasa, Nissa menyileti kaca-kaca kesadaran pembaca dengan penderitaan Malala yang menajam. Tentu, itu semua berasal dari transaksi penulis dengan estetika yang dibangun-diruntuhkan dalam sejarah kepuitikannya sendiri.

Melalui transaksi seperti ini, penulis seakan melumuri puisi-puisi terbarunya dengan darah dan harapan yang goyah. Dan itulah yang saya rasakan ketika membaca puisi-puisi Suara dari Pengungsian. Semacam hanya ada lapisan kaca bening yang membatasi saya dengan konflik-konflik pengungsian. Dan tak jarang konflik-konflik tersebut kemudian bergeser ke kepala saya. Menjadikannya sebagai medan tempur.

Lalu, apakah bunuh diri puisi yang dilakukan Nissa membuat puisinya kepalang berterus-terang dan tergesa-gesa? Tentu tidak. Bunuh diri puisi bukan hal baru dalam sejarah kesusasastraan dunia yang membentang dan tiada akhir ini. Sebagai contoh, hal tersebut sudah dilakukan Nicanor Parra dalam Poemas y antipoemas (1954).

baca juga: Potensi dan Daerah Bahaya Erupsi Merapi Berubah, Warga Tetap Bertahan di Pengungsian

Negara dan konflik pengungsian dan pengasingan (atau sesuatu yang menyebabkan keduanya) kerap kali menampakkan sesuatu yang nonhuman, bengis, dan kejam. Dan kita bisa melihat dari banyaknya pengungsi bernasib seperti kayu patah sampai tulisan ini ditulis dan negara-negara besar yang terus mendukung penyebab terjadinya konflik pengungsian dan pengasingan.

Selanjutnya, Suara dari Pengungsian seperti menegosiasi arti dari pengungsian itu sendiri. Sama seperti yang dikatakan Bolaño terkait kedekatan pengungsian dan pengasingan. Walaupun menggunakan pendekatan yang berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya, penulis sadar betapa pengungsian dan pengasingan tidak hanya menggorok nadi seseorang secara fisik. Pengungsian dan pengasingan juga dapat menggorok ingatan-ingatan, mimpi-mimpi, bahkan kesadaran fundamental seorang manusia.

baca juga: Ratusan Warga Lereng Merapi di Magelang Kembali ke Barak Pengungsian

Melalui pendekatan tidak-terpantul-tembok, penulis bisa melihat persoalan pengungsian dan pengasingan seperti danau keruh dengan rumput gersang meranggas di tepinya. Rumah-rumah negara terbuat dari tulang-belulang dan semak berduri. Tak ada tanah bagi mereka, pengungsi korban perang, bencana, sampai pengungsi dari kehidupan terkini.

Dan jika dirangkum, semua persoalan dalam Suara dari Pengungsian menjadi semacam distopia yang bergerak—menghalangi mimpi-mimpi modern dan kabel-kabel rusak. Tapi, dengan puisi-puisinya, penulis seperti menyeret sekaratnya nafas kesusastraan avant-garde untuk meniupkan kembali keyakinan-keyakinan lama tentang sastra sebagai pembawa kabar buruk dan dokumen penghancur kekerasan yang dilakukan kekuasaan. Sebagai pembentukan kembali subjek-imajiner yang terkutuk dan marjinal, seperti Munir beserta ledakan bom yang tertancap di kepalanya dan seperti penulis yang menulis dalam pengasingan.

Judul : Suara dari Pengungsian

Penulis : Nissa Rengganis @nissrengganis

Penerbit : Langgam Pustaka @langgampustaka

Terbit : Oktober, 2021

ISBN : 978-623-7461-90-6
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2670 seconds (0.1#10.140)