Mengulik Dimensi Srawung
Sabtu, 20 November 2021 - 07:51 WIB
Kitab ini merupakan gerilya (catatan reflektif lintas agama lintas iman) untuk ikut merayakan berpikir kritis dan kreatif dari ribuan konteks hidup manusia agar mampu menghadirkan sudut pandang terbaru yang lebih mencerahkan. Seberapa cakap atau kapabelkah para pemikir Indonesia ini sudah srawung ilmu, srawung agama, srawung iman, srawung hidup yang bijak, dan srawung nalar yang bineka?
baca juga: As-Samhah (1): Jangan Keliru Memahami Makna Toleransi
Ambillah satu contoh ingatan segar agar kita tidak lupa. Bisa-bisanya ada tokoh beriman yang frontal mencibir pulangnya piala Thomas Cup yang nyaris dua dasa warsa melanglang di mancanegara. Betapa heroik pebulu tangkis Tanah Air supaya mampu merebut lambang supremasi. Alih-alih, betapa kejamnya ketika mereka dikoarkan dengan kaitan SARA. Betapa tidak!
Cukup satu alasan singkat untuk menangkis pencibir pebulu tangkis kita, yakni tokoh beriman tadi kurang jauh piknik imannya. Ia miskin srawung, bahkan dapat dikata tunasrawung. Persis jitu alasan ini dikorek-korek dalam kitab kompilasi arahan Romo E Didik Chahyono SJ. Betapa bernyawa istilah srawung hidup untuk zaman digital ini.
Srawung menjadi satu istilah pop-populer yang hilir mudik di dalam kitab ini. Srawung merupakan tradisi yang terjadi di perdesaan Jawa pada umumnya. Secara kamusan, srawung mempunyai arti bergaul, berkumpul, dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Srawung akan mengemuka ketika ada kegiatan masyarakat setempat yang membutuhkan bantuan banyak orang, misalnya hajatan, tahlilan, mantenan, dan gotong royong bersih desa atau gugur gunung. Srawung pasti terjadi.
baca juga: Mengarus Utamakan Toleransi, Masyarakat Harus Dapat Informasi Keberagaman
Y Bayu Samodro, Dirjen Bimas Katolik Kemenag RI, menandaskan “srawung menjadi sebuah gerakan”. Tak usah idealis, mulailah dari srawung tetangga, srawung RT/RW, srawung desa, srawung di tempat kerja, srawung profesi, bersosialisasi, dan terlibat aktif dalam kegiatan budaya setempat tanpa perlu menyembunyikan identitas keagamaan masing-masing. Kadang-kadang srawung pun dimaksudkan sekadar acara kumpul-kumpul untuk menjalin tali silaturahmi.
Lebih mengena lagi, Romo P Mutiara Andalas SJ mengunci makna srawung secara teologis. Jika hanya bertemu secara insidental, apalagi cuma insiden, janganlah memandang srawung lintas iman sebagai habitus baru Gereja yang hidup di tengah komunitas beriman lain. Srawung seperti ini masih sebagai strategi untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman eksternal. Belumlah ke taraf srawung yang lebih dalam. Bukankah srawung lahir dari pengalaman hidup sehari-hari bertetangga dengan liyan?
baca juga: Hari Toleransi Internasional: Krisis Lingkungan dan Urgensi Penanaman Nilai-nilai Ekoteologi
Dalam kitab tipis ini, setidaknya ada 19 tokoh lintas iman yang urun rembug tentang hakikat srawung. Mereka memiliki testimoni unik masing-masing. Mereka membongkar diri sekat perbedaan melalui pengalaman perjumpaan afektif tulus, indah, dan merdeka ketimbang debat keyakinan.
baca juga: As-Samhah (1): Jangan Keliru Memahami Makna Toleransi
Ambillah satu contoh ingatan segar agar kita tidak lupa. Bisa-bisanya ada tokoh beriman yang frontal mencibir pulangnya piala Thomas Cup yang nyaris dua dasa warsa melanglang di mancanegara. Betapa heroik pebulu tangkis Tanah Air supaya mampu merebut lambang supremasi. Alih-alih, betapa kejamnya ketika mereka dikoarkan dengan kaitan SARA. Betapa tidak!
Cukup satu alasan singkat untuk menangkis pencibir pebulu tangkis kita, yakni tokoh beriman tadi kurang jauh piknik imannya. Ia miskin srawung, bahkan dapat dikata tunasrawung. Persis jitu alasan ini dikorek-korek dalam kitab kompilasi arahan Romo E Didik Chahyono SJ. Betapa bernyawa istilah srawung hidup untuk zaman digital ini.
Srawung menjadi satu istilah pop-populer yang hilir mudik di dalam kitab ini. Srawung merupakan tradisi yang terjadi di perdesaan Jawa pada umumnya. Secara kamusan, srawung mempunyai arti bergaul, berkumpul, dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Srawung akan mengemuka ketika ada kegiatan masyarakat setempat yang membutuhkan bantuan banyak orang, misalnya hajatan, tahlilan, mantenan, dan gotong royong bersih desa atau gugur gunung. Srawung pasti terjadi.
baca juga: Mengarus Utamakan Toleransi, Masyarakat Harus Dapat Informasi Keberagaman
Y Bayu Samodro, Dirjen Bimas Katolik Kemenag RI, menandaskan “srawung menjadi sebuah gerakan”. Tak usah idealis, mulailah dari srawung tetangga, srawung RT/RW, srawung desa, srawung di tempat kerja, srawung profesi, bersosialisasi, dan terlibat aktif dalam kegiatan budaya setempat tanpa perlu menyembunyikan identitas keagamaan masing-masing. Kadang-kadang srawung pun dimaksudkan sekadar acara kumpul-kumpul untuk menjalin tali silaturahmi.
Lebih mengena lagi, Romo P Mutiara Andalas SJ mengunci makna srawung secara teologis. Jika hanya bertemu secara insidental, apalagi cuma insiden, janganlah memandang srawung lintas iman sebagai habitus baru Gereja yang hidup di tengah komunitas beriman lain. Srawung seperti ini masih sebagai strategi untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman eksternal. Belumlah ke taraf srawung yang lebih dalam. Bukankah srawung lahir dari pengalaman hidup sehari-hari bertetangga dengan liyan?
baca juga: Hari Toleransi Internasional: Krisis Lingkungan dan Urgensi Penanaman Nilai-nilai Ekoteologi
Dalam kitab tipis ini, setidaknya ada 19 tokoh lintas iman yang urun rembug tentang hakikat srawung. Mereka memiliki testimoni unik masing-masing. Mereka membongkar diri sekat perbedaan melalui pengalaman perjumpaan afektif tulus, indah, dan merdeka ketimbang debat keyakinan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda