Mengulik Dimensi Srawung

Sabtu, 20 November 2021 - 07:51 WIB
loading...
Mengulik Dimensi Srawung
Mengulik Dimensi Srawung
A A A
Anton Suparyanta
Penyuka baca buku tinggal di Klaten, Jateng

Kitab tipis ini memiliki energi letup begitu dahsyat. Bukan sekadar say hello Gubernur Jateng H Ganjar Pranowo dan sembah Berkah Dalem Uskup Semarang Mgr R Rubiyatmoko, melainkan oase toleransi iman yang menyegarkan di tengah gempuran cerita-cerita palsu, destruktif, dan provokatif.

baca juga: Ini Dia Model Unik Toleransi Beragama Temuan Mahasiswa UNY

Siapa pun pemikir Indonesia di masa depan, perlu menyandang ciri kapabilitas politis. Di hadapan selubung korupsi, radikalisme, dan terorisme yang berkedok agama, pemikir Indonesia wajib menjadi petarung yang bernyali. Di hadapan kesalahpahaman yang memecah persatuan bangsa, pemikir menjadi penyatu yang lembut dan penuh welas asih. Pemikir yang bijaksana menari antara keutamaan petarung dan penyatu. Pemikir memainkan peran yang dibungkus keadaan. Sikap terbuka, jernih berpikir, dan jeli melihat keadaan sangat dibutuhkan.

Kompulsif! Betapa tidak! Membaca kitab Beda Tak Jadi Sekat memperoleh simpulan tentang hidup kompulsif. Abad XXI menggeser hidup seperti menari. Tarian selalu bergerak tak berpola. Tarian tanpa arah. Intinya hidup terus bergerak. Terus bekerja selalu menjalin hubungan dengan liyan. Bahagia dan derita diramu. Namun, klimaksnya tarian berubah menjadi gerak kematian.

baca juga: Hari Toleransi Internasional: Krisis Lingkungan dan Urgensi Penanaman Nilai-nilai Ekoteologi

Pemikir menari bukan untuk merayakan kehidupan, melainkan merusak dan menebarkan petaka. Di berbagai lini kehidupan, pemikir bergerak, gaduh, tidak ke arah kebaikan bersama, tetapi ke arah kehancuran bersama. Di banyak sendi kehidupan, kehancuran terjadi perlahan, tetapi pasti. Mengapa hidup kompulsif lebih unggul? Ya, karena gagal menerapkan makna hidup yang senyatanya, yaitu gagal srawung.

Ini semua terjadi karena kita hidup tanpa kesadaran. Kita hidup dalam kompulsivitas. Artinya, kita melakukan sesuatu tanpa pertimbangan matang. Tanpa disadari, kita selalu menari menuju liang kematian beralaskan semua keputusan yang kita buat sendiri. Hidup kompulsif adalah hidup yang dijajah oleh kebiasaan diri sendiri dan digiring aneka bentuk derita yang sia-sia.

Kitab ini merupakan gerilya (catatan reflektif lintas agama lintas iman) untuk ikut merayakan berpikir kritis dan kreatif dari ribuan konteks hidup manusia agar mampu menghadirkan sudut pandang terbaru yang lebih mencerahkan. Seberapa cakap atau kapabelkah para pemikir Indonesia ini sudah srawung ilmu, srawung agama, srawung iman, srawung hidup yang bijak, dan srawung nalar yang bineka?

baca juga: As-Samhah (1): Jangan Keliru Memahami Makna Toleransi

Ambillah satu contoh ingatan segar agar kita tidak lupa. Bisa-bisanya ada tokoh beriman yang frontal mencibir pulangnya piala Thomas Cup yang nyaris dua dasa warsa melanglang di mancanegara. Betapa heroik pebulu tangkis Tanah Air supaya mampu merebut lambang supremasi. Alih-alih, betapa kejamnya ketika mereka dikoarkan dengan kaitan SARA. Betapa tidak!

Cukup satu alasan singkat untuk menangkis pencibir pebulu tangkis kita, yakni tokoh beriman tadi kurang jauh piknik imannya. Ia miskin srawung, bahkan dapat dikata tunasrawung. Persis jitu alasan ini dikorek-korek dalam kitab kompilasi arahan Romo E Didik Chahyono SJ. Betapa bernyawa istilah srawung hidup untuk zaman digital ini.

Srawung menjadi satu istilah pop-populer yang hilir mudik di dalam kitab ini. Srawung merupakan tradisi yang terjadi di perdesaan Jawa pada umumnya. Secara kamusan, srawung mempunyai arti bergaul, berkumpul, dan bersosialisasi dengan masyarakat sekitar. Srawung akan mengemuka ketika ada kegiatan masyarakat setempat yang membutuhkan bantuan banyak orang, misalnya hajatan, tahlilan, mantenan, dan gotong royong bersih desa atau gugur gunung. Srawung pasti terjadi.

baca juga: Mengarus Utamakan Toleransi, Masyarakat Harus Dapat Informasi Keberagaman

Y Bayu Samodro, Dirjen Bimas Katolik Kemenag RI, menandaskan “srawung menjadi sebuah gerakan”. Tak usah idealis, mulailah dari srawung tetangga, srawung RT/RW, srawung desa, srawung di tempat kerja, srawung profesi, bersosialisasi, dan terlibat aktif dalam kegiatan budaya setempat tanpa perlu menyembunyikan identitas keagamaan masing-masing. Kadang-kadang srawung pun dimaksudkan sekadar acara kumpul-kumpul untuk menjalin tali silaturahmi.

Lebih mengena lagi, Romo P Mutiara Andalas SJ mengunci makna srawung secara teologis. Jika hanya bertemu secara insidental, apalagi cuma insiden, janganlah memandang srawung lintas iman sebagai habitus baru Gereja yang hidup di tengah komunitas beriman lain. Srawung seperti ini masih sebagai strategi untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman eksternal. Belumlah ke taraf srawung yang lebih dalam. Bukankah srawung lahir dari pengalaman hidup sehari-hari bertetangga dengan liyan?

baca juga: Hari Toleransi Internasional: Krisis Lingkungan dan Urgensi Penanaman Nilai-nilai Ekoteologi

Dalam kitab tipis ini, setidaknya ada 19 tokoh lintas iman yang urun rembug tentang hakikat srawung. Mereka memiliki testimoni unik masing-masing. Mereka membongkar diri sekat perbedaan melalui pengalaman perjumpaan afektif tulus, indah, dan merdeka ketimbang debat keyakinan.

Pegalaman persahabatan dengan srawung ini menjadi penegas bahwa ajaran mulia setiap agama mampu menjadi pemantik kehidupan yang simpatik. Srawung akan menjadi suh belajar makin dewasa dalam beragama. Bukankah dalam ranah sosial, semua agama harus selalu menguatkan solidaritas dengan penuh toleran dan kerja sama? *

Judul : Beda Tak Jadi Sekat

Editor : Eduardus Didik Chahyono, SJ

Penerbit : Kanisius, 2021

Tebal : 120 hlm
(hdr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1687 seconds (0.1#10.140)