Keberhasilan Ziggy Mengusik Ketenangan Pembaca
Sabtu, 13 November 2021 - 05:06 WIB
Pertama yang mencolok adalah keberadaan judul alternatif. Jelas ini hal baru dan berbeda dari novel Indonesia kebanyakan. Ini bukan subjudul, melainkan benar-benar judul alternatif. Ziggy dalam kesempatan soft-launching di Ubud Writers and Readers Festival (UWRF), Oktober lalu, menyingung alasan di balik penggunaan judul alternatif. Bahwa judul alternatif ini terinspirasi dari beberapa novel perempuan tahun 1920-an yang kerap kali menggunakan judul alternatif.
Selanjutnya adalah catatan kaki. Ziggy dalam novel ini menggunakan banyak sekali catatan kaki fiktif yang bukan bermaksud menjelaskan sebagaimana fungsi catatan kaki, melainkan membuatnya sebagai cerita sendiri. Sebab buku, jurnal, artikel, penulis, penerbit yang disebut dalam catatan kaki adalah fiktif. Sebuah totalitas memasukkan semua elemen dalam buku sebagai bagian dari rimba fiksi yang dibangun Ziggy. Selain bisa dinikmati, catatan-catatan kaki ini juga bisa dicermati sebagai keisengan yang menyenangkan dari Ziggy.
baca juga: Resensi Buku Lagi Probation: Menikmati Susahnya Mencari Kerja
Ziggy dalam novel ini juga bertutur dengan tidak biasa. Banyak sekali kalimat yang disengaja menggunakan homonim yang menghentak pembaca. Misalkan ketika diceritakan berkunjung ke rumah tetangga, maka anak-anak harus memberi salam. Salam yang muncul dalam logika orang kebanyakan adalah ucapan salam (greetings) ketika bersua pertama kali. Bagi Ziggy, tidak. Salam di sini adalah daun salam (Eugenia polyantha).
Tapi Ma tahu, karena dia adalah anak perempuan yang tahu banyak hal. Maka, dia keluarkan bungkusan plastik berisi Salam kering, dan berkata, “Halo.” (hal. 50) Frasa-frasa aneh seperti ini, akan kita temukan dalam sekujur tubuh novel. Bukan hal yang perlu dicela, tetapi menghadirkan gangguan yang tidak biasa kepada pembaca yang suka kenyamaan dalam membaca novel. Belum lagi menelisik kisah dan pesan-pesan tersembunyi dalam novel ini. Ziggy dengan nada anak-anak dan guyonannya, sedang mengkritik banyak hal yang terlalu nyaman dalam sistem sosial kita.
baca juga: Punya Taman Literasi, Anies: Jadikan Jakarta Kota Buku Dunia
Ziggy mengetengahkan bagaimana image normal dari anak laki-laki yang harus keren, dan anak perempuan haruslah manis, lembut. Tidak! Ziggy dalam novel ini ingin mendobrak stigma umum ini. Ya, Fufu anak laki-laki yang manis. Dan Fifi anak perempuan yang keren. Melepas stigma ini saja sudah suatu yang mendasar untuk pendidikan gender sedari dini. Belum lagi bagaimana keberadaan hewan manis kucing, bernama Nona Gigi dan bala-balanya di Kota Terapung Kucing Luar Biasa. Mereka diam-diam melawan domestikasi manusia dan menganggap musuh terbesar kucing adalah manusia.
Soal interaksi manusia dan kucing dalam novel ini pun sejatinya cukup menganggu. Digambarkan pembalasan dendam kucing kepada manusia adalah dengan mengolah tubuh, daging, tulang, kulit anak-anak. Menyeramkan memang. Tapi demikianlah cara Ziggy mengusik kenyamanan membaca kita. Dia hadir dengan sisi-sisi ekstrem yang selama ini muncul dalam stigma umum dalam wujud sebaliknya.
baca juga: Mengenang Tokoh dan Buku
Meskipun novel ini tampak gemas, unik, bertokoh anak-anak lengkap dengan ilustrasi. Jangan terburu-buru mendakwa novel ini cocok untuk kategori sastra anak. Ziggy memang konsen dengan dunia yang diceritakan oleh anak-anak, sebagaimana novel Di Tanah Lada yang menjadi salah satu pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Namun, perkara-perkara yang diketengahkan bukanlah hal yang enak dikonsumsi oleh anak-anak. Humor-humor sinikal, sesekali gelap, sedikit adegan visual mengganggu. Semuanya diramu dalam novel yang cukup pendek dengan keberhasilan mengusik yang harus diacungi jempol.
Selanjutnya adalah catatan kaki. Ziggy dalam novel ini menggunakan banyak sekali catatan kaki fiktif yang bukan bermaksud menjelaskan sebagaimana fungsi catatan kaki, melainkan membuatnya sebagai cerita sendiri. Sebab buku, jurnal, artikel, penulis, penerbit yang disebut dalam catatan kaki adalah fiktif. Sebuah totalitas memasukkan semua elemen dalam buku sebagai bagian dari rimba fiksi yang dibangun Ziggy. Selain bisa dinikmati, catatan-catatan kaki ini juga bisa dicermati sebagai keisengan yang menyenangkan dari Ziggy.
baca juga: Resensi Buku Lagi Probation: Menikmati Susahnya Mencari Kerja
Ziggy dalam novel ini juga bertutur dengan tidak biasa. Banyak sekali kalimat yang disengaja menggunakan homonim yang menghentak pembaca. Misalkan ketika diceritakan berkunjung ke rumah tetangga, maka anak-anak harus memberi salam. Salam yang muncul dalam logika orang kebanyakan adalah ucapan salam (greetings) ketika bersua pertama kali. Bagi Ziggy, tidak. Salam di sini adalah daun salam (Eugenia polyantha).
Tapi Ma tahu, karena dia adalah anak perempuan yang tahu banyak hal. Maka, dia keluarkan bungkusan plastik berisi Salam kering, dan berkata, “Halo.” (hal. 50) Frasa-frasa aneh seperti ini, akan kita temukan dalam sekujur tubuh novel. Bukan hal yang perlu dicela, tetapi menghadirkan gangguan yang tidak biasa kepada pembaca yang suka kenyamaan dalam membaca novel. Belum lagi menelisik kisah dan pesan-pesan tersembunyi dalam novel ini. Ziggy dengan nada anak-anak dan guyonannya, sedang mengkritik banyak hal yang terlalu nyaman dalam sistem sosial kita.
baca juga: Punya Taman Literasi, Anies: Jadikan Jakarta Kota Buku Dunia
Ziggy mengetengahkan bagaimana image normal dari anak laki-laki yang harus keren, dan anak perempuan haruslah manis, lembut. Tidak! Ziggy dalam novel ini ingin mendobrak stigma umum ini. Ya, Fufu anak laki-laki yang manis. Dan Fifi anak perempuan yang keren. Melepas stigma ini saja sudah suatu yang mendasar untuk pendidikan gender sedari dini. Belum lagi bagaimana keberadaan hewan manis kucing, bernama Nona Gigi dan bala-balanya di Kota Terapung Kucing Luar Biasa. Mereka diam-diam melawan domestikasi manusia dan menganggap musuh terbesar kucing adalah manusia.
Soal interaksi manusia dan kucing dalam novel ini pun sejatinya cukup menganggu. Digambarkan pembalasan dendam kucing kepada manusia adalah dengan mengolah tubuh, daging, tulang, kulit anak-anak. Menyeramkan memang. Tapi demikianlah cara Ziggy mengusik kenyamanan membaca kita. Dia hadir dengan sisi-sisi ekstrem yang selama ini muncul dalam stigma umum dalam wujud sebaliknya.
baca juga: Mengenang Tokoh dan Buku
Meskipun novel ini tampak gemas, unik, bertokoh anak-anak lengkap dengan ilustrasi. Jangan terburu-buru mendakwa novel ini cocok untuk kategori sastra anak. Ziggy memang konsen dengan dunia yang diceritakan oleh anak-anak, sebagaimana novel Di Tanah Lada yang menjadi salah satu pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Namun, perkara-perkara yang diketengahkan bukanlah hal yang enak dikonsumsi oleh anak-anak. Humor-humor sinikal, sesekali gelap, sedikit adegan visual mengganggu. Semuanya diramu dalam novel yang cukup pendek dengan keberhasilan mengusik yang harus diacungi jempol.
tulis komentar anda