Mengapa Presidential Threshold Harus Dihapus?
Selasa, 09 November 2021 - 10:55 WIB
Sehingga yang ada adalah kita hanya akan menyaksikan partaipartai besar yang berkoalisi untuk mengusung calon. Dan bila perlu hanya ada dua calon yang head to head. Atau dua pasang calon, yang sudah didisain siapa yang akan menang, dengan menciptakan lawan calon yang 5 lemah. Atau kalau perlu lawan kotak kosong. Seperti terjadi di beberapa Pilkada. Apakah ini yang diinginkan rakyat? Silakan dijawab dengan jujur.
***
Lalu atas pertanyaan ketiga, apakah presidential threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensiil dan demokrasi atau justru sebaliknya, memperlemah. Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensiil, agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru secara teori dan praktik, malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah.
Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan Partai Politik melalui Fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah.
Termasuk secepat kilat menyetujui apapun kebijakan pemerintah. Termasuk terhadap Perppu atau calon-calon pejabat negara yang dikehendaki pemerintah. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.
***
Jadi kalau ditimbang dari sisi manfaat dan mudarat-nya, presidential threshold ini penuh dengan mudarat. Karena ambang batas pencalonan presiden itu juga menyumbang polarisasi yang tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, di mana kita hanya dihadapkan dengan 2 pasang calon saja.
Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan antitesa atas output pesan yang dihasilkan. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.
Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan vis-a-vis Pancasila dengan agama. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat antitesa, untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan agama apapun, termasuk Islam.
Dan kita sebagai bangsa disuguhi kegaduhan nasional yang panjang. Disuguhi pertunjukkan drama kolosal yang sangat tidak bermutu. Sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum. Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran.
***
Lalu atas pertanyaan ketiga, apakah presidential threshold dimaksudkan untuk memperkuat sistem presidensiil dan demokrasi atau justru sebaliknya, memperlemah. Kalau didalilkan untuk memperkuat sistem presidensiil, agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru secara teori dan praktik, malah membuat mekanisme check and balances menjadi lemah.
Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan Partai Politik melalui Fraksi di DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah.
Termasuk secepat kilat menyetujui apapun kebijakan pemerintah. Termasuk terhadap Perppu atau calon-calon pejabat negara yang dikehendaki pemerintah. Sehingga tidak heran, bila sejumlah lembaga internasional menyatakan bahwa indeks demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.
***
Jadi kalau ditimbang dari sisi manfaat dan mudarat-nya, presidential threshold ini penuh dengan mudarat. Karena ambang batas pencalonan presiden itu juga menyumbang polarisasi yang tajam di masyarakat, akibat minimnya jumlah calon, terutama dalam dua kali Pilpres, di mana kita hanya dihadapkan dengan 2 pasang calon saja.
Hal itu diperparah dengan semangat antar kelompok untuk selalu melakukan antitesa atas output pesan yang dihasilkan. Apakah itu dalam bentuk kalimat verbal, maupun simbol dan aksi. Ditambah lagi dengan pola komunikasi elit politik yang juga mengedepankan kegaduhan. Sehingga semakin lengkap pembelahan yang terjadi di masyarakat.
Hingga puncaknya, anak bangsa ini secara tidak sadar membenturkan vis-a-vis Pancasila dengan agama. Hanya karena semangat melakukan apapun yang bersifat antitesa, untuk menjelaskan identitas dan posisi. Padahal tidak satupun tesis yang bisa menjelaskan pertentangan antara Pancasila dengan agama apapun, termasuk Islam.
Dan kita sebagai bangsa disuguhi kegaduhan nasional yang panjang. Disuguhi pertunjukkan drama kolosal yang sangat tidak bermutu. Sesama anak bangsa saling melakukan persekusi. Saling melaporkan ke ranah hukum. Seolah tidak ada lagi ruang dialog dan tukar pikiran.
tulis komentar anda