Mengenang Tokoh dan Buku
Sabtu, 30 Oktober 2021 - 06:47 WIB
Sekian esai dalam buku ini memiliki panjang-pendek yang tak menentu. Ada yang panjang, demikian pula ada yang pendek. BM berusaha mengajukan pelbagai referensi, dari buku atau terbitan berkala umpama majalah. “Dua ciri yang gampang diingat dari esai-esainya ialah pandangannya yang terkesan sinis dan referensinya yang melimpah,” begitu pengantar penerbit.
baca juga: Mengenang Amir Hamzah, Tokoh Pujangga Baru yang Ditangkap dan Dihabisi Pasukan Pesindo
Sinisme yang ditawarkan BM kadang membuat kita mengernyitkan dahi, berhenti untuk berpikir, atau meringis-meringis sendiri. Setidaknya, kita tak lekas menerima apa saja yang ada di depan kita dan melewatkannya begitu saja, seolah tak ada apapun yang perlu dipertanyakan-dicermati. Yang jelas, BM menarik pembaca untuk menautkan diri di hadapan biografi tokoh, (sejarah) buku, beragam peristiwa di masa lalu, dan keluasan semesta tafsir. Kita dipertemukan dengan tokoh dan buku dari masa lalu.
Kita beranjak sejenak menengok pengisahan tokoh bernama Soerjono, atau lebih dikenal dengan Pak Kasur. Nama penting sebagai juru kisah berbekal senandung nyanyian edukatif dan ekspresif. Lagu dipersembahan bagi para bocah dan Indonesia. Kita masih mengingat lagu semacam Kebunku, Dua Mata Saya, Naik Delman, dan Bangun Tidur. Lagu-lagu itu mengisahkan lakon bocah Indonesia melaju di rel pendidikan.
Pak Kasur lahir di Banyumas, 26 Juli 1912. Ia bersekolah cuma sampai MULO di Purwokerto. Gairah belajar tak ingin terhenti, ia memilih berpindah ke Yogyakarta dengan menjadi guru di HIS Ardjoena School. Pengabdian sebagai guru mengantarkan ia melanjutkan studi keguruan di Bandung. Niat belajar tak bisa dihentikan oleh uang atau penjajahan. Pak Kasur ingin membuktikan bahwa pendidikan adalah pijakan peradaban. (hlm. 96)
baca juga: Pergulatan Batin Seorang Amir Hamzah
Dedikasi Pak Kasur mengejawantahkan nilai pendidikan awet dalam lelagu. Lagu itu penting menemani perkembangan kognitif dan ragawi bocah. Para bocah merasa riang gembira di hadapan lagu-lagu. Dunia bocah bertabur ajakan lagu mengandung ajakan sinau. Senandung mengalun mengalirkan gagasan dan adab luhur. Perlahan-lahan bocah diminta mengerti-memahami hidup lewat lagu. Kehadiran lagu memberi rangsang pembelajaran dan kepekaan sosial.
Sayangnya, ikhtiar Pak Kasur terlupa selama puluhan tahun atau berada di tepian sejarah. BM memposisikan Pak Kasur dalam melihat perkembangan pendidikan dan mengerti gelagat pembentukan karakter mutakhir. Pendidikan karakter adalah slogan apik, tapi nyatanya belum memunculkan tanda-tanda keberhasilan atau signifikasi.
Patokan-patokan telanjur dibuat. “Kurikulum pembelajaran untuk bocah,” tulis BM, “mulai terbebani oleh pamrih ‘kepintaran’ atau ‘kecerdasan’ tapi menepikan pendidikan karakter-budi pekerti. Pak Kasur adalah teladan di dunia pendidikan Indonesia meski hampir terlupakan”. Pak Kasur masih pantas diingat-dikenang dalam kelindan lagu, anak, dan pendidikan di Indonesia.
baca juga: Atas Nama Jenama dan Jemawa Proyek
baca juga: Mengenang Amir Hamzah, Tokoh Pujangga Baru yang Ditangkap dan Dihabisi Pasukan Pesindo
Sinisme yang ditawarkan BM kadang membuat kita mengernyitkan dahi, berhenti untuk berpikir, atau meringis-meringis sendiri. Setidaknya, kita tak lekas menerima apa saja yang ada di depan kita dan melewatkannya begitu saja, seolah tak ada apapun yang perlu dipertanyakan-dicermati. Yang jelas, BM menarik pembaca untuk menautkan diri di hadapan biografi tokoh, (sejarah) buku, beragam peristiwa di masa lalu, dan keluasan semesta tafsir. Kita dipertemukan dengan tokoh dan buku dari masa lalu.
Kita beranjak sejenak menengok pengisahan tokoh bernama Soerjono, atau lebih dikenal dengan Pak Kasur. Nama penting sebagai juru kisah berbekal senandung nyanyian edukatif dan ekspresif. Lagu dipersembahan bagi para bocah dan Indonesia. Kita masih mengingat lagu semacam Kebunku, Dua Mata Saya, Naik Delman, dan Bangun Tidur. Lagu-lagu itu mengisahkan lakon bocah Indonesia melaju di rel pendidikan.
Pak Kasur lahir di Banyumas, 26 Juli 1912. Ia bersekolah cuma sampai MULO di Purwokerto. Gairah belajar tak ingin terhenti, ia memilih berpindah ke Yogyakarta dengan menjadi guru di HIS Ardjoena School. Pengabdian sebagai guru mengantarkan ia melanjutkan studi keguruan di Bandung. Niat belajar tak bisa dihentikan oleh uang atau penjajahan. Pak Kasur ingin membuktikan bahwa pendidikan adalah pijakan peradaban. (hlm. 96)
baca juga: Pergulatan Batin Seorang Amir Hamzah
Dedikasi Pak Kasur mengejawantahkan nilai pendidikan awet dalam lelagu. Lagu itu penting menemani perkembangan kognitif dan ragawi bocah. Para bocah merasa riang gembira di hadapan lagu-lagu. Dunia bocah bertabur ajakan lagu mengandung ajakan sinau. Senandung mengalun mengalirkan gagasan dan adab luhur. Perlahan-lahan bocah diminta mengerti-memahami hidup lewat lagu. Kehadiran lagu memberi rangsang pembelajaran dan kepekaan sosial.
Sayangnya, ikhtiar Pak Kasur terlupa selama puluhan tahun atau berada di tepian sejarah. BM memposisikan Pak Kasur dalam melihat perkembangan pendidikan dan mengerti gelagat pembentukan karakter mutakhir. Pendidikan karakter adalah slogan apik, tapi nyatanya belum memunculkan tanda-tanda keberhasilan atau signifikasi.
Patokan-patokan telanjur dibuat. “Kurikulum pembelajaran untuk bocah,” tulis BM, “mulai terbebani oleh pamrih ‘kepintaran’ atau ‘kecerdasan’ tapi menepikan pendidikan karakter-budi pekerti. Pak Kasur adalah teladan di dunia pendidikan Indonesia meski hampir terlupakan”. Pak Kasur masih pantas diingat-dikenang dalam kelindan lagu, anak, dan pendidikan di Indonesia.
baca juga: Atas Nama Jenama dan Jemawa Proyek
tulis komentar anda