Wacana Hukuman Mati Koruptor Asabri dan Jiwasraya, ICW Nilai Hanya Jargon
Sabtu, 30 Oktober 2021 - 02:09 WIB
JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) memandang wacana hukuman mati bagi para koruptor khususnya pada perkara besar hanya menjadi sebuah jargon semata. Hal tersebut menanggapi pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk menjerat para koruptor khususnya pada kasus Jiwasraya dan Asabri dengan hukuman mati.
"ICW beranggapan hukuman mati bagi pelaku korupsi sering kali dijadikan jargon politik bagi sejumlah pihak, entah itu Presiden atau pun pimpinan lembaga penegak hukum (misalnya, Ketua KPK atau Jaksa Agung)," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (29/10/2021).
Jargon tersebut, kata Kurnia, untuk memperlihatkan kepada masyarakat keberpihakan para pihak tersebut terhadap pemberantasan korupsi. "Padahal, kalau kita berkaca pada kualitas penegakan hukum yang mereka lakukan, hasilnya masih buruk. Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi," jelasnya.
Menurut ICW, pemberian efek jera bagi koruptor akan terjadi jika diikuti dengan kombinasi hukuman badan dan pemiskinan koruptor, mulai dari pemidanaan penjara, pengenaan denda, penjatuhan hukuman uang pengganti, dan pencabutan hak politik.
"Bukan dengan menghukum mati para koruptor," kata Kurnia.
Selain itu saat ini, lanjut Kurnia, penegakan hukum oleh aparat belum memberikan efek jera bagi koruptor dan masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Kurnia mencontohkan khusus untuk Kejaksaan Agung dianggap begitu buruk kualitas penegakan hukumnya ketika menangani perkara yang melibatkan oknum internalnya, misalnya, Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Saat itu, Kejaksaan Agung menuntut Pinangki dengan hukuman yang sangat rendah. Dari sana saja, masyarakat dapat mengukur bahwa Jaksa Agung saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi," kata Kurnia.
Tidak hanya itu, fenomena diskon untuk hukuman bagi para koruptor masih sering terjadi. Dalam catatan ICW, hukuman penjara saja masih berada pada titik terendah, yakni rata-rata 3 tahun 1 bulan untuk tahun 2020.
Sedangkan, pemulihan kerugian keuangan negara juga menjadi problematika klasik yang tak kunjung tuntas. Bayangkan, tambah dia, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp56 triliun akan tetapi uang penggantinya hanya Rp19 triliun.
"Maka dari itu, lebih baik perbaiki saja kualitas penegakan hukum, ketimbang menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan," pungkasnya.
"ICW beranggapan hukuman mati bagi pelaku korupsi sering kali dijadikan jargon politik bagi sejumlah pihak, entah itu Presiden atau pun pimpinan lembaga penegak hukum (misalnya, Ketua KPK atau Jaksa Agung)," ujar Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangannya, Jumat (29/10/2021).
Jargon tersebut, kata Kurnia, untuk memperlihatkan kepada masyarakat keberpihakan para pihak tersebut terhadap pemberantasan korupsi. "Padahal, kalau kita berkaca pada kualitas penegakan hukum yang mereka lakukan, hasilnya masih buruk. Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi," jelasnya.
Menurut ICW, pemberian efek jera bagi koruptor akan terjadi jika diikuti dengan kombinasi hukuman badan dan pemiskinan koruptor, mulai dari pemidanaan penjara, pengenaan denda, penjatuhan hukuman uang pengganti, dan pencabutan hak politik.
"Bukan dengan menghukum mati para koruptor," kata Kurnia.
Selain itu saat ini, lanjut Kurnia, penegakan hukum oleh aparat belum memberikan efek jera bagi koruptor dan masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Kurnia mencontohkan khusus untuk Kejaksaan Agung dianggap begitu buruk kualitas penegakan hukumnya ketika menangani perkara yang melibatkan oknum internalnya, misalnya, Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
"Saat itu, Kejaksaan Agung menuntut Pinangki dengan hukuman yang sangat rendah. Dari sana saja, masyarakat dapat mengukur bahwa Jaksa Agung saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi," kata Kurnia.
Tidak hanya itu, fenomena diskon untuk hukuman bagi para koruptor masih sering terjadi. Dalam catatan ICW, hukuman penjara saja masih berada pada titik terendah, yakni rata-rata 3 tahun 1 bulan untuk tahun 2020.
Sedangkan, pemulihan kerugian keuangan negara juga menjadi problematika klasik yang tak kunjung tuntas. Bayangkan, tambah dia, kerugian keuangan negara selama tahun 2020 mencapai Rp56 triliun akan tetapi uang penggantinya hanya Rp19 triliun.
Baca Juga
"Maka dari itu, lebih baik perbaiki saja kualitas penegakan hukum, ketimbang menyampaikan sesuatu yang sebenarnya tidak menyelesaikan permasalahan," pungkasnya.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda