Amnesti Saiful Mahdi Tegaskan Subtansi-Implementasi UU ITE Bermasalah

Kamis, 21 Oktober 2021 - 14:48 WIB
TII menyatakan keppres pemberian amnesti untuk Saiful Mahdi tidak dapat dijadikan sebagai alasan pemaklum atas kekeliruan dan persoalan di dalam UU ITE. Foto/twitter
JAKARTA - Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ) memang masih menjadi polemik pro-kontra. Regulasi itu acapkali dianggap bentuk pembungkaman kritik publik. Tidak sedikit pihak yang akhirnya terjerat hukum dengan aturan tersebut.

Kasus Saiful Mahdi , dosen Universitas Syiah Kuala Aceh adalah satu di antaranya. Pengajar di Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala itu dijerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE karena dilaporkan petinggi kampus seusai mengkritik perekrutan pegawai negeri sipil di salah satu grup whatsapp.

Sempat ditahan, Saiful lalu mengajukan amnesti ke Presiden Jokowi dan dikabulkan setelah disetujui DPR. Dia resmi bebas dari tahanan pada Rabu, 13 Oktober 2021. Kebebasan Saiful dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kelas IIA Banda Aceh.





Hemi Lavour Febrinandez, Peneliti Bidang Hukum di The Indonesian Institute (TII) menilai amnesti yang diberikan kepada Saiful Mahdi makin memperjelas bahwa subtansi dan implementasi UU ITE benar-benar bermasalah. Bahkan, ketika Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi UU ITE telah dilahirkan dan diberlakukan, masalah pemidanaan di ruang digital tidak kunjung dapat dibendung.

“Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang didakwakan kepada Saiful Mahdi sebenarnya telah ditafsirkan lebih lanjut dalam SKB tentang Pedoman Implementasi UU ITE. Namun, SKB tersebut tidak akan mampu mengatasi akar permasalahan yang sebenarnya terdapat dalam pasal-pasal multitafsir dalam UU ITE,” ungkap Hemi dalam keterangan persnya kepada SINDOnews, Kamis (21/10/2021).

Meskipun sudah ada keputusan presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti untuk Saiful Mahdi, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk memaklumi kekeliruan dan persoalan yang terdapat dalam UU ITE.

Menurut Hemi, selain masalah terkait dengan muatan isi pada undang-undang tersebut, perspektif aparat penegak hukum di Indonesia juga menjadi faktor lain yang mengakibatkan tetap munculnya pemidanaan dengan menggunakan pasal multitafsir dalam UU ITE.



Temuan dari studi kebijakan TII pada 2021 yang berjudul Mendorong dan Melindungi Kebebasan Berekspresi Warga Negara terhadap Pemerintah dalam Ruang Digital di Indonesia, mencatat ada permasalahan utama terkait lemahnya perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) aparat penegak hukum menyangkut implementasi UU ITE.Kecenderungan penggunaan pendekatan keamanan dan ketertiban publik sebagai alasan utama pemidanaan, juga kerap mengancam dan melanggar kebebasan berekspresi termasuk di platform digital.

“Dari kasus yang menimpa Saiful Mahdi, kita dapat melihat bahwa terdapat dua hal yang harus segera terkait dengan pemidanaan di ruang digital. Pertama, pasal-pasal multitafsir dan bermasalah dalam UU ITE harus segera dihapuskan melalui revisi, karena SKB terbukti tidak mampu menyelesaikan masalah pemidanaan yang selama ini terjadi,” kritiknya.

“Kedua, sangat penting dan mendesak untuk memberikan pemahaman yang baik terkait dengan hak asasi manusia kepada aparat penegak hukum. Hal itu dibutuhkan agar restorative justice benar-benar dapat dijalankan dan kecenderungan kriminalisasi serta pengekangan terhadap kebebasan berekspresi tidak lagi terjadi!” pungkas Hemi.
(muh)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More