Umat Islam Indonesia Itu Berkarakter Wasathiyah

Sabtu, 16 Oktober 2021 - 05:58 WIB
Keenam, al-qudwah. Bahwa wasathiyah itu harus mampu mewujudkan ketauladanan dalam kehidupan. Ketauladanan tentunya menuntut komitmen untuk mewujudkan hasil yang terbaik (khaeriyah atau the excellence). Ummat wasathan harus menjadi “Khaer Ummah” dan bukan ummat asal-asalan.

Ketujuh, al-muwathonah. Bahwa wasathiyah tidak akan pernah mempertentangkan dua komitmen hidup. Komitmen beragama dan komitmen Kebangsaan. Keduanya bisa dirangkul secara bersama-sama tanpa saling mengorbankan.

Ancaman Wasathiyah

Namun demikian tidaklah mudah mewujudkan dan/atau mempertahankan karakter wasathiyah dalam kehidupan manusia. Ada banyak faktor yang mengancam eksistensi wasathiyah. Ada lima hal utama yang saya sampaikan kali ini.

Satu, kebodohan. Kebodohan ini boleh relevansinya kepada agama. Salah memahami atau memahami teks-teks agama dengan konteks yang salah. Atau kebodohan yang relevansinya terhadap situasi dunia di mana kita hidup. Keduanya membawa kepada cara pandang/wawasan yang sempit.

Dua, faktor media yang kerap tidak jujur dan tidak mendidik. Islam di dunia Barat misalnya seringkali ditampilkan dengan tampilan-tampilan yang jelas tidak mewakili wajah Islam yang Sesungguhnya.

Tiga, politisasi agama. Bahwa agama menjadi penting dalam kehidupan publik. Tidak mungkin agama dipisahkan dari kehidupan manusia. Dan ini fakta bahkan di negara-negara yang mengaku sekuler. Masalahnya memang bukan di situ. Masalahnya ada pada tendensi memakai agama sebagai “alat” untuk memburu kepentingan politik sempit. Seharusnya agama menjadi pengayom dan pengarah (guidance). Bukan alat dan kendaraan.

Empat, wasathiyah juga kerap menjadi rusak ketika konsep-konsep kehidupan salah dipahami atau dipahami di luar batas yang proporsional. Ambillah contoh kebebasan. Kebebasan kerap dipahami sebagai sesuatu tanpa batas. Pada akhirnya melahirkan bukan kebebasan lagi. Tapi kebablasan. Menghina nabi atau kitab suci misalnya atas nama kebebasan jelas kebablasan.

Lima, wasathiyah juga sering rusak karena hilangnya “sense of justice” dalam kehidupan manusia. Ketika keadilan hilang maka manusia tidak akan merasakan ketentraman dan kedamaian.

Pada akhirnya Saya menyampaikan bahwa karakter ummatan wasathan itu juga harus terwujud dalam bentuk komitmen untuk saling “memanusiakan”. Jangan sampai kehidupan manusia itu kehilangan kemanusiaan (insaniyah). Sehingga dalam berkarakter manusia justeru mengimitasi hewan bahkan lebih buruk dari hewan (adhollu).
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More