Wabah Corona dan Urgensi Tobacco Distancing

Selasa, 02 Juni 2020 - 07:03 WIB
Kedua, akibat wabah Covid-19 yang melanda seluruh negeri, kita semua diminta bekerja di rumah atau work from home (WFH) dan learn from home(LFH). Kedua instrumen ini mutlak diperlukan untuk mengendalikan persebaran virus korona. Namun, pada konteks bahaya rokok memunculkan masalah baru, yakni aktivitas merokok di rumah, juga meningkat tajam.

Rumah menjadi wahana baru untuk perokok dan tentu saja menambah daftar panjang korban perokok pasif di murah, terutama anak dan istri. Jadi terdapat bahaya baru yang mengintai dari efek samping WFH. Rumah berubah menjadi cerobong asap rokok bagi laki-laki dewasa perokok. Asal tahu saja, data menunjukkan bahwa dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif.

Dengan gambaran persoalan yang begitu gamblang tersebut, sangat mendesak untuk melindungi seorang perokok dari paparan Covid-19, juga pengendalian konsumsi rokok secara keseluruhan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, pertama, kita dorong pemerintah menaikkan cukai rokok. Ini hal yang sangat penting, mengingat cukai rokok di Indonesia termasuk terendah di dunia, rerata hanya 40% dari harga jual. Ruang untuk menaikkan cukai rokok masih terbuka lebar karena UU tentang Cukai mengamanatkan kenaikan cukai rokok sebesar 57%.

Kenaikan cukai rokok akan bermanfaat untuk pengendalian konsumsi rokok dan artinya melindungi perokok dari potensi paparan virus korona tersebut. Manfaat lain, pendapatan pemerintah dari cukai rokok akan meningkat tajam dan sebagian dana cukai tersebut bisa dimanfaatkan untuk upaya pengendalian konsumsi rokok, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja, alih-alih iuran BPJS Kesehatan tidak perlu mengalami kenaikan setinggi langit seperti sekarang. Manfaat kenaikan cukai rokok akan mereduksi penyakit akibat merokok (penyakit katastropik), yang saat ini mendominasi jumlah pasien BPJS Kesehatan. Bahkan, dana cukai rokok bisa digunakan untuk menginjeksi defisit finansial BPJS Kesehatan.

Kedua, menjadikan rumah sebagai kawasan tanpa rokok (KTR). Rumah harus dijadikan area bebas rokok, smoke free home (SFH). Untuk melakukan hal ini, harus dilakukan amandemen PP No 109/2012 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan yang mewajibkan adanya area KTR. Dalam PP 109/2012 terdapat tujuh area KTR, yaitu tempat pelayanan kesehatan, tempat bermain anak, tempat ibadah, tempat pendidikan, tempat umum, tempat kerja, dan angkutan umum.

Guna menghindari aktivitas merokok di rumah, rumah harus menjadi area SFH yang bisa disematkan dalam ketentuan KTR. Jangan korbankan anak-anak dan istri oleh sikap egois laki-laki (suami) yang acap seenaknya merokok di rumah. Wujudkan rumah yang nyaman, aman, dan sehat tanpa intervensi asap rokok. Boleh jadi merokok di rumah adalah bentuk KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), termasuk KDRT dalam bidang ekonomi. Proporsi alokasi finansial pada rumah tangga miskin tertinggi kedua adalah untuk konsumsi rokok (12,4%). Dahsyat kan?

Simpulan, saran

Saat ini Indonesia menduduki jumlah perokok terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Tidak kurang dari 30% dari total populasi di Indonesia adalah perokok aktif dan lebih dari 75% warga di Indonesia terpapar asap rokok karena sebagai perokok pasif (passive smoker). Jumlah pertumbuhan perokok pada anak dan remaja pun tercepat di dunia. Ironisnya, regulasi dan kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia masih sangat lemah.

Sumbu persoalannya karena Pemerintah Indonesia belum/tidak meratifikasi/mengaksesi FCTC, yang notabene menjadi payung hukum internasional untuk pengendalian tembakau di semua negara di dunia. Absennya Pemerintah Indonesia dalam hal FCTC adalah hal yang sangat memalukan, mengingat Indonesia adalah salah satu negara inisiator lahirnya FCTC. Eksistensi dan substansi PP No 109/2012 masih terlalu lemah, bahkan banyak pasalnya yang tidak inline dengan spirit FCTC. Pantaslah jika di Indonesia masih menghalalkan iklan dan promosi rokok di semua lini media. Pantas pula jika besaran cukai di Indonesia merupakan besaran cukai terendah di dunia.

Cukai rokok rerata di dunia minimal mencapai 75%. Implementasi KTR di lapangan juga masih kedodoran; masih tingginya pelanggaran tidak berujung pada sanksi. Melarang iklan rokok secara menyeluruh, plus memperluas peringatan kesehatan (picture health warning), mutlak diperlukan. Karena itu, wabah Covid-19 harus menjadi momen bagi pemerintah untuk lebih serius dan konsisten dalam mengendalikan konsumsi rokok.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More