Wabah Corona dan Urgensi Tobacco Distancing

Selasa, 02 Juni 2020 - 07:03 WIB
loading...
Wabah Corona dan Urgensi Tobacco Distancing
Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI. Foto/SINDONews
A A A
Tulus Abadi
Ketua Pengurus Harian YLKI

SELURUH warga dunia bak kena sihir, bengong, saat Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa virus corona atau Covid-19 sebagai pandemi (wabah) global. Pernyataan WHO tersebut terbukti bukan pepesan kosong, tetapi menjadi fakta yang tidak terbantahkan. Kini virus corona telah menjangkiti lebih dari 200 negara di dunia, lebih dari 250.000 orang meninggal dunia, dan lebih dari 3 juta warga di dunia dinyatakan positif mengidap virus korona.

Tragisnya, kini warga di seluruh dunia diminta mewujudkan fenomena “normal baru” (new normal) dengan virus yang bermula dari Wuhan ini. Sebuah fenomena yang sangat dilematis, bahkan berisiko tinggi bagi kesehatan dan keselamatan warga. Kini tidak kurang dari 23.000 warga Indonesia dinyatakan positif Covid-19, dan lebih dari 1.200-an orang meninggal dunia karenanya.

Lalu apa hubungannya wabah korona dengan rokok, baik di level dunia ataupun di Indonesia? Olala, antara wabah korona dan rokok ternyata sungguh berkelindan, bahkan lebih complicated rokok dan tembakau. Sebagai sebuah pandemi, WHO sejak 1999 telah menyatakan bahwa rokok sebagai pandemi global, karena itu diperangi oleh 95% negara di dunia. Jika dilihat korban dan angka kesakitannya, dampak buruk rokok jauh lebih dahsyat daripada korona.

Angka kematian dari penyakit akibat konsumsi rokok di seluruh dunia mencapai lebih dari 5 juta manusia per tahun. Bagaimana angka kematian di Indonesia? Menurut estimasi Komite Nasional (Komnas) Pengendalian Tembakau, angka kematian dari penyakit akibat rokok di Indonesia tidak kurang mencapai 200.000-an orang per tahun. Dengan demikian, baik pada konteks global ataupun nasional, dampak kematian dan ekonomi akibat wabah corona sejatinya tidak sekuku hitamnya dampak konsumsi rokok. Untuk memerangi wabah tembakau, sejak 2003 WHO telah memberlakukan sebuah kerangka hukum bernama FCTC (Framework Convention on Tobacco Control), yang kini telah diratifikasi/diaksesi oleh 190 negara di dunia.

Ironisnya, kendati sebagai penggagas FCTC, Indonesia bergeming; tidak menandatangani, apalagi meratifikasi/mengaksesinya hingga kini. Guna memberikan public warning terhadap bahaya wabah tembakau itu, WHO telah menetapkan setiap 31 Mei sebagai Hari Tanpa Tembakau Sedunia atau World No Tobacco Day (WNTD). Momen WNTD pada 31 Mei 2020 menjadi terasa lebih krusial karena bersamaan dengan wabah virus korona yang kini melanda dunia. Secara empiris, ada beberapa catatan kritis korelasi kuat antara wabah virus korona dan wabah konsumsi tembakau.

Pertama, berdasar data empiris, bahkan bukti ilmiah (evidance based), seorang perokok sangat berisiko terpapar virus korona. Mengingat, secara empiris virus korona menyerang saluran pernapasan pasien (khususnya paru), sementara seorang perokok aktif biasanya mempunyai permasalahan atau gangguan serius pada saluran pernapasannya, terutama paru. Pantaslah jika 9 dari 10 pasien kanker paru (lung cancer) adalah seorang perokok berat. Bukti empiris di RS Persahabatan Jakarta menunjukkan bahwa 58% pasien Covid-19 adalah laki-laki perokok.

Seorang ahli paru di RS Persahabatan bahkan menyatakan bahwa seorang perokok dua kali lipat berisiko terpapar Covid-19. Dampak buruk rokok mengganggu sistem imunitas pada saluran pernapasan karena terganggunya fungsi silia (rambut getar yang berfungsi membersihkan saluran pernapasan). WHO juga dengan tegas menyatakan bahwa perokok adalah salah satu kelompok rentan yang berisiko tinggi terpapar Covid-19. Selain karena mempunyai sistem imunitas yang tidak baik, seorang perokok sering menyentuh mulutnya dengan jari (saat merokok) dan menjadi media efektif memasukkan virus ke mulutnya.

Kedua, akibat wabah Covid-19 yang melanda seluruh negeri, kita semua diminta bekerja di rumah atau work from home (WFH) dan learn from home(LFH). Kedua instrumen ini mutlak diperlukan untuk mengendalikan persebaran virus korona. Namun, pada konteks bahaya rokok memunculkan masalah baru, yakni aktivitas merokok di rumah, juga meningkat tajam.

Rumah menjadi wahana baru untuk perokok dan tentu saja menambah daftar panjang korban perokok pasif di murah, terutama anak dan istri. Jadi terdapat bahaya baru yang mengintai dari efek samping WFH. Rumah berubah menjadi cerobong asap rokok bagi laki-laki dewasa perokok. Asal tahu saja, data menunjukkan bahwa dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok aktif.

Dengan gambaran persoalan yang begitu gamblang tersebut, sangat mendesak untuk melindungi seorang perokok dari paparan Covid-19, juga pengendalian konsumsi rokok secara keseluruhan. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, pertama, kita dorong pemerintah menaikkan cukai rokok. Ini hal yang sangat penting, mengingat cukai rokok di Indonesia termasuk terendah di dunia, rerata hanya 40% dari harga jual. Ruang untuk menaikkan cukai rokok masih terbuka lebar karena UU tentang Cukai mengamanatkan kenaikan cukai rokok sebesar 57%.

Kenaikan cukai rokok akan bermanfaat untuk pengendalian konsumsi rokok dan artinya melindungi perokok dari potensi paparan virus korona tersebut. Manfaat lain, pendapatan pemerintah dari cukai rokok akan meningkat tajam dan sebagian dana cukai tersebut bisa dimanfaatkan untuk upaya pengendalian konsumsi rokok, khususnya di kalangan anak-anak dan remaja, alih-alih iuran BPJS Kesehatan tidak perlu mengalami kenaikan setinggi langit seperti sekarang. Manfaat kenaikan cukai rokok akan mereduksi penyakit akibat merokok (penyakit katastropik), yang saat ini mendominasi jumlah pasien BPJS Kesehatan. Bahkan, dana cukai rokok bisa digunakan untuk menginjeksi defisit finansial BPJS Kesehatan.

Kedua, menjadikan rumah sebagai kawasan tanpa rokok (KTR). Rumah harus dijadikan area bebas rokok, smoke free home (SFH). Untuk melakukan hal ini, harus dilakukan amandemen PP No 109/2012 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan yang mewajibkan adanya area KTR. Dalam PP 109/2012 terdapat tujuh area KTR, yaitu tempat pelayanan kesehatan, tempat bermain anak, tempat ibadah, tempat pendidikan, tempat umum, tempat kerja, dan angkutan umum.

Guna menghindari aktivitas merokok di rumah, rumah harus menjadi area SFH yang bisa disematkan dalam ketentuan KTR. Jangan korbankan anak-anak dan istri oleh sikap egois laki-laki (suami) yang acap seenaknya merokok di rumah. Wujudkan rumah yang nyaman, aman, dan sehat tanpa intervensi asap rokok. Boleh jadi merokok di rumah adalah bentuk KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), termasuk KDRT dalam bidang ekonomi. Proporsi alokasi finansial pada rumah tangga miskin tertinggi kedua adalah untuk konsumsi rokok (12,4%). Dahsyat kan?

Simpulan, saran

Saat ini Indonesia menduduki jumlah perokok terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. Tidak kurang dari 30% dari total populasi di Indonesia adalah perokok aktif dan lebih dari 75% warga di Indonesia terpapar asap rokok karena sebagai perokok pasif (passive smoker). Jumlah pertumbuhan perokok pada anak dan remaja pun tercepat di dunia. Ironisnya, regulasi dan kebijakan pengendalian tembakau di Indonesia masih sangat lemah.

Sumbu persoalannya karena Pemerintah Indonesia belum/tidak meratifikasi/mengaksesi FCTC, yang notabene menjadi payung hukum internasional untuk pengendalian tembakau di semua negara di dunia. Absennya Pemerintah Indonesia dalam hal FCTC adalah hal yang sangat memalukan, mengingat Indonesia adalah salah satu negara inisiator lahirnya FCTC. Eksistensi dan substansi PP No 109/2012 masih terlalu lemah, bahkan banyak pasalnya yang tidak inline dengan spirit FCTC. Pantaslah jika di Indonesia masih menghalalkan iklan dan promosi rokok di semua lini media. Pantas pula jika besaran cukai di Indonesia merupakan besaran cukai terendah di dunia.

Cukai rokok rerata di dunia minimal mencapai 75%. Implementasi KTR di lapangan juga masih kedodoran; masih tingginya pelanggaran tidak berujung pada sanksi. Melarang iklan rokok secara menyeluruh, plus memperluas peringatan kesehatan (picture health warning), mutlak diperlukan. Karena itu, wabah Covid-19 harus menjadi momen bagi pemerintah untuk lebih serius dan konsisten dalam mengendalikan konsumsi rokok.

Kenaikan cukai rokok dan instrumen pengendalian tembakau lainnya menjadi solusi yang paling konkret untuk menyelamatkan warga negara dari bahaya rokok, bahkan Covid-19. Bagi konsumen, wabah Covid-19 harus menjadi triger untuk berhenti dari sandera asap rokok. Wujudkan SFH agar terhindar dari risiko tinggi paparan virus korona yang kini menghantui seluruh warga dunia. Berkelindan dengan wabah virus korona, kini saatnya pemerintah dan masyarakat Indonesia melakukan tobacco distancing alias jaga jarak dengan tembakau, bukan malah sebaliknya!
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1364 seconds (0.1#10.140)