Indonesia di Persimpangan Aukus
Jum'at, 24 September 2021 - 07:52 WIB
Retno mengatakan, Indonesia telah menerima penjelasan Australia tentang komitmen negara tersebut untuk menghormati Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT), prinsip-prinsip nonproliferasi dan hukum internasional. "Saya menekankan bahwa yang tidak diinginkan oleh kita semua adalah kemungkinan meningkatnya perlombaan senjata dan power projection di kawasan, yang tentunya akan dapat mengancam stabilitas keamanan kawasan," ucapnya.
Langkah antisipasi juga diwanti-wanti kalangan DPR. Anggota Komisi I DPR Nurul Arifin mengingatkan bahwa Indonesia perlu betul-betul mengantisipasi aliansi AUKUS ini dengan tepat. Berpijak dari prinsip politik luar negeri yang bebas-aktif, Indonesia punya kebebasan dalam menentukan sikap demi menjaga kepentingan nasional. “Diuntungkan atau dirugikan itu relatif. Namun, kita harus selalu waspada dalam mencermati adanya kekuatan baru di kawasan ini sehingga strategi diplomasi dan pertahanan serta keamanan harus diperkuat demi mempertahankan kedaulatan Indonesia," ujar Nurul di Jakarta.
Wakil Ketua Umum DPP Golkar ini berpandangan, gangguan terhadap kedaulatan dan integritas Indonesia dapat datang dari mana pun. Pada wilayah ini, tugas pemerintah adalah memperkuat tiga komponen pertahanan demi mengantisipasi aliansi AUKUS. Namun, tutur Nurul, Indonesia juga mesti tetap menjaga hubungan dengan negara-negara yang ada dalam AUKUS. Lebih dari itu, AUKUS memang membawa potensi adanya unjuk kekuatan militer di kawasan.
Hal yang perlu diingat bahwa Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (AUKUS) bersama dengan China terikat pada Treaty of Amity and Cooperation (TAC) di Asia Tenggara. “Perjanjian TAC ini mengikat negara-negara tersebut untuk tetap menjaga perdamaian di kawasan Asia Tenggara sehingga kita berharap tidak terjadi eskalasi konflik di Asia-Pasifik dan Laut China Selatan," ungkap Nurul.
Dengan fakta ini, Komisi I DPR pun mendorong agar Indonesia mengambil keuntungan dari rivalitas tersebut. "Kita tidak boleh terpancing ke mana pun. Ini kan perang dingin gaya baru di wilayah baru. Mungkin sebentar lagi wilayah Eropa juga akan terbelah, sudah terbelah sekarang," ucap anggota Komisi I DPR lain, Tubagus (TB) Hasanuddin.
Hasanuddin mencontohkan Selandia Baru yang sudah dikeluarkan dari aliansi pertahanan ANZUZ karena tidak sepakat dengan adanya kapal selam nuklir Australia. Begitu juga dengan Prancis yang terlibat ketegangan-ketegangan karena wilayah timurnya, New Caledonia. "Jangan terpancing karena memang Indonesia sedang dipancing. Manfaatkan kebaikan Amerika, kebaikan China, supaya herang caina beunang laukna (Sunda: bening airnya, kena ikannya), supaya airnya bening ikannya dapat, begitu," ungkapnya.
Sementara itu, dalam pandangan guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menduga AS membangun pakta pertahanan dengan Australia dan Inggris dalam rangka berbagi beban (burden sharing) menghadapi kekuatan China. Bisa dimaklumi bila China menyampaikan respons negatif terhadap pakta pertahanan ini. China mengkhawatirkan terganggunya perdamaian dan stabilitas di kawasan serta adanya perlombaan senjata serta dilanggarnya kepekatan non proliferation treaty. “Indonesia tentu harus bersikap atas perkembangan geopolitik ini,” katanya.
Menurut Hikmahanto, ada empat hal penting yang perlu disampaikan oleh Indonesia. Pertama, persaingan China dengan AS di Indo-Pasifik tidak seharusnya bereskalasi menjadi perlombaan senjata di kawasan. Kedua, persaingan China dan AS tidak boleh berdampak pada penyebaran pengetahuan senjata nuklir. Mereka juga harus menghormati negara-negara yang bersepakat melarang untuk tidak menggunakan hal-hal terkait senjata nuklir seperti Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN) yang disepakati negara-negara ASEAN.
Ketiga, Indonesia perlu menggalang negara-negara di Indo-Pasifik yang menentang kehadiran nuklir untuk kepentingan militer sehingga proyek kapal selam bertenaga nuklir Australia tidak dilanjutkan. “Terakhir, Indonesia yang memiliki politik luar negeri bebas-aktif berperan signifikan dengan negara-negara lain agar menghentikan persaingan antara AS dan China,” paparnya.
Langkah antisipasi juga diwanti-wanti kalangan DPR. Anggota Komisi I DPR Nurul Arifin mengingatkan bahwa Indonesia perlu betul-betul mengantisipasi aliansi AUKUS ini dengan tepat. Berpijak dari prinsip politik luar negeri yang bebas-aktif, Indonesia punya kebebasan dalam menentukan sikap demi menjaga kepentingan nasional. “Diuntungkan atau dirugikan itu relatif. Namun, kita harus selalu waspada dalam mencermati adanya kekuatan baru di kawasan ini sehingga strategi diplomasi dan pertahanan serta keamanan harus diperkuat demi mempertahankan kedaulatan Indonesia," ujar Nurul di Jakarta.
Wakil Ketua Umum DPP Golkar ini berpandangan, gangguan terhadap kedaulatan dan integritas Indonesia dapat datang dari mana pun. Pada wilayah ini, tugas pemerintah adalah memperkuat tiga komponen pertahanan demi mengantisipasi aliansi AUKUS. Namun, tutur Nurul, Indonesia juga mesti tetap menjaga hubungan dengan negara-negara yang ada dalam AUKUS. Lebih dari itu, AUKUS memang membawa potensi adanya unjuk kekuatan militer di kawasan.
Hal yang perlu diingat bahwa Amerika Serikat, Inggris, dan Australia (AUKUS) bersama dengan China terikat pada Treaty of Amity and Cooperation (TAC) di Asia Tenggara. “Perjanjian TAC ini mengikat negara-negara tersebut untuk tetap menjaga perdamaian di kawasan Asia Tenggara sehingga kita berharap tidak terjadi eskalasi konflik di Asia-Pasifik dan Laut China Selatan," ungkap Nurul.
Dengan fakta ini, Komisi I DPR pun mendorong agar Indonesia mengambil keuntungan dari rivalitas tersebut. "Kita tidak boleh terpancing ke mana pun. Ini kan perang dingin gaya baru di wilayah baru. Mungkin sebentar lagi wilayah Eropa juga akan terbelah, sudah terbelah sekarang," ucap anggota Komisi I DPR lain, Tubagus (TB) Hasanuddin.
Hasanuddin mencontohkan Selandia Baru yang sudah dikeluarkan dari aliansi pertahanan ANZUZ karena tidak sepakat dengan adanya kapal selam nuklir Australia. Begitu juga dengan Prancis yang terlibat ketegangan-ketegangan karena wilayah timurnya, New Caledonia. "Jangan terpancing karena memang Indonesia sedang dipancing. Manfaatkan kebaikan Amerika, kebaikan China, supaya herang caina beunang laukna (Sunda: bening airnya, kena ikannya), supaya airnya bening ikannya dapat, begitu," ungkapnya.
Sementara itu, dalam pandangan guru besar hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana menduga AS membangun pakta pertahanan dengan Australia dan Inggris dalam rangka berbagi beban (burden sharing) menghadapi kekuatan China. Bisa dimaklumi bila China menyampaikan respons negatif terhadap pakta pertahanan ini. China mengkhawatirkan terganggunya perdamaian dan stabilitas di kawasan serta adanya perlombaan senjata serta dilanggarnya kepekatan non proliferation treaty. “Indonesia tentu harus bersikap atas perkembangan geopolitik ini,” katanya.
Menurut Hikmahanto, ada empat hal penting yang perlu disampaikan oleh Indonesia. Pertama, persaingan China dengan AS di Indo-Pasifik tidak seharusnya bereskalasi menjadi perlombaan senjata di kawasan. Kedua, persaingan China dan AS tidak boleh berdampak pada penyebaran pengetahuan senjata nuklir. Mereka juga harus menghormati negara-negara yang bersepakat melarang untuk tidak menggunakan hal-hal terkait senjata nuklir seperti Zone of Peace, Freedom, and Neutrality (ZOPFAN) yang disepakati negara-negara ASEAN.
Ketiga, Indonesia perlu menggalang negara-negara di Indo-Pasifik yang menentang kehadiran nuklir untuk kepentingan militer sehingga proyek kapal selam bertenaga nuklir Australia tidak dilanjutkan. “Terakhir, Indonesia yang memiliki politik luar negeri bebas-aktif berperan signifikan dengan negara-negara lain agar menghentikan persaingan antara AS dan China,” paparnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda