Denny Indrayana: Kebebasan Pers dan Berpendapat di Ujung Tanduk
Senin, 01 Juni 2020 - 15:20 WIB
JAKARTA - Ahli hukum tata negara Denny Indrayana mengkhawatirkan upaya pemberangusan diskusi di kampus dan pembungkaman jurnalis. Tindakan ini menunjukkan karakter otoriter.
Denny mengungkapkan, sebenarnya ada dua diskusi di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mendapatkan gangguan. Pertama, diskusi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan', yang akhirnya batal karena panitia dan narasumber mendapatkan ancaman pembunuhan. Kedua, diskusi dengan tema 'PSBB: Pemimpin Sukanya Basa-Basi?' Judul diskusi ini kemudian diubah menjadi 'PSBB: Policy Setengah Basi-Basi'.
Dia menuturkan sebenarnya term of reference (tor) dari panitia diskusi 'Pemberhentian Presiden' itu tidak mudah melaksanakan pemakzulan presiden dalam masa Covid-19. "Salah satu ciri sistem presidensial, adanya impeachment, tapi tidak mudah memberhentikan presiden di tengah jalan. Beda dengan parlementer, bisa mudah. Seharusnya jajaran presiden dan pemerintah lebih tenang, apalagi ini diskusi mahasiswa," ujarnya dalam diskusi daring dengan tema 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19', Senin (1/6/2020). (
).
Pemakzulan tidak bisa hanya karena kebijakan penanganan Covid-19. Dasar melakukan pemakzulan di Indonesia harus memenuhi tiga syarat. Pertama, melakukan korupsi dan tindak pidana berat. Kedua, terkait masalah etika dan perbuatan tercela. Ketiga, alasan administratif, yakni presiden dan wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat.
Dalam penanganan pandemi Covid-19 ini, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah beleid, antara lain Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan PP Nomor 52 Tahun 2020 tentang Fasilitas Observasi dan Penampungan dalam Penanggulangan Covid-19 di Pulau Galang.
Denny menyatakan, pandemi Covid-19 ini sudah termasuk dalam keadaan darurat. Menurutnya, ini sudah memenuhi Pasal 12 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, dia tidak mau mengomentari gugatan judicial review terhadap Perppu yang sekarang sudah menjadi UU tentang Penanggulangan Covid-19.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu menjelaskan, status darurat itu akan mengalami dilema antara kecepatan eksekusi dan tidak boleh melanggar HAM. "Yang pasti, meskipun perlu akselarasi dan kecepatan dalam penanganan Covid-19, pemerintah harus melindungi hak asasi. Tidak boleh dalam keadaan darurat lalu hak asasi manusia diabaikan," tegasnya. ( ).
Alumni FH UGM itu juga menyoroti tindakan yang mengarah pada pemberangusan kebebasan pers. Ada beberapa kasus yang bisa dijadikan indikator seperti ancaman pembunuhan kepada wartawan detik.com setelah memberitakan agenda Presiden Joko Widodo di Bekasi.
Denny mengungkapkan, dirinya tengah melakukan advokasi terhadap jurnalis Banjarhits.id Diananta Putera Sumedi. Diananta ditahan Polda Kalimantan Selatan setelah menulis berita tentang dugaan penyerobotan lahan. "Kebebasan pers dan berpendapat sedang di ujung tanduk, kita harus perjuangkan," pungkasnya.
Denny mengungkapkan, sebenarnya ada dua diskusi di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang mendapatkan gangguan. Pertama, diskusi 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan', yang akhirnya batal karena panitia dan narasumber mendapatkan ancaman pembunuhan. Kedua, diskusi dengan tema 'PSBB: Pemimpin Sukanya Basa-Basi?' Judul diskusi ini kemudian diubah menjadi 'PSBB: Policy Setengah Basi-Basi'.
Dia menuturkan sebenarnya term of reference (tor) dari panitia diskusi 'Pemberhentian Presiden' itu tidak mudah melaksanakan pemakzulan presiden dalam masa Covid-19. "Salah satu ciri sistem presidensial, adanya impeachment, tapi tidak mudah memberhentikan presiden di tengah jalan. Beda dengan parlementer, bisa mudah. Seharusnya jajaran presiden dan pemerintah lebih tenang, apalagi ini diskusi mahasiswa," ujarnya dalam diskusi daring dengan tema 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19', Senin (1/6/2020). (
Baca Juga
Pemakzulan tidak bisa hanya karena kebijakan penanganan Covid-19. Dasar melakukan pemakzulan di Indonesia harus memenuhi tiga syarat. Pertama, melakukan korupsi dan tindak pidana berat. Kedua, terkait masalah etika dan perbuatan tercela. Ketiga, alasan administratif, yakni presiden dan wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat.
Dalam penanganan pandemi Covid-19 ini, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah beleid, antara lain Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), dan PP Nomor 52 Tahun 2020 tentang Fasilitas Observasi dan Penampungan dalam Penanggulangan Covid-19 di Pulau Galang.
Denny menyatakan, pandemi Covid-19 ini sudah termasuk dalam keadaan darurat. Menurutnya, ini sudah memenuhi Pasal 12 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Namun, dia tidak mau mengomentari gugatan judicial review terhadap Perppu yang sekarang sudah menjadi UU tentang Penanggulangan Covid-19.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu menjelaskan, status darurat itu akan mengalami dilema antara kecepatan eksekusi dan tidak boleh melanggar HAM. "Yang pasti, meskipun perlu akselarasi dan kecepatan dalam penanganan Covid-19, pemerintah harus melindungi hak asasi. Tidak boleh dalam keadaan darurat lalu hak asasi manusia diabaikan," tegasnya. ( ).
Alumni FH UGM itu juga menyoroti tindakan yang mengarah pada pemberangusan kebebasan pers. Ada beberapa kasus yang bisa dijadikan indikator seperti ancaman pembunuhan kepada wartawan detik.com setelah memberitakan agenda Presiden Joko Widodo di Bekasi.
Denny mengungkapkan, dirinya tengah melakukan advokasi terhadap jurnalis Banjarhits.id Diananta Putera Sumedi. Diananta ditahan Polda Kalimantan Selatan setelah menulis berita tentang dugaan penyerobotan lahan. "Kebebasan pers dan berpendapat sedang di ujung tanduk, kita harus perjuangkan," pungkasnya.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda