Mahutama Protes Pencatutan Nama Muhammadiyah dalam Teror Diskusi Pemberhentian Presiden

Senin, 01 Juni 2020 - 14:31 WIB
loading...
Mahutama Protes Pencatutan Nama Muhammadiyah dalam Teror Diskusi Pemberhentian Presiden
Gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta. Foto/Dok SINDOnews
A A A
JAKARTA - Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) protes keras atas pencatutan nama Muhammadiyah dalam teror terhadap panitia dan narasumber diskusi 'Pemberhentian Presiden'.

"Ada situasi yang sebenarnya membahayakan kehidupan bangsa kita, terutama kasus terakhir yang bahkan mencatut nama Muhammadiyah dengan ancaman pembunuhan," ujar Ketua Umum Mahutama Aidul Fitriciada Azhari dalam diskusi virtual bertajuk Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19, Senin (1/6/2020).

Aidul menerangkan, kebebasan berpendapat itu merupakan warisan dunia dan nilai-nilai yang hidup dalam peradaban dunia. Mantan Presiden Amerika Serikat Franklin Delano Roosevelt menyatakan ada empat kebebasan utama, yakni berbicara dan berekspresi, beribadah, bebas dari kemiskinan, dan rasa takut. ( ).

Dalam Pasal 28 I Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan hak kemerdekaan pikiran merupakan hak asasi manusia yang tidak bisa dikurangi. Dalam konteks pandemi Covid-19, masyarakat mengalami pembatasan hak dan berkumpul. Namun, itu demi kebaikan karena untuk mencegah penyebaran virus Sars Cov-II.

"Dalam keadaan apa pun, hak menyatakan pendapat tidak bisa dikurangi dan pikiran tidak boleh dibatasi. Pikiran hanya bisa dihadapi dengan pikiran. Bukan dengan jeruji besi," ucapnya.

Diskusi 'Pemberhentian Presiden' sempat diisukan sebagai usaha makar dan pemakzulan. Menurutnya, diskusi itu seharusnya tidak ditempatkan dalam bentuk ketakutan. Dia menerangkan, pemakzulan itu ada dalam konstitusi dan bisa didiskusikan dengan baik.

Aidul menuturkan, banyak yang beranggapan pemakzulan itu akan seperti yang menimpa Soeharto dan Gus Dur. Ini bukti kurangnya edukasi di masyarakat tentang konstitusi hasil amendemen yang sudah jauh berbeda. ( ).

Indonesia telah memilih sistem presidensial untuk membuat stabilitas pemerintah. Beda dengan parlementer yang pemerintahannya mudah berganti-ganti. Aidul memastikan tidak bisa pemerintahan saat ini dijatuhkan seperti Soeharto dan Gus Dur.

Aidul menegaskan, presiden tidak bisa dijatuhkan karena kebijakan pandemi seburuk apa pun. Syaratnya, tidak melanggar hukum seperti tertera dalam UUD 1945. Jadi Presiden Jokowi Widodo (Jokowi) dan pemerintahnya tidak perlu takut. Pemerintah dalam situasi pandemi Covid-19 tidak perlu mengurangi kebebasan berpendapat. "Agar kebijakan pemerintah di tengah keterbatasan tetap bisa dikontrol," pungkasnya.
(zik)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3045 seconds (0.1#10.140)