Strategi untuk Jakarta
Kamis, 26 Agustus 2021 - 14:00 WIB
Nirwono Joga
Peneliti Pusat Studi Perkotaan
JAKARTA menduduki peringkat pertama tata kota terburuk di dunia, menurut versi platform arsitketur Rethinking The Future (RTF), dalam rilisan 10 Examples of Bad Urban City Planning (23/8). Selanjutnya kota Dubai, Uni Emirat Arab; Brasilia, Brazil; Atlanta, Georgia, AS; Sao Paolo, Brazil; Boston, Massachusetts, AS; Missoula, Montana, AS; Naypyidaw, Myanmar; New Orleans, Louisiana, AS; Dhaka, Bangladesh.
Memang tidak ada kota yang sempurna. Kota akan terus berevolusi, berubah dinamis mengikuti gaya hidup, dan sistem kota yang mengaturnya, di mana perencanaan tata kota hadir di dalamnya. Kota berkembang dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan beragam permasalahannya. Di sinilah peranan tata kota perlu hadir untuk mengatur, mengendalikan, dan mengarahkan ke mena kota akan dibawa, tentunya mewujudkan kota yang layak huni, menyehatkan dan menyejahterakan warganya.
Urbanisasi di kala pandemi Covid-19 memberi dampak ketimpangan ekonomi cenderung lebih besar. Kemiskinan semakin tajam, dan permukiman padat kumuh miskin menjamur. Masyarakat yang terbentuk semakin individualistis, modal sosial menipis, cenderung formal asosiasional (UN Habitat, 2021).
Urbanisasi semakin mengurangi lingkungan alami, menyedot sumber daya alam, memproduksi sampah dan membuang limbah sering tanpa kompensasi atau rehabilitasi. Jakarta dengan tata kota yang semrawut terus mengalami degradasi kualitas lingkungan, bencana ekologis, serta rentan krisis iklim. Lalu, strategi apa yang harus dilakukan?
Pertama, peradaban kota adalah cermin dari tingkat peradaban budaya warganya. Jika masyarakat tertib dan patuh aturan, kemungkinan besar kota akan teratur. Namun, jika masyarakat sulit diatur, tidak tertib, maka tata kota akan cenderung semrawut. Untuk membangun peradaban kota akan banyak faktor non-fisik sosial budaya, ekonomi, tata kelola yang mewujud dalam bentuk warganya yang akan memengaruhi baik-buruk kota.
Pembangunan kota Jakarta sangat tergantung dengan kebijakan gubernur yang sedang memimpin, bukan pada pelaksanaan secara konsisten rencana tata kota yang sudah dibuat sendiri dan disepakati bersama legislatif. Akibatnya setiap ganti gubernur maka berganti pula kebijakannya, bahkan cenderung harus berbeda dengan pendahulunya, meskipun itu harus melanggar rencana tata kota. Ironisnya pelanggaran tata ruang yang terus terjadi justru cenderung untuk diputihkan, bukan menegakkan aturan tata ruangnya.
Kedua, pemulihan kota harus dikelola baik dan berkelanjutan agar tidak menimbulkan lebih banyak mudarat (bencana) daripada manfaat (kesejahteraan, kemakmuran), baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Urbanisasi berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi, berfungsi sebagai pasar maupun simpul arus barang, jasa, manusia, cenderung kompetitif produktif serta pusat inovasi dan informasi.
Peneliti Pusat Studi Perkotaan
JAKARTA menduduki peringkat pertama tata kota terburuk di dunia, menurut versi platform arsitketur Rethinking The Future (RTF), dalam rilisan 10 Examples of Bad Urban City Planning (23/8). Selanjutnya kota Dubai, Uni Emirat Arab; Brasilia, Brazil; Atlanta, Georgia, AS; Sao Paolo, Brazil; Boston, Massachusetts, AS; Missoula, Montana, AS; Naypyidaw, Myanmar; New Orleans, Louisiana, AS; Dhaka, Bangladesh.
Memang tidak ada kota yang sempurna. Kota akan terus berevolusi, berubah dinamis mengikuti gaya hidup, dan sistem kota yang mengaturnya, di mana perencanaan tata kota hadir di dalamnya. Kota berkembang dalam berbagai bentuk dan ukuran dengan beragam permasalahannya. Di sinilah peranan tata kota perlu hadir untuk mengatur, mengendalikan, dan mengarahkan ke mena kota akan dibawa, tentunya mewujudkan kota yang layak huni, menyehatkan dan menyejahterakan warganya.
Urbanisasi di kala pandemi Covid-19 memberi dampak ketimpangan ekonomi cenderung lebih besar. Kemiskinan semakin tajam, dan permukiman padat kumuh miskin menjamur. Masyarakat yang terbentuk semakin individualistis, modal sosial menipis, cenderung formal asosiasional (UN Habitat, 2021).
Urbanisasi semakin mengurangi lingkungan alami, menyedot sumber daya alam, memproduksi sampah dan membuang limbah sering tanpa kompensasi atau rehabilitasi. Jakarta dengan tata kota yang semrawut terus mengalami degradasi kualitas lingkungan, bencana ekologis, serta rentan krisis iklim. Lalu, strategi apa yang harus dilakukan?
Pertama, peradaban kota adalah cermin dari tingkat peradaban budaya warganya. Jika masyarakat tertib dan patuh aturan, kemungkinan besar kota akan teratur. Namun, jika masyarakat sulit diatur, tidak tertib, maka tata kota akan cenderung semrawut. Untuk membangun peradaban kota akan banyak faktor non-fisik sosial budaya, ekonomi, tata kelola yang mewujud dalam bentuk warganya yang akan memengaruhi baik-buruk kota.
Pembangunan kota Jakarta sangat tergantung dengan kebijakan gubernur yang sedang memimpin, bukan pada pelaksanaan secara konsisten rencana tata kota yang sudah dibuat sendiri dan disepakati bersama legislatif. Akibatnya setiap ganti gubernur maka berganti pula kebijakannya, bahkan cenderung harus berbeda dengan pendahulunya, meskipun itu harus melanggar rencana tata kota. Ironisnya pelanggaran tata ruang yang terus terjadi justru cenderung untuk diputihkan, bukan menegakkan aturan tata ruangnya.
Kedua, pemulihan kota harus dikelola baik dan berkelanjutan agar tidak menimbulkan lebih banyak mudarat (bencana) daripada manfaat (kesejahteraan, kemakmuran), baik dalam aspek ekonomi, sosial, maupun lingkungan. Urbanisasi berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi, berfungsi sebagai pasar maupun simpul arus barang, jasa, manusia, cenderung kompetitif produktif serta pusat inovasi dan informasi.
tulis komentar anda